berita
23 Oktober 2025
Sengit! 6 Fakta Perseteruan Purbaya vs Dedi Mulyadi Soal Dana Pemda Ngendap Rp234 Triliun
Perseteruan antara Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi perhatian publik. Kedua pejabat ini bersilang pendapat soal dana pemerintah daerah yang disebut menumpuk di bank. Purbaya menuding Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan dana mengendap terbesar, sementara Dedi menepis tudingan tersebut dengan tegas.
Sebagaimana dikutip dari CNBC pada Kamis (23/10/2025), berikut enam fakta penting yang menggambarkan panasnya perdebatan dua pejabat negara ini dan refleksi penting tentang amanah dalam mengelola keuangan publik.
1. Dana Pemda Mengendap Capai Rp234 Triliun
Kementerian Keuangan mencatat dana milik pemerintah daerah yang tersimpan di perbankan mencapai Rp234 triliun per akhir September 2025, naik 12,17 persen dari Rp 208,6 triliun pada tahun sebelumnya.
Lonjakan ini terjadi karena serapan belanja daerah menurun drastis. Belanja modal, yang seharusnya mendorong pembangunan, justru turun 31,3 persen menjadi Rp 58,2 triliun dari target Rp 203,9 triliun. Banyak anggaran publik akhirnya mengendap di bank tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
2. Jawa Barat Jadi Provinsi yang Disorot
Dari total dana tersebut, Jawa Barat disebut sebagai salah satu provinsi dengan dana mengendap terbesar, yakni Rp 4,17 triliun. Data ini bersumber dari Bank Indonesia dan diyakini valid oleh Kementerian Keuangan karena berasal dari laporan rutin perbankan.
Baca juga: Cihuy! Menkeu Purbaya Kaji Revisi Tarif PPN, Pajak OTW Turun Jadi 8%
Purbaya menilai kondisi ini ironis, mengingat Jawa Barat merupakan wilayah dengan tingkat kebutuhan pembangunan dan investasi publik yang besar. Dana sebesar itu seharusnya bisa membantu mempercepat program pembangunan dan pelayanan masyarakat, bukan berhenti di rekening bank.
3. Dana Disimpan di Bank Umum, Bukan di Bank Daerah
Purbaya juga menyoroti kebiasaan banyak pemerintah daerah, termasuk Jawa Barat, yang menempatkan dana transfer dari pusat bukan di Bank Pembangunan Daerah (BPD) melainkan di bank-bank umum di Jakarta.
Menurutnya, langkah ini mengurangi manfaat ekonomi bagi daerah. Jika dana disimpan di BPD, likuiditas perbankan daerah akan meningkat dan perputaran uang bisa langsung mendukung kegiatan ekonomi masyarakat lokal. Namun, ketika dana publik “diparkir” di luar daerah, efek ekonomi yang seharusnya dirasakan masyarakat pun berkurang.
4. Dedi Mulyadi Membantah dan Klarifikasi
Gubernur Dedi Mulyadi membantah klaim Kementerian Keuangan yang menyebut Jawa Barat menyimpan dana hingga Rp 4,17 triliun dalam bentuk deposito. Menurutnya, dana kas daerah hanya sekitar Rp 3,8 triliun dan berbentuk giro, bukan deposito.
“Dana itu sudah dibelanjakan untuk kebutuhan seperti gaji pegawai, perjalanan dinas, dan pembayaran listrik,” jelasnya.
Ia menambahkan, dana dalam bentuk deposito adalah milik Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), bukan kas pemerintah provinsi. Dedi menilai data Kemenkeu tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan.
5. Purbaya Bersikukuh Data BI yang Paling Benar
Menanggapi bantahan tersebut, Purbaya tetap bersikukuh bahwa data Bank Indonesia adalah sumber paling akurat. Ia menegaskan bahwa angka yang disampaikan sudah diverifikasi oleh bank sentral melalui laporan perbankan yang rutin dikerjakan.
“Itu sudah dicek sama BI, harusnya betul semua itu. Mereka harus cek lagi seperti apa dana di perbankan mereka,” ujar Purbaya di kantor Kementerian Keuangan.
Menurutnya, data yang berasal dari sistem pelaporan bank ke BI memiliki tingkat keandalan tinggi. Karena itu, ia meminta Pemda tidak asal membantah, melainkan melakukan pengecekan ulang agar hasilnya objektif dan transparan.
6. BI Sebut Dana Pemda Jabar yang Mengendap
Pemerintah Provinsi Jawa Barat menegaskan bahwa tidak ada dana Rp4,1 triliun yang mengendap di perbankan. Dalam kunjungan ke Bank Indonesia, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi bersama Sekda memastikan langsung data keuangan daerah. Hasil klarifikasi dari BI menyebutkan bahwa dana kas daerah hanya sekitar Rp3,8 triliun dan tersimpan dalam rekening giro, bukan deposito seperti yang diberitakan sebelumnya.
Baca juga: Plot Twist! 5 Drama Ekonomi Setahun Prabowo-Gibran: Dari MBG Hingga Sri Mulyani Out!
Sebagian dana lainnya memang berada dalam bentuk deposito Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dikelola secara mandiri dan tidak termasuk dalam kas daerah. Pemprov Jabar menegaskan dana Rp3,8 triliun tersebut telah digunakan untuk keperluan pembangunan, pembayaran gaji pegawai, tagihan rutin, dan operasional daerah. Klarifikasi ini menegaskan komitmen Pemprov Jabar untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan publik.
Pentingnya Amanah Kelola Dana Rakyat
Konflik antara Purbaya dan Dedi Mulyadi bukan sekadar soal beda angka. Ia menyingkap persoalan yang lebih mendasar: bagaimana amanah keuangan publik dijalankan. Dana daerah adalah titipan rakyat, bukan milik pejabat atau lembaga. Ketika dana itu mengendap tanpa manfaat, sesungguhnya ada tanggung jawab moral yang sedang diabaikan.
Islam menempatkan amanah sebagai hal yang sangat serius. Rasulullah ﷺ pernah menolak permintaan sahabatnya, Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu, yang ingin diberi jabatan, dan bersabda:
“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan ini adalah amanah. Nanti di hari kiamat menjadi sumber kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang menerima jabatan ini dan ia layak mengembannya serta menunaikan amanah.” (HR. Muslim).
Baca juga: Patut Ditiru! Ini Cara Rasullulah ﷺ Melawan Korupsi
Hadits ini menunjukkan bahwa kekuasaan bukan kehormatan, melainkan ujian. Orang yang diberi tanggung jawab mengelola dana publik harus memiliki dua sifat utama: kompeten dan dapat dipercaya.
Rasulullah ﷺ juga memperingatkan,
“Apabila sebuah urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat.” (HR. Bukhari)
Artinya, setiap jabatan publik harus diemban oleh orang yang memahami tanggung jawabnya dan sadar bahwa setiap rupiah dari uang rakyat akan dimintai pertanggungjawaban.
Konflik Purbaya dan Dedi Mulyadi seharusnya menjadi pengingat bahwa pengelolaan dana publik tidak boleh hanya dilihat dari sisi administratif, tetapi juga moral. Data bisa diverifikasi, tetapi amanah tidak bisa ditawar.
Uang rakyat harus bergerak, bukan mengendap. Dana publik harus memberi manfaat, bukan menimbulkan kecurigaan. Sebab, di balik setiap rupiah yang tidak digunakan dengan benar, ada amanah besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ﷻ.