artikel
18 November 2025
Paten! Mengenal Akad Muzara’ah, Solusi Petani Raih Cuan Berkeadilan!
Akad muamalah mencakup banyak sekali bentuk perjanjian yang dapat diaplikasikan dalam berbagai jenis transaksi. Konsep muamalah ini memberikan solusi bagi berbagai sektor ekonomi, termasuk sektor pertanian.
Sebagai negara agraris, Indonesia seharusnya memiliki sektor pertanian yang kuat, namun kenyataannya, nasib petani sering kali terabaikan. Bagaimana sebenarnya kondisi ini bisa diperbaiki? Salah satu solusi yang dapat diambil adalah melalui penerapan akad-akad muamalah yang sesuai dengan prinsip syariah, seperti Muzara'ah. Mari simak lebih lanjut mengenai akad ini.
Apa itu Akad Muzara'ah?
Akad Muzara'ah merupakan salah satu bentuk kerjasama dalam sektor pertanian yang dapat diterapkan dalam konteks investasi dan pembiayaan di Indonesia. Sebagai bagian dari pembiayaan pertanian berbasis syariah, akad ini berperan penting dalam menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara pihak-pihak yang terlibat, terutama antara pemilik lahan dan pengelola lahan atau petani.
Menurut AAOIFI dalam bukunya Sharia Standard (2017), Akad Muzara'ah adalah akad sukuk yang diterbitkan dengan nilai yang setara. Sertifikat ini dikeluarkan dengan tujuan untuk menggunakan dana yang dihimpun melalui langganan (subscription) untuk membiayai proyek berbasis prinsip syariah. Dalam arti akad muzara’ah dua pihak, biasanya pemilik lahan dan pengelola atau petani, bekerja sama dalam pengelolaan lahan pertanian, dengan pembagian hasil yang disepakati bersama.
Dalil Seputar Akad Muzara'ah
Akad jual beli halal ini bukan hanya dikenal dalam kitab-kitab fikih, tetapi juga dipraktikkan langsung sejak zaman Nabi ﷺ. Para ulama menegaskan bahwa akad ini termasuk akad yang dibolehkan dan memiliki landasan praktik nyata dari Rasulullah ﷺ, para sahabat, serta generasi setelahnya. Hal ini menunjukkan bahwa muzara’ah merupakan mekanisme kerja sama pertanian yang sah dalam Islam dan memiliki legitimasi kuat dalam syariat.
Baca juga: Autopilot! Sistem Bisnis Franchise, Mulai dari Pengertian Sampai Hukum Akadnya!
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa:
Nabi ﷺ mempekerjakan seseorang untuk mengelola tanah Khaibar dengan ketentuan hasilnya dibagi setengah antara pekerja dan pengelola. (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam Bukhari bahkan membuat bab khusus tentang muzara’ah, dengan mencatat bahwa keluarga-keluarga kaum muhajirin di Madinah terbiasa melakukan kerja sama pertanian dengan pembagian sepertiga atau seperempat hasil panen.
Beliau juga menukil bahwa tokoh-tokoh besar sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Zubair, keluarga Abu Bakar, keluarga Umar, keluarga Ali, hingga Ibnu Sirin yang semuanya pernah melakukan kerja sama muzara’ah.
Ibnu Hajar rahimahullah kemudian menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat dari kalangan sahabat mengenai kebolehannya, khususnya penduduk Madinah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menambahkan bahwa praktik muzara’ah dilakukan oleh para muhajirin, khulafaur rasyidin, dan para tabiin tanpa ada yang mengingkari. Ia mengatakan: Jika ada ijma’ (kesepakatan) yang benar-benar kuat dalam masalah muamalah, maka inilah salah satunya.
Syarat Akad Muzara’ah
Menurut Fiqh Muammalah dari Klasik hingga Kontemporer (2018) karya Akhmad Farroh Hasan terdapat sejumlah syarat dalam akad jual beli ini. Berikut ini syarat lengkapnya:
1. Syarat yang Berkaitan dengan Para Pihak (‘Aqidain)
Kedua pihak yang berakad harus memiliki akal dan kemampuan bertindak. Artinya, mereka paham apa yang disepakati dan mampu menjalankan kewajiban masing-masing.
2. Syarat yang Berkaitan dengan Tanaman
Jenis tanaman yang akan dibudidayakan harus ditentukan sejak awal. Penentuan jenis tanaman ini mencegah perselisihan dan memastikan kedua pihak memahami hasil apa yang akan diperoleh.
3. Syarat yang Berkaitan dengan Pembagian Hasil
Bagian hasil panen yang menjadi hak masing-masing pihak harus disebutkan secara jelas, biasanya dalam bentuk persentase. Hasil panen dianggap sebagai milik bersama yang dibagi sesuai kesepakatan.
4. Syarat yang Berkaitan dengan Tanah
Lokasi tanah, batas-batasnya, serta kondisi fisiknya perlu dijelaskan. Hal ini memastikan tidak ada keraguan mengenai objek akad, termasuk luas lahan yang akan digarap.
Baca juga: Komplit Pol! 15 Istilah Akad Sukuk, Ngerti Konsep Biar Investasi Gak Nyasar!
5. Syarat Waktu dan Ketentuannya
Masa pengelolaan harus ditentukan. Misalnya, satu musim tanam, satu tahun, atau hingga waktu tertentu sesuai kebiasaan pertanian di daerah tersebut.
6. Syarat yang Berkaitan dengan Alat atau Sarana Pertanian
Perlu ditegaskan siapa yang menanggung dan menyediakan alat-alat bercocok tanam. Apakah alat disediakan pemilik lahan, disiapkan oleh petani, atau dibagi sesuai kesepakatan.
Rukun-Rukun Muzara’ah
Dalam fikih, para ulama memiliki beberapa pandangan mengenai rukun akad muzara’ah. Mazhab Hanabilah menyebutkan bahwa rukun muzara’ah cukup satu, yaitu ijab dan kabul, yang dapat diucapkan dengan lafal apa pun yang menunjukkan adanya kesepakatan antara pemilik lahan dan petani.
Bahkan, menurut mereka, akad sah jika dilafazkan dengan redaksi seperti akad ijarah. Namun, berdasarkan konsensus ulama, rukun muzara’ah mencakup empat unsur utama:
1. Pemilik tanah
2. Petani penggarap
3. Objek muzara’ah, yaitu lahan pertanian yang jelas dan sah secara syariat
4. Ijab dan kabul, baik dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Apabila keempat rukun dan syarat-syarat pendukungnya telah terpenuhi, maka akad dianggap sah dan memiliki konsekuensi hukum.
Dampak Hukum dari Akad Muzara’ah
Jika akad telah dilakukan dengan memenuhi rukun dan syarat, maka konsekuensi hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Petani bertanggung jawab terhadap benih dan pemeliharaan, termasuk menanam, merawat, hingga memastikan tanaman tumbuh sesuai kesepakatan.
b. Biaya pertanian seperti pupuk, irigasi, dan pembersihan tanaman ditanggung bersama, disesuaikan dengan persentase bagian masing-masing pihak.
c. Hasil panen dibagi sesuai dengan rasio yang disepakati di awal.
d. Pengaturan pengairan mengikuti kesepakatan. Jika tidak ada perjanjian khusus, maka mengikuti kebiasaan (‘urf) setempat.
e. Jika salah satu pihak meninggal dunia sebelum panen, akad tetap berlanjut hingga masa panen tiba. Hak dan kewajiban pihak yang wafat diwakili oleh ahli warisnya, yang kemudian dapat memutuskan apakah akad ingin dilanjutkan atau dihentikan.
Berakhirnya Akad Muzara’ah
Akad muzara’ah dapat berakhir karena beberapa sebab berikut:
1. Meninggalnya salah satu pihak, apabila ahli waris memutuskan untuk tidak melanjutkan akad.
2. Terjadinya penyimpangan oleh petani dalam pelaksanaan akad, seperti melanggar kesepakatan atau mengelola lahan tidak sesuai tujuan.
3. Adanya uzur (halangan) yang membuat salah satu pihak tidak dapat melanjutkan kerja sama. Contohnya:
a. Pemilik lahan terjerat hutang besar sehingga lahan harus dijual atas keputusan hakim. Jika tanaman sudah berbuah namun belum layak panen, lahan tetap boleh dijual sebelum panen berlangsung.
b. Uzur pada petani, seperti sakit berat, perjalanan jauh, atau kondisi lain yang menyebabkan ia tidak mampu lagi mengurus lahan sampai masa panen.
Akad halal ini adalah mekanisme kerja sama pertanian yang sah dalam Islam, memiliki dasar kuat dari praktik Nabi ﷺ hingga ijma’ ulama, serta dirancang untuk menciptakan hubungan yang adil antara pemilik lahan dan petani.
Baca juga: Cuzz Baca! Kupas Akad Wakalah, Dari Hukum Hingga Model Bisnis Halal Berkah!
Dengan rukun dan syarat yang jelas seperti kejelasan pihak, lahan, jenis tanaman, pembagian hasil, hingga ketentuan biaya dan waktu, akad ini memastikan kerja sama berlangsung tanpa gharar dan saling menguntungkan.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara agraris, akad muzara’ah dapat menjadi solusi pembiayaan syariah yang memperkuat sektor pertanian sekaligus membuka peluang investasi halal bagi masyarakat.






