berita
19 Desember 2025
Nyungsep! Bank Dunia Ungkap Fakta Penyebab Gaji Orang Indonesia Makin Menurun
Tanpa banyak disadari, keseharian jutaan pekerja di Indonesia sedang menghadapi tekanan yang pelan tapi konsisten. Bukan soal kehilangan pekerjaan, melainkan nilai gaji yang makin mengecil daya belinya. Bank Dunia menyebut kondisi ini sebagai penurunan upah riil yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Fenomena ini tidak selalu terasa instan. Namun dampaknya nyata. Dari belanja rumah tangga yang makin ketat hingga pertumbuhan ekonomi yang ikut melambat. Sebagaimana dikutip dari CNBC pada Kamis (18/12/2025), berikut lima fakta penting yang menggambarkan situasi tersebut.
1. Upah terasa sama, tapi nilainya terus menyusut
Bank Dunia mencatat bahwa upah riil atau gaji pekerja Indonesia turun rata-rata 1,1% per tahun sejak 2018 hingga 2024. Upah riil adalah ukuran yang memperhitungkan inflasi, sehingga mencerminkan daya beli sesungguhnya, bukan sekadar angka di slip gaji.
Artinya sederhana. Meski nominal gaji terlihat stabil atau bahkan naik tipis, kemampuan membeli kebutuhan hidup justru terus berkurang. Kenaikan harga kebutuhan pokok perlahan menggerus pendapatan pekerja.
2. Ironis, pekerja berkeahlian tinggi justru paling terpukul
Temuan yang mengejutkan datang dari kelompok pekerja berkeahlian tinggi. Bank Dunia mencatat bahwa gaji pekerja Indonesia ini turun paling dalam, dengan kontraksi mencapai 2,3% per tahun.
Kelompok pekerja berkeahlian menengah juga tidak luput dari tekanan, dengan penurunan sekitar 1,1% per tahun. Ini menunjukkan bahwa pendidikan dan keterampilan belum sepenuhnya menjadi tameng dari tekanan biaya hidup dan perubahan struktur ekonomi.
Baca juga: Spill! Ini Bocoran UMP 2026, Prediksi Besaran dan Dampaknya Bagi Pengusaha!
Hanya segelintir sektor yang mampu bertahan, seperti manufaktur bernilai tambah tinggi, sektor utilitas terutama listrik, serta teknologi informasi dan komunikasi.
3. Lapangan kerja bertambah, tapi mayoritas bergaji rendah
Secara kasat mata, pasar tenaga kerja Indonesia tampak membaik. Bank Dunia mencatat penyerapan tenaga kerja meningkat 1,3% antara Agustus 2024 hingga Agustus 2025.
Namun di balik angka tersebut, tersimpan persoalan kualitas. Mayoritas lapangan kerja baru justru tercipta di sektor dengan tingkat upah rendah. Sektor pertanian menyerap tambahan sekitar 0,49 juta pekerja, sementara sektor akomodasi dan makan minum menambah sekitar 0,42 juta pekerja.
Rata-rata upah di kedua sektor ini hanya sekitar Rp2,55 juta per bulan, jauh di bawah rata-rata upah nasional Rp3,33 juta per bulan.
4. Daya beli tertekan, konsumsi ikut melemah
Ketika upah riil turun dan pekerjaan baru didominasi sektor bergaji rendah, dampaknya cepat terasa pada daya beli masyarakat. Bank Dunia menegaskan bahwa kondisi ini menekan konsumsi rumah tangga, meskipun indikator makro ekonomi Indonesia secara umum masih terlihat stabil.
Tekanan konsumsi ini bukan isu jangka pendek. Bank Dunia memproyeksikan konsumsi rumah tangga Indonesia berpotensi tumbuh stagnan hingga 2027.
5. Efek berantai ke pertumbuhan ekonomi nasional
Dalam proyeksi terbaru Indonesia Economic Prospects edisi Desember 2025, Bank Dunia memperkirakan konsumsi rumah tangga pada periode 2025–2027 hanya tumbuh sekitar 4,9%. Angka ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan konsumsi pada 2024 sebesar 5,1%.
Dampaknya, pertumbuhan ekonomi nasional diproyeksikan bertahan di kisaran 5% pada 2025–2026, sebelum sedikit meningkat menjadi sekitar 5,2% pada 2027. Angka ini mencerminkan ekonomi yang tetap berjalan, tetapi kehilangan dorongan kuat dari konsumsi masyarakat.
Baca juga: Cair! 7 Strategi Pendanaan untuk Modal Kerja Biar Dagangan Makin Gahar!
Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa tantangan pekerja Indonesia hari ini bukan hanya soal mendapatkan pekerjaan, tetapi mendapatkan pekerjaan yang mampu menjaga martabat hidup. Ketika upah riil terus tergerus dan lapangan kerja bergaji rendah mendominasi, tekanan tidak hanya dirasakan oleh pekerja, tetapi juga oleh mesin ekonomi nasional secara keseluruhan.
Jika tren ini dibiarkan, pertumbuhan ekonomi bisa tetap terlihat stabil di atas kertas, tetapi rapuh di kehidupan sehari-hari.






