artikel
9 Desember 2025
Waspada! Bedah Hukum Fikih Kredit Rumah, Wajib Tahu Sebelum Mengajukan ke Bank!
Praktik jual beli kredit semakin berkembang dalam sistem keuangan modern, baik di sektor konvensional maupun syariah. Salah satu instrumen keuangan yang sering digunakan dalam perbankan syariah adalah akad murabahah, yang merupakan bentuk transaksi jual beli di mana bank membeli barang dan menjualnya kepada nasabah dengan tambahan margin. Meskipun demikian, penting untuk memahami bagaimana transaksi ini dilaksanakan dengan benar agar tidak melanggar prinsip-prinsip syariah, yang menghindari unsur riba dan praktik yang tidak sesuai dengan hukum Islam.
Mari simak pembahasan lebih lanjut oleh Founder LBS Urun Dana Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA dan sekaligus Pakar Fikih Muamalah untuk memahami lebih dalam tentang tawarruq dan penerapannya dalam dunia perbankan syariah, sebagaimana dibahas dalam bukunya Harta Haram (2021).
Apa Itu Tawarruq?
Tawarruq adalah transaksi jual beli di mana seseorang membeli barang secara tidak tunai, kemudian menjual barang tersebut kepada pihak ketiga dengan harga tunai. Transaksi ini dibolehkan oleh mayoritas ulama karena pada dasarnya tawarruq adalah bentuk akad jual beli yang tidak dimaksudkan untuk mengakali riba. Dalam Islam, Allah telah menghalalkan jual beli, selama dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang benar.
Tawarruq dalam Bank Syariah
Sejak awal tahun 2000-an, banyak bank syariah di Arab Saudi yang mulai menerapkan transaksi tawarruq, di antaranya Unit Syariah Bank SAMBA, Unit Syariah Bank SABB, dan Unit Syariah Bank ANB. Transaksi tawarruq ini bahkan mencapai 60% dari total operasional bank-bank syariah tersebut. Para peneliti perbankan syariah membagi tawarruq menjadi dua jenis berdasarkan cara kerjanya:
1. Tawarruq Hakiki
Tawarruq jenis ini dilakukan oleh nasabah secara langsung. Dalam transaksi ini, nasabah membeli barang dari bank syariah dengan cara kredit, kemudian menjualnya sendiri kepada pihak ketiga untuk mendapatkan uang tunai. Prosesnya berlangsung langsung antara nasabah dan pihak ketiga tanpa melibatkan perantara lain. Ini adalah bentuk tawarruq yang paling sederhana dan sesuai dengan prinsip dasar jual beli dalam syariah, selama barang yang dibeli adalah barang yang sah dan ada transaksi riil.
Baca juga: Nah Loh! Jual Beli Kredit Bisa Jadi Riba Terselubung, Ini Fakta Hukumnya!
2. Tawarruq Munazzam
Pada tawarruq jenis ini, bank syariah bertindak sebagai perantara. Dalam praktiknya, bank akan membeli barang terlebih dahulu dan kemudian menjual barang tersebut kepada pihak ketiga. Setelah itu, nasabah menerima uang tunai hasil penjualan barang tersebut. Tawarruq jenis ini lebih umum diterapkan oleh bank-bank syariah karena bank berperan sebagai pihak yang mengelola transaksi dan memberikan kemudahan bagi nasabah untuk mendapatkan uang tunai. Dalam hal ini, bank juga memastikan bahwa transaksi berjalan sesuai dengan prinsip syariah yang transparan dan halal.
Contoh Tawarruq dalam Praktek Perdagangan
Contoh praktik tawarruq yang dilakukan oleh pedagang adalah membeli barang dengan sistem kredit dari supplier dan kemudian menjualnya kepada pihak lain dengan pembayaran tunai. Dalam hal ini, meskipun barang tersebut belum diterima secara fisik, transaksi tetap sah setelah barang diterima oleh pembeli. Tawarruq yang tidak sah atau yang disebut "tawarruq bay'‘al-tawarruq" adalah ketika barang tidak diterima secara nyata, tetapi hanya diatur di atas kertas untuk tujuan mendapatkan uang tunai, yang bisa berpotensi menjadi bentuk riba. Oleh karena itu, penerimaan barang adalah syarat penting agar transaksi ini sah.
Akad Murabahah dalam Jual Beli Kredit
Murabahah adalah jual beli amanah, di mana penjual menyebut harga pokok barang dan menyaratkan laba sekian kepada pembeli. Sebagai contoh, sebuah rumah sakit yang membutuhkan alat-alat kesehatan mendatangi lembaga keuangan syariah untuk mendapatkan pembiayaan.
Lembaga keuangan syariah tidak memberikan uang, tetapi berjanji untuk membeli alat kesehatan yang dibutuhkan dan menjualnya ke rumah sakit dengan harga lebih tinggi yang dibayar dalam sistem kredit. Murabahah adalah instrumen yang sering digunakan dalam sistem pembiayaan syariah, di mana transaksi ini transparan dan tidak melibatkan unsur riba.
Studi Kasus Akad Murabahah
Namun, perlu diperhatikan bahwa dalam transaksi murabahah, jika akadnya tidak dilakukan dengan benar, maka hal ini bisa berpotensi terjerumus dalam riba. Berikut beberapa contoh kesalahan dalam penerapan akad murabahah:
1. Studi Kasus Pertama
Seorang calon pembeli berkata, “Belikan untukku barang seharga 10 dinar, nanti saya akan membelinya dari Anda seharga 12 dinar secara kredit.” Hukum jual beli ini adalah riba. Menurut Ibnu Rusyd, transaksi ini haram karena ada unsur pinjaman yang berlebihan, yang menjadikan transaksi tersebut mirip dengan praktik riba. Ini terjadi karena pembeli kedua menginginkan barang, tetapi dengan cara yang disarankan lebih mirip dengan pinjaman berbunga yang tidak sah dalam Islam.
2. Studi Kasus Kedua
Calon pembeli berkata, "Beli barang ini dengan harga 10 dinar, nanti saya akan membelinya darimu seharga 12 dinar secara kredit, dan saya pasti akan memenuhi janji." Hukum murabahah jenis ini diperselisihkan oleh ulama kontemporer. Beberapa ulama berpendapat bahwa janji tersebut tidak boleh mengikat. Hal ini karena, jika janji tersebut menjadi wajib, maka akad tersebut bertentangan dengan larangan jual beli barang yang belum dimiliki. Ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ, "Jangan kamu jual barang yang belum engkau miliki" (HR. Abu Daud).
3. Studi Kasus Ketiga
Calon pembeli berkata, "Beli barang ini untuk saya dengan harga 10 dinar, nanti saya berjanji membelinya darimu seharga 12 dinar, tetapi janji ini tidak mengikat." Ini adalah contoh akad murabahah yang sah karena janji ini tidak mengikat dan tidak ada unsur riba atau perjanjian yang melanggar prinsip syariah.
Potensi Riba dalam Akad Jual Beli Kredit Rumah
Namun, kelemahan utama dari praktik tawarruq dan akad murabahah adalah adanya potensi penyalahgunaan dalam transaksi. Beberapa lembaga keuangan syariah terkadang langsung menyusun akad jual beli murabahah tanpa memastikan bahwa barang tersebut sudah dimiliki oleh pihak lembaga.
Misalnya, pihak bank syariah akan menjual rumah kepada nasabah dengan spesifikasi tertentu, lalu menambahkan margin keuntungan yang dilunasi dalam tempo waktu tertentu. Praktik ini jelas bertentangan dengan prinsip dasar syariah, sebab akad murabahah seharusnya tidak dilakukan sebelum barang tersebut dimiliki oleh lembaga keuangan syariah. Jika dilakukan, maka hukum jual beli ini menjadi haram.
Sabda Nabi ﷺ dalam hal ini sangat jelas, sebagaimana diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam, yang berkata:
"Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang diinginkan dari pasar?" Rasulullah ﷺ menjawab: "Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki." (HR. Abu Daud).
Baca juga: Paten! Mengenal Akad Muzara’ah, Solusi Petani Raih Cuan Berkeadilan!
Panduan dari AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) juga menegaskan bahwa transaksi murabahah dalam perbankan syariah harus dilakukan setelah barang tersebut dimiliki terlebih dahulu oleh lembaga keuangan. Oleh karena itu, transaksi yang dilakukan sebelum lembaga keuangan menerima barang yang dipesan tidak sah menurut prinsip syariah. Jika akad dilakukan sebelum barang diterima, maka transaksi ini bisa dianggap sebagai bentuk riba.
Hukum Fikih Uang Muka dalam Kredit Rumah
Sebagai tambahan, dalam fatwa Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fikih OKI) no: 72 (3/8) tahun 1993, ditegaskan bahwa uang muka (DP) tidak boleh diminta pada tahap janji dalam transaksi murabahah. Artinya, uang muka baru boleh diterima setelah akad murabahah diterima dan barang telah benar-benar dibeli oleh bank syariah.
Hal ini penting untuk menjaga agar transaksi tetap sesuai dengan syariah dan menghindari praktik yang bisa berujung pada riba. Uang muka yang diminta pada tahap janji bisa mengarah pada penipuan atau praktik riba, karena pada saat itu, transaksi tersebut belum memiliki kepemilikan atas barang yang dimaksud.
Kesalahan Umum dalam Praktik DP Kredit Rumah
Sering kali, calon pembeli rumah atau barang lainnya mendatangi lembaga keuangan syariah setelah mereka telah melakukan transaksi dengan pihak pengembang atau penjual. Bahkan terkadang mereka sudah membayar uang muka (DP) terlebih dahulu sebelum mengajukan permohonan pembiayaan murabahah di bank syariah. Jika bank tetap menyetujui pembiayaan tersebut, maka akad tersebut tidak dapat dikatakan sebagai jual beli yang sah, melainkan lebih mirip dengan praktik pinjaman berbunga.
Dalam kasus seperti ini, bank hanya bertindak sebagai penyelesaian utang nasabah kepada pengembang atau penjual, dengan cara membayar harga rumah secara tunai dan menarik pembayaran kembali dari nasabah secara kredit dengan tambahan margin keuntungan (laba). Ini sebenarnya adalah bentuk riba jahiliyah, yang dilarang dalam Islam, karena tidak ada transaksi jual beli nyata yang terjadi di sini.
Tawarruq dan akad murabahah adalah instrumen keuangan yang sangat berguna dalam perbankan syariah, tetapi harus dilakukan dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah yang jelas. Praktik tawarruq harus melibatkan barang yang nyata dan bukan hanya di atas kertas, dan akad murabahah tidak boleh dilakukan tanpa kepemilikan barang oleh lembaga keuangan syariah.
Jika praktik ini tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan syariah, maka tidak hanya akan melanggar hukum Islam, tetapi juga dapat mengarah pada praktik riba yang dilarang. Oleh karena itu, sangat penting bagi lembaga keuangan syariah untuk selalu mematuhi prinsip-prinsip syariah dan memastikan bahwa transaksi yang dilakukan benar-benar sah dan tidak melibatkan unsur-unsur yang dapat merugikan umat Islam.
Semoga penjelasan ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai tawarruq dan murabahah, serta bagaimana transaksi ini harus dilakukan sesuai dengan syariah untuk menjaga keberkahan dan kemaslahatan umat.






