berita
25 Oktober 2025
Alamak! Umrah Mandiri Boleh, Tapi 4 Dampaknya Ngeri-Ngeri Sedap!
Pemerintah dan DPR RI resmi melegalkan umrah mandiri lewat Undang-undang Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU). Aturan baru ini memberi kebebasan bagi jamaah untuk berangkat ke Tanah Suci tanpa melalui biro perjalanan resmi atau PPIU.
Kabar ini disambut gembira oleh sebagian masyarakat yang selama ini menanti kepastian hukum untuk beribadah secara mandiri. Namun di balik antusiasme tersebut, muncul sejumlah kekhawatiran yang disuarakan oleh pelaku industri dan organisasi penyelenggara haji-umrah. Berikut empat dampak utama yang perlu diperhatikan bersama.
1. Dampak bagi Pelaku Usaha dan Penyelenggara Umrah
Legalitas umrah mandiri menjadi pukulan berat bagi ribuan Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU) yang telah beroperasi secara resmi. Selama ini, mereka berperan penting dalam menjaga tata kelola ibadah, menyediakan lapangan kerja, dan memastikan keberangkatan jamaah sesuai standar pemerintah.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Zaky Zakariya, menilai pasal baru ini menimbulkan kegelisahan besar di kalangan pelaku usaha. Menurutnya, aturan ini bisa membuat banyak perusahaan travel umrah kehilangan pasar dan bahkan gulung tikar.
“Bagi ribuan pelaku PPIU yang sudah berinvestasi besar, patuh membayar pajak, menjalani sertifikasi, dan menyediakan lapangan kerja bagi jutaan orang, keputusan ini seperti petir di siang bolong,” ujar Zaky sebagaimana dikutip dari Antara pada Jumat (24/10/2025).
2. Dampak terhadap Perlindungan dan Keamanan Jamaah
Zaky juga memperingatkan bahwa umrah mandiri adalah konsep yang tampak memberikan kebebasan, tetapi mengandung risiko besar bagi jamaah. Tanpa pendampingan resmi, jamaah bisa kehilangan bimbingan manasik, perlindungan hukum, serta tanggung jawab jika terjadi penipuan atau gagal berangkat.
Ia menegaskan, jika terjadi masalah seperti kehilangan bagasi, keterlambatan visa, atau musibah di Tanah Suci, tidak ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, banyak jamaah bisa terjerat pelanggaran aturan di Arab Saudi karena minimnya pemahaman terhadap regulasi setempat, seperti batas waktu visa dan larangan aktivitas tertentu.
Dikutip dari CNBC, kasus penipuan dan gagal berangkat yang pernah menimpa lebih dari 120 ribu calon jamaah pada 2016 menjadi pengingat bahwa tanpa pengawasan ketat, risiko semacam ini bisa terulang kembali.
3. Dampak Ekonomi dan Sosial di Tanah Suci
Di Mekkah dan Madinah, jamaah Indonesia selama ini dikenal sebagai kelompok besar yang datang melalui biro resmi. Jika pola umrah mandiri meningkat, permintaan terhadap jasa lokal seperti pemandu, katering, hingga transportasi akan berkurang.
Efeknya bukan hanya pada ekonomi pelaku lokal di Tanah Suci, tetapi juga pada UMKM dan pekerja Indonesia yang selama ini terlibat dalam rantai usaha umrah. Keterlibatan jamaah yang terkoordinasi oleh biro resmi selama ini membantu menjaga ketertiban dan kesinambungan ekosistem ekonomi di dua kota suci tersebut.
4. Dampak terhadap Ekosistem dan Kedaulatan Ekonomi Umat
Zaky juga menilai legalisasi umrah mandiri membuka peluang bagi platform global dan agen perjalanan asing untuk langsung menjual paket ke masyarakat Indonesia tanpa melibatkan PPIU lokal. Jika hal ini dibiarkan, dana masyarakat akan mengalir keluar negeri sementara jutaan pekerja domestik kehilangan penghasilan.
Selama ini, sektor haji dan umrah di Indonesia menyerap lebih dari 4,2 juta tenaga kerja, mulai dari pemandu, penyedia perlengkapan, hingga pelaku UMKM. Kehadiran PPIU juga membantu menjaga Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kontribusi pajak yang besar.
Jika sistem mandiri tidak diatur dengan ketat, kedaulatan ekonomi umat bisa tergerus perlahan. Kebijakan umrah mandiri membawa harapan baru bagi umat Islam untuk bisa beribadah secara lebih fleksibel. Namun, seperti diingatkan Amphuri, kebijakan ini juga berpotensi menimbulkan efek domino yang besar.
Tanpa regulasi turunan yang tegas dan sistem pengawasan yang kuat, dampaknya bisa merembet pada keamanan jamaah, keberlangsungan usaha, hingga ekonomi umat secara keseluruhan.
Kebebasan beribadah seharusnya tetap berjalan dalam koridor keamanan, bimbingan, dan tanggung jawab bersama agar perjalanan suci benar-benar membawa keberkahan, bukan masalah baru.






