artikel
5 Desember 2025
Nah Loh! Jual Beli Kredit Bisa Jadi Riba Terselubung, Ini Fakta Hukumnya!
Fenomena jual beli kredit semakin umum dilakukan di tengah tingginya kebutuhan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan barang dan layanan, terutama di era modern yang serba cepat. Banyak orang memilih pembayaran angsuran untuk mendapatkan barang yang diinginkan, mulai dari elektronik, kendaraan, hingga kebutuhan rumah tangga.
Namun dibalik kemudahan tersebut, muncul pertanyaan penting: bagaimana hukum jual beli kredit dalam Islam, apakah termasuk riba atau merupakan transaksi yang dibolehkan syariat?
Pertanyaan ini krusial karena tidak semua bentuk transaksi kredit sesuai dengan prinsip muamalah halal, dan salah langkah dapat menyeret seseorang pada jeratan riba yang berbahaya bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Untuk memahami batasan syariat serta memastikan transaksi tetap halal dan aman, mari kita kupas penjelasan mendalam mengenai akad jual beli kredit berdasarkan buku Harta Haram karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi MA, Founder LBS Urun Dana dan Pakar Fikih Muamalah dan yang menjadi rujukan utama dalam pembahasan ekonomi syariah.
Apa Itu Jual Beli Kredit dalam Islam?
Secara sederhana, jual beli kredit adalah transaksi jual beli dimana barang diserahkan langsung pada waktu akad, sementara pembayaran dilakukan secara bertahap dengan harga yang lebih tinggi dibanding harga tunai. Pembeli melunasi kewajiban dalam bentuk angsuran pada periode waktu yang disepakati.
Hakikat transaksi ini adalah jual beli yang disertai utang, karena pembeli menerima barang di awal namun belum melunasi harganya. Dalam Islam, berutang tidak dianjurkan kecuali dalam kondisi darurat atau sangat membutuhkan, dan pembeli memiliki kemampuan untuk melunasinya.
Baca juga: Wadidaw! 5 Praktik Keuangan Riba Zaman Now yang Diam-Diam Menjerat Banyak Orang
Nabi Muhammad ﷺ sering memohon perlindungan kepada Allah ﷻ dari sifat buruk yang lahir akibat utang, sebagaimana doa yang diriwayatkan Anas bin Malik radhiyallahu:
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, sifat penakut, sifat bakhil, lilitan utang, dan tekanan orang lain.” (HR. Bukhari)
Ketika ditanya alasan beliau begitu keras berlindung dari utang, Nabi ﷺ bersabda:
“Karena seseorang yang berutang, bila berbicara ia berbohong, dan bila berjanji ia memungkiri.” (HR. Bukhari)
Umar bin Khattab radhiyallahu pernah menegaskan: “Hindarilah utang. Awalnya kegelisahan dan akhirnya kebinasaan.” (Riwayat Imam Malik, Al Muwaththa)
Pesan semua dalil ini sangat jelas bahwa utang bukan gaya hidup, melainkan solusi terakhir ketika kebutuhan pokok mendesak dan kemampuan melunasi benar-benar ada.
Hukum dan Fatwa Jual Beli Kredit dalam Islam
Meskipun berutang tidak dianjurkan, jual beli kredit hukumnya boleh dalam syariah selama memenuhi ketentuan yang benar. Majma’ Fiqh Islami OKI No. 51 (2/6) tahun 1990 memutuskan:
“Boleh menjual barang secara kredit dengan harga lebih mahal dibanding tunai dan dicicil dalam jangka waktu tertentu.”
Dalil yang membolehkan jual beli kredit
1. Al Baqarah ayat 282
“Hai orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, tulislah transaksi itu.”
Ayat ini mencakup seluruh transaksi tidak tunai termasuk jual beli kredit.
2. Hadis Amr bin Ash radhiyallahu
Nabi menugaskan beliau membeli unta untuk persiapan jihad secara tidak tunai dengan harga lebih tinggi. Ketika unta zakat datang, Nabi ﷺ membayarnya. (HR. Ahmad, shahih menurut Ar-Nawawi)
Dalil ini menunjukkan jelas bahwa selama akadnya jual beli dan bukan pinjam meminjam uang, harga kredit boleh lebih besar dari harga tunai.
Perbedaan Jual Beli Kredit dan Riba
Agar tidak keliru dalam memahami hukum muamalah, penting mengetahui perbedaan mendasar antara jual beli kredit halal dan transaksi riba yang diharamkan dalam Islam. Banyak orang menganggap keduanya sama karena sama-sama ada tambahan nominal, padahal hakikatnya sangat berbeda.
Jual Beli Kredit (Halal)
a. Terjadi pertukaran barang dengan uang
b. Keuntungan berasal dari jual beli barang, bukan dari pinjaman
c. Harga disepakati di awal akad, jelas dan tetap
d. Mendorong perputaran ekonomi riil, karena barang berpindah tangan
e. Diperbolehkan syariah sebagai transaksi bisnis yang sah
Riba (Haram)
a. Terjadi pertukaran uang dengan uang
b. Tambahan muncul karena pinjaman, bukan karena jual beli
c. Tambahan dikenakan karena keterlambatan / bunga pinjaman
d. Tidak menciptakan perputaran ekonomi riil dan memicu inflasi
e. Diancam keras dalam syariah karena mengandung kezaliman
Perbedaan ini menunjukkan bahwa tidak semua kredit adalah riba, tetapi kredit bisa menjadi riba jika melanggar ketentuan syariah.
Syarat Sah Jual Beli Kredit dalam Islam
Agar transaksi cicilan tetap berada dalam koridor halal dan tidak berubah menjadi praktik riba terselubung, Islam memberikan panduan yang sangat jelas. Jual beli kredit boleh dilakukan, namun harus memenuhi prinsip-prinsip syariah berikut:
1. Akad dibuat dengan jelas, tegas, dan tidak bertujuan untuk menyiasati riba
Skema yang sengaja merancang jual beli sebagai kedok pinjaman (seperti bai’ inah) dilarang karena hakikatnya hanya memutar uang untuk mengambil keuntungan yang haram.
2. Barang yang dijual harus sudah dimiliki penjual sebelum akad terjadi
Artinya penjual tidak boleh menjual sesuatu yang belum menjadi miliknya (bai’ ma’dum). Menjual barang yang belum dimiliki atau hanya sekadar pesanan untuk kemudian dicari setelah akad adalah praktik yang tidak sah.
3. Barang harus diserahkan kepada pembeli pada saat akad berlangsung
Tidak boleh akad dilakukan sekarang kemudian barang diterima esok hari, karena ini termasuk jual beli utang dengan utang yang dilarang syariah.
4. Harga harus satu dan disepakati di awal akad
Total angsuran, jumlah cicilan, dan jangka waktu harus jelas sejak awal. Tidak boleh ada dua pilihan harga (tunai sekian atau kredit sekian) tanpa penetapan final sebelum akad.
5. Tidak ada denda keterlambatan pembayaran
Tambahan nominal akibat telat membayar adalah riba jahiliyah, yang dengan tegas diharamkan.
6. Tidak berlaku untuk emas, perak, dan mata uang
Karena transaksi ini adalah jenis ribawi yang wajib tunai dan sama nilai.
7. Tidak boleh menggabungkan akad sewa dengan jual beli sekaligus (leasing)
Gabungan akad yang saling mengikat berpotensi memunculkan riba dan ketidakadilan.
8. Tidak boleh ada syarat yang membuat harga bertambah ketika terjadi keterlambatan angsuran
Penambahan nominal semacam ini adalah inti dari riba yang sangat dikecam dalam syariat.
Jual Beli Inah: Riba Tersembunyi dalam Akad Kredit
Dalam praktik jual beli kredit, ada satu bentuk transaksi yang tampak seperti jual beli biasa, namun hakikatnya merupakan riba terselubung. Akad tersebut dikenal sebagai jual beli inah (bai’ al-‘inah). Secara sederhana, jual beli inah adalah transaksi ketika seseorang membeli barang secara kredit dengan harga lebih mahal, kemudian langsung menjual kembali barang tersebut kepada penjual pertama secara tunai dengan harga yang lebih murah.
Contoh paling umum:
Seseorang datang ke showroom membeli motor secara kredit seharga Rp13 juta dengan cicilan Rp1 juta per bulan selama 13 bulan. Setelah motor diterima, pembeli langsung menjual motor itu kembali kepada showroom secara tunai seharga Rp10 juta.
Jika dilihat dari sisi realita, pembeli mendapatkan uang tunai Rp10 juta dan harus mengembalikan Rp13 juta dalam tempo tertentu. Motor hanya menjadi kedok agar transaksi tampak halal, padahal hakikatnya adalah utang dibayar dengan kelebihan nominal, yang merupakan riba.
Dalam Islam, makna riba bukan sebatas bunga bank, tetapi setiap tambahan yang diambil dari utang adalah riba. Karena itu, walaupun akad ini dibungkus dengan istilah jual beli, substansinya adalah pemberian pinjaman dengan syarat penambahan, yang jelas diharamkan.
Hukum Jual Beli Inah
Para ulama sepakat bahwa jual beli inah hukumnya haram, karena tujuan transaksi ini adalah menghalalkan riba dengan cara manipulasi akad. Walaupun mazhab Syafi’i memiliki pendapat bahwa bentuk inah tertentu boleh, namun inhah yang disyaratkan dalam akad (yaitu perjanjian sejak awal bahwa barang akan dibeli kembali oleh penjual) tetap dianggap haram dan dilarang keras.
Dalil Haramnya Jual Beli Inah
Rasulullah ﷺ bersabda dalam hadits dari Ibnu Umar:
“Bila orang-orang tidak mau meminjamkan dinar dan dirham tanpa bunga, mereka melakukan transaksi inah, mereka sibuk dengan ternak dan meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan bencana kepada mereka, dan bencana itu tidak akan diangkat hingga mereka kembali kepada agama Allah.”
(HR. Ahmad, dinyatakan shahih oleh Ibnu Qaththan).
Baca juga: No Ribet! 8 Cara Dapat Modal Usaha 10 Miliar Halal Bebas Drama dan Zonk Riba!
Hadits ini menunjukkan bahwa jual beli inah adalah sebab turunnya musibah dan hilangnya keberkahan harta berupa bencana ekonomi dan kesempitan finansial. Praktik inah menghidupkan kultur riba dan mendorong ketidakadilan ekonomi yang merugikan masyarakat.
Mengapa Jual Beli Inah Berbahaya bagi Ekonomi?
a. Mendorong beban utang tanpa pertumbuhan ekonomi nyata
b. Tidak ada benda nyata yang berpindah dan menambah produktivitas
c. Menambah uang beredar tanpa penambahan barang dan jasa (menyebabkan inflasi)
d. Menghilangkan keberkahan harta dan mengundang risiko ekonomi
Inilah sebabnya mengapa syariat sangat menegaskan prinsip transparansi, kejujuran, dan transaksi yang berlandaskan keadilan. Islam membolehkan jual beli kredit halal dengan syarat-syarat yang jelas, namun mengharamkan praktik inah yang menjadikan barang sebagai topeng riba. Perbedaan antara keduanya harus dipahami agar umat muslim tidak terjebak dalam transaksi yang menghilangkan keberkahan.






