berita
23 Juni 2025
Miris Banget! Ternyata Mayoritas Rakyat Indonesia Miskin, Ini Solusi untuk Bangkit!
Ketika angka pertumbuhan ekonomi membaik, realita di lapangan berkata lain: penduduk miskin masih banyak dan mayoritas rakyat belum ikut merasakan hasilnya.
Bayangkan ini: dari 285 juta jiwa penduduk Indonesia, lebih dari 194 juta orang masih tergolong penduduk miskin, jika mengacu pada standar Bank Dunia terbaru. Jumlah ini setara dengan 68,3% dari total populasi. Angka yang mencengangkan, apalagi jika dibandingkan dengan narasi makroekonomi yang selama ini menyebut Indonesia tengah menuju negara maju.
Pada 13 Juni 2025, Bank Dunia merilis dokumen resmi berjudul “The World Bank’s Updated Global Poverty Lines: Indonesia”. Dalam dokumen itu, garis kemiskinan diperbarui berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) 2021, menggantikan standar PPP 2017. Revisi ini menaikkan batas garis kemiskinan menjadi US$ 8,30 per hari, atau Rp 1.512.000 per orang per bulan. Angka yang dianggap mencerminkan kebutuhan dasar hidup layak di negara dengan status Upper-Middle Income Country (UMIC) seperti Indonesia.
Tiga Tingkatan, Satu Realita: Kemiskinan Masih Meluas
Bank Dunia mengelompokkan garis kemiskinan global dalam tiga lapis:
1.Garis kemiskinan ekstrem: US$ 3,00 per hari (sekitar Rp 546.400/bulan)
2. Garis kemiskinan negara menengah bawah (LMIC): US$ 4,20 per hari (sekitar Rp 765.000/bulan)
3. Garis kemiskinan negara menengah atas (UMIC): US$ 8,30 per hari (sekitar Rp 1.512.000/bulan)
Dengan standar terbaru ini, data menunjukkan 5,4% penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan ekstrem. Kemudian 19,9% tergolong miskin menurut standar LMIC dan 68,3% tergolong miskin menurut standar UMIC.
Baca juga: Alarm Keras! Orang Miskin Indonesia Naik 194 Juta, Kita Harus Apa?
Artinya, walaupun secara makro Indonesia telah naik kelas, mayoritas warganya masih berkutat pada persoalan paling mendasar: mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
“Sebagai akibat dari ambang batas yang lebih tinggi, sebagian besar negara mengalami peningkatan dalam angka kemiskinan internasional mereka, seperti halnya Indonesia,” tulis Bank Dunia dalam penjelasannya.
Apa Dampaknya untuk Arah Investasi dan Pendanaan?
Di balik data ini, ada peringatan penting bagi para pembuat kebijakan, investor, dan pelaku bisnis: pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan hanya akan melahirkan jurang sosial yang lebih dalam.
Tingginya jumlah penduduk miskin berarti daya beli masih rendah. Artinya, produk dan layanan yang hanya menyasar kelas menengah atas tidak akan cukup menopang ekonomi jangka panjang. Jika ingin membangun pasar yang berkelanjutan, investasi harus diarahkan ke sektor-sektor yang menyentuh kebutuhan dasar rakyat: pangan, pendidikan, kesehatan, dan UMKM.
Inilah peluang besar bagi model pendanaan berbasis kerakyatan seperti urun dana syariah, koperasi, hingga skema inklusif lainnya. Modal bukan lagi hanya untuk konglomerat. Pendanaan mikro dan syariah bisa menjadi solusi untuk mengangkat potensi ekonomi masyarakat bawah yang selama ini terabaikan.
Data Lokal Masih yang Utama, Tapi…
Meski laporan ini mencerminkan perbandingan global, Bank Dunia tetap menganjurkan pemerintah Indonesia untuk merujuk pada data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dalam merancang kebijakan sosial. Garis kemiskinan versi BPS dinilai lebih kontekstual terhadap kondisi lokal.
“Untuk pertanyaan tentang kebijakan nasional di Indonesia, garis kemiskinan nasional dan statistik kemiskinan yang diterbitkan oleh BPS adalah yang paling tepat,” kata Bank Dunia sebagaimana dikutip dari Detik Finance pada Senin (23/6/2025).
Namun demikian, standar internasional seperti yang dirilis Bank Dunia tetap penting untuk membuka mata: bahwa kita tidak bisa puas hanya karena angka statistik nasional tampak membaik. Kita harus bertanya, siapa yang sebenarnya menikmati pertumbuhan itu?
Bangkit Lewat Pendanaan Syariah
Jika 68% penduduk Indonesia masih tergolong miskin menurut standar Bank Dunia, maka sudah saatnya arah pembangunan berubah. Bukan lagi sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tapi memastikan setiap orang punya akses untuk bertumbuh.
Untuk itu, kita butuh ekosistem investasi yang berpihak pada rakyat kecil bukan yang hanya menguntungkan segelintir elite.
Baca juga: Ketar-Ketir! Utang Jatuh Tempo Indonesia Rp178,9 Triliun, Ini Kata Kemenkeu
LBS Urun Dana hadir sebagai solusi: platform pendanaan syariah yang membuka peluang modal bagi UKM dan usaha lokal, sekaligus memberi ruang bagi investor ritel untuk berinvestasi secara amanah dan berdampak.
Ekonomi Indonesia tak akan naik kelas kalau rakyat kecil terus tertinggal. Tapi bersama LBS, kita bisa tumbuh bareng dari bawah, untuk semua. Ajukan sekarang!