berita
15 Desember 2025
Ngilu! Utang Pinjol Warga Indonesia Meledak Tembus Rp 92,9 Triliun, Ekonomi Sehat?
Utang pinjaman online di Indonesia terus membengkak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pembiayaan industri pinjaman daring mencapai Rp 92,92 triliun pada Oktober 2025. Angka ini tumbuh 23,86 persen secara tahunan atau year on year (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya yang sebesar 22,16 persen yoy.
Pertumbuhan dua digit ini menandakan satu hal: ketergantungan masyarakat terhadap pembiayaan digital masih sangat kuat. Namun, di balik ekspansi cepat tersebut, muncul pertanyaan krusial yang tidak bisa diabaikan. Apakah pertumbuhan utang ini masih sehat, atau justru menyimpan risiko laten yang belum terlihat?
Rasio Kredit Macet Turun, Tapi Nilai Utang Terus Membesar
Di tengah lonjakan outstanding pinjol, OJK melaporkan penurunan tingkat risiko kredit macet. Tingkat Wanprestasi 90 hari (TWP90) industri pinjaman daring pada Oktober 2025 tercatat sebesar 2,76 persen, membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level 2,82 persen.
Sebagaimana dikutip dari Tempo pada Senin (15/12/2025) Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan OJK, Agusman, menyampaikan bahwa secara agregat risiko kredit masih terkendali. Namun, penurunan rasio ini tidak serta-merta berarti risiko menghilang. Ketika basis utang tumbuh sangat cepat, rasio bisa terlihat lebih baik meski nilai nominal kredit bermasalah tetap meningkat.
Artinya, tekanan sesungguhnya bisa muncul saat terjadi perlambatan ekonomi atau penurunan daya beli, ketika debitur mulai kesulitan membayar kewajiban.
BNPL Melonjak Tajam, Utang Konsumtif Kian Dominan
Lonjakan utang juga terjadi pada skema Buy Now Pay Later (BNPL). OJK mencatat pembiayaan BNPL oleh perusahaan pembiayaan meningkat 69,71 persen yoy pada Oktober 2025 menjadi Rp 10,85 triliun. Meski melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 88,65 persen yoy, angka ini tetap menunjukkan ekspansi agresif.
Baca juga: Miris! Tren Utang Pinjol Orang Indonesia, Pengen Cepat Cair Tapi Males Bayar!
Di saat yang sama, tingkat kredit macet BNPL atau Non Performing Financing (NPF) gross tercatat sebesar 2,79 persen. Kombinasi pertumbuhan tinggi dan rasio gagal bayar yang mulai terbentuk menjadi sinyal bahwa utang konsumtif semakin mengambil porsi besar dalam struktur pembiayaan nasional.
Modal Ventura Tertekan, Pegadaian Melejit
Berbeda dengan pinjol dan BNPL, pembiayaan modal ventura justru mengalami kontraksi. Pada Oktober 2025, pembiayaan modal ventura turun 0,10 persen yoy dengan nilai pembiayaan sebesar Rp 16,30 triliun. Kondisi ini menunjukkan pembiayaan berbasis pengembangan usaha belum sepenuhnya pulih.
Sebaliknya, industri pergadaian mencatat pertumbuhan tajam. Penyaluran pembiayaan pergadaian melonjak 38,89 persen yoy menjadi Rp 120,45 triliun. Secara historis, lonjakan pembiayaan gadai sering kali mencerminkan tekanan likuiditas rumah tangga, ketika aset dijaminkan demi memenuhi kebutuhan jangka pendek.
Piutang Pembiayaan Tembus Rp 505 Triliun
Secara keseluruhan, piutang pembiayaan perusahaan pembiayaan pada Oktober 2025 mencapai Rp 505,30 triliun, tumbuh 0,68 persen yoy. Pertumbuhan ini terutama ditopang oleh pembiayaan modal kerja yang meningkat 9,28 persen yoy.
Meski terlihat stabil, arah pertumbuhan perlu dicermati. Ketika utang konsumtif tumbuh jauh lebih cepat dibanding pembiayaan produktif, risiko ketidakseimbangan keuangan menjadi semakin nyata. Rasio kredit boleh terlihat aman hari ini, tetapi tekanan bisa datang tiba-tiba ketika siklus ekonomi berubah.
Baca juga: Tragis! 22 Ribu Anak Muda Gagal Bayar Pinjol, OJK Ungkap Biang Keroknya!
Pada akhirnya, data OJK menunjukkan bahwa industri pembiayaan masih bergerak, tetapi arah pertumbuhannya patut diwaspadai. Ketika pinjol, BNPL, dan pergadaian tumbuh jauh lebih cepat dibanding pembiayaan produktif, sinyal tekanan keuangan rumah tangga menjadi semakin jelas.
Rasio kredit macet yang terlihat terkendali hari ini belum tentu mencerminkan kondisi riil di lapangan. Jika daya beli melemah atau ekonomi melambat, beban utang yang terus membesar berpotensi berubah menjadi risiko sistemik yang sulit dikendalikan.






