artikel
23 Oktober 2025
Cengli! Kupas Tuntas Bagi Hasil dalam Islam, Cuan Halal Tanpa Drama Riba!
Di tengah hiruk-pikuk dunia keuangan yang sering mengejar laba tanpa batas, ada satu nilai yang tetap relevan dan tak lekang oleh waktu yakni bagi hasil dalam Islam. Prinsip ini menempatkan kerja sama dan tanggung jawab sebagai inti dari setiap keuntungan yang diperoleh.
Bagi hasil dalam perspektif fikih muamalah bukan hanya persoalan angka, melainkan cerminan hubungan saling percaya antara pemilik modal dan pengelola usaha. Di sinilah makna sejatinya terlihat: keuntungan bukan hadiah dari spekulasi, melainkan buah dari kerja nyata dan risiko yang ditanggung bersama. Sistem ini menegaskan bahwa setiap imbalan harus lahir dari aktivitas produktif, transparan, dan bernilai manfaat bagi kedua pihak.
Pengertian Bagi Hasil dalam Islam
Dalam konteks ekonomi, kata hasil sering disamakan dengan pendapatan, yaitu uang yang diterima oleh individu, perusahaan, atau lembaga lain dalam berbagai bentuk seperti upah, gaji, sewa, bunga, komisi, ongkos, atau laba.
Menurut Supriadi, akademisi dari UIN Alauddin Makassar, bagi hasil adalah istilah yang berasal dari dua kata, yaitu bagi dan hasil. Kata bagi berarti penggal, pecah, atau mengurai dari sesuatu yang utuh, sedangkan hasil merupakan akibat dari suatu tindakan, baik yang disengaja maupun tidak, dan dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan.
Baca juga: Wajib Ngerti! Cara Mudah Paham Akad Jual Beli, No Riba Gharar Dzalim!
Secara terminologi asing (Inggris), bagi hasil dikenal dengan istilah profit sharing yang berarti pembagian laba (profit). Berdasarkan pengertian tersebut, bagi hasil dapat dimaknai sebagai pembagian keuntungan atau pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan dana, baik melalui investasi maupun kegiatan jual beli, sesuai dengan persyaratan dan kesepakatan yang telah disetujui bersama.
Perbedaan Bagi Hasil dan Bunga
Konsep bagi hasil dalam ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem bunga yang diterapkan dalam ekonomi konvensional. Menurut Nuril Aini (2024) bagi hasil tidak didasarkan pada kepastian nominal seperti bunga, melainkan pada prinsip kemitraan, risiko bersama, dan transparansi hasil usaha. Agar sesuai dengan prinsip syariah, konsep bagi hasil harus memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Penanaman Modal atau Dana
Modal yang ditanamkan dapat dikembangkan melalui aktivitas perdagangan atau pemutaran usaha. Jika pemilik modal ingin menambah dana, hal tersebut diperbolehkan dengan syarat memastikan bahwa modal yang sedang dikelola nyata dan aktif dalam kegiatan jual beli. Tambahan modal harus dihitung sebagai satu kesatuan dengan konsekuensi untung dan ruginya.
2. Rukun dan Syarat Akad Bagi Hasil
Setiap usaha bagi hasil wajib memenuhi rukun akad, yaitu pihak-pihak yang berakad (pemilik dan pengelola modal), objek akad (modal atau dana), serta bentuk usaha yang dijalankan. Ketiga unsur ini harus jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian (gharar).
3. Pembagian Keuntungan secara Proporsional
Keuntungan yang diperoleh setelah dikurangi seluruh biaya operasional harus dibagi sesuai dengan nisbah atau rasio yang disepakati sejak awal. Tidak boleh ada pihak yang dirugikan atau mengambil bagian secara sepihak.
Prinsip utama dari sistem bagi hasil adalah transparansi dan kerja sama yang adil antara pemilik modal dan pengelola. Inti dari konsep ini terletak pada kemitraan yang saling menguntungkan, di mana kedua pihak berbagi risiko dan hasil usaha. Prinsip ini merupakan cerminan karakter masyarakat ekonomi Islam yang menekankan keadilan, kejujuran, dan keberkahan dalam muamalah.
Skema Bagi Hasil dalam Pendanaan Syariah
Bagi hasil merupakan prinsip utama yang menjamin keadilan, transparansi, dan keberkahan dalam kegiatan usaha. Pendanaan tidak hanya bertujuan memperoleh keuntungan, tetapi juga menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan antara pemilik modal dan pengelola usaha.
Prinsip ini diterapkan melalui berbagai akad syariah, yaitu kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang mengatur pembagian keuntungan, risiko, dan tanggung jawab secara halal. Dalam praktik keuangan modern, terdapat enam akad utama dalam pendanaan syariah yang menjadi dasar berkembangnya instrumen seperti sukuk di skema securities crowdfunding.
1. Musyarakah
Musyarakah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih yang sama-sama menyertakan modal. Keuntungan dibagi sesuai porsi modal dan kesepakatan awal, sementara kerugian ditanggung bersama secara proporsional.
Akad ini menumbuhkan semangat kolaborasi dan keadilan, karena setiap pihak memiliki kontribusi nyata terhadap usaha yang dijalankan.
2. Mudharabah
Mudharabah adalah kerja sama antara pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib). Pemilik modal menyerahkan dana untuk dikelola secara produktif, sementara pengelola bertugas menjalankan kegiatan usaha.
Keuntungan dibagi berdasarkan nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung pemilik modal selama bukan akibat kelalaian pengelola. Akad ini menjadi dasar utama bagi model bagi hasil dalam investasi syariah modern, termasuk pada sukuk dan securities crowdfunding.
3. Murabahah
Murabahah adalah akad jual beli di mana penjual menyebutkan harga pokok barang dan menambahkan margin keuntungan yang disepakati.
Dalam konteks pendanaan syariah, akad ini digunakan untuk pembiayaan barang atau kebutuhan usaha dengan sistem pembayaran yang jelas dan transparan. Investor atau lembaga keuangan membeli barang yang dibutuhkan pengusaha, lalu menjualnya kembali dengan harga yang mencakup margin halal.
4. Ishtishna’
Akad Ishtishna’ adalah salah satu bentuk akad jual beli dalam keuangan syariah yang digunakan untuk pembiayaan proyek atau produksi barang berdasarkan pesanan. Artinya, pihak pembeli (mustashni’) memesan suatu barang kepada pihak produsen atau pengembang (shani’) untuk dibuat sesuai spesifikasi, waktu, dan harga yang disepakati di awal.
Berbeda dengan jual beli biasa, dalam akad atau sukuk Ishtishna’ barangnya belum ada saat akad dilakukan. Baru akan diproduksi atau dibangun kemudian. Karena itu, akad ini sering digunakan untuk proyek konstruksi dan manufaktur, seperti pembangunan gedung, pabrik, kapal, infrastruktur, atau produksi barang dalam jumlah besar.
5. Salam
Salam adalah akad jual beli di mana pembayaran dilakukan di muka, sementara barang diserahkan kemudian pada waktu yang telah ditentukan. Akad ini sering digunakan untuk pembiayaan sektor pertanian atau komoditas. Investor membayar terlebih dahulu, sedangkan penerbit atau pelaku usaha menyerahkan hasil panen atau barang sesuai kualitas dan jumlah yang disepakati.
Baca juga: No Riba Club! Ini 5 Prinsip Investasi Syariah untuk Raih Cuan Berkah
6. Ijarah
Ijarah adalah akad sewa menyewa atas manfaat suatu aset. Investor berperan sebagai pemilik aset dan memperoleh imbal hasil dari pembayaran sewa yang dilakukan oleh pihak penyewa.
Akad ini menjadi dasar penerbitan Sukuk Ijarah, salah satu jenis sukuk paling populer di pasar global. Keuntungannya stabil karena berasal dari pendapatan sewa aset produktif, seperti properti, peralatan, atau infrastruktur.
Fast Track Funding: Cara Halal Dapat Rp10 Miliar dalam 10 Hari!
Dalam praktik pendanaan syariah modern, konsep bagi hasil bukan hanya teori, melainkan sistem yang benar-benar bekerja dan memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha maupun investor. Prinsip ini memastikan setiap keuntungan diperoleh secara adil, transparan, dan sesuai kontribusi masing-masing pihak.
Melalui LBS Urun Dana, prinsip bagi hasil diterapkan dalam bentuk pendanaan berbasis sukuk dan saham. Setiap proyek yang didanai bukan hanya menjalankan kegiatan bisnis halal, tetapi juga menerapkan transparansi finansial yang ketat dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Untuk mempercepat pertumbuhan sektor usaha halal, LBS Urun Dana menghadirkan program unggulan Fast Track Funding, yaitu pendanaan syariah mulai dari Rp500 juta hingga Rp10 miliar hanya dalam waktu sekitar 10 hari kerja. Program ini mempermudah pelaku usaha halal yang siap berkembang untuk mendapatkan akses modal dengan sistem bagi hasil yang cepat, efisien, dan tetap sesuai prinsip syariah.
Kriteria Pengajuan Pendanaan:
a. Bidang usaha wajib halal
b. Kebutuhan dana minimal Rp300 juta
c. Omzet tahunan minimal Rp2,5 miliar
d. Telah berbadan hukum (PT atau CV)
e. Usaha telah berjalan minimal 2 tahun
f. Memiliki laporan keuangan (dapat dibimbing bila belum ada)
g. Menyertakan RAB, SPK, atau PO sebagai dasar pembiayaan
Kini saatnya Anda ikut membuktikan bahwa bisnis yang halal, transparan, dan berkeadilan mampu tumbuh lebih cepat dan lebih kuat. Ajukan pendanaan Anda melalui LBS Urun Dana dan rasakan bagaimana sistem bagi hasil bekerja nyata dalam membangun ekonomi syariah di Indonesia. Ajukan sekarang!