artikel
22 Juni 2025
Awas Haram! Ini 5 Kaidah Fiqih Muamalah yang Wajib Dikuasai Biar Berkah Dunia Akhirat
Pernahkah kamu merasa bingung, bagaimana hukum Islam terhadap suatu hal? Apakah ini dibolehkan? Atau termasuk dosa? Karenanya, sebagai umat Islam, kita sangat perlu untuk memahami hukum yang mengatur setiap tindakan yang kita lakukan. Karena sejatinya, Islam bukan hanya tentang ibadah, tetapi islam mencakup seluruh aspek kehidupan kita. Mulai dari cara makan, bisnis, hingga cara bergaul terhadap sesama.
Salah satu aspek kehidupan yang diajarkan dalam agama Islam adalah muamalah. Apa itu muamalah? Muamalah dalam Islam tidak hanya meliputi hubungan antar sesama manusia, tetapi juga lebih luas dari itu. Ia mencakup segala bentuk aktivitas sosial seperti jual beli, pinjam-meminjam, kerja sama bisnis, sewa-menyewa, hingga akad nikah.
Namun, tidak semua masalah dalam muamalah dijelaskan secara langsung dalam Al-Qur’an atau hadis. Karena itu, para ulama merumuskan prinsip-prinsip umum yang dikenal sebagai kaidah fiqih (Qawaid Fiqhiyyah)
Mengenal Kaidah Fiqih Sebagai Prinsip Hukum Islam
Apa itu kaidah fiqih? Sederhananya kaidah fiqih adalah “prinsip umum” dalam hukum Islam yang bersifat tetap, digunakan untuk memahami hukum-hukum furu’ (cabang). Artinya, kaidah ini membantu kita menarik kesimpulan hukum dari berbagai persoalan tanpa harus mengulang proses ijtihad dari awal.
Baca juga: Muamalah dalam Islam: Kunci Keadilan Sosial dan Ekonomi Halal
Lantas, apa bedanya dengan Hukum furu’? Hukum furu’ adalah hukum-hukum cabang yang bersifat praktis, seperti yang berkaitan dengan jual beli, warisan, pernikahan, dan hal-hal serupa. Sedangkan kaidah fiqih adalah dasar berpikir yang digunakan untuk memahami hukum-hukum cabang tersebut.
5 Kaidah Fiqih Populer dan Penerapannya Dalam Muamalah
Di antara berbagai kaidah fiqih, kita akan membahas 5 kaidah fiqhiyyah yang sering digunakan beserta contoh penerapannya dalam muamalah sehari-hari. Apa saja kaidah fiqhiyyah populer tersebut?
1. Al-Umuru bi Maqashidiha (Segala urusan tergantung pada tujuannya)
Segala perbuatan ditentukan oleh niat atau tujuan perbuatan tersebut, bukan dari apa yang tampak dari perbuatan. Misal: Jika seseorang sudah mencapai batas harta yang wajib dizakati (Nishab), misalnya 85 gram emas, dan pada saat Haul (setelah 1 tahun), ia berusaha menghindari zakat dengan cara melakukan jual beli fiktif agar hartanya turun di bawah Nishab, maka hukum zakat tetap berlaku. Yang dihitung adalah niatnya, bukan sekadar tampilan luar. Jadi, meskipun hartanya terlihat turun, ia tetap wajib membayar zakat jika niatnya untuk menghindari kewajiban zakat tersebut.
2. Al-Yaqin La Yazulu Bisy-Syak (Keyakinan tidak hilang karena keraguan)
Keraguan yang muncul setelah adanya keyakinan, tidak dianggap. Misal: Jika seseorang mempunyai hutang, kemudian dia yakin sudah melunasinya, akan tetapi setelahnya muncul keraguan apakah sudah melunasinya atau belum, maka tidak perlu lagi baginya untuk membayar, kecuali terdapat bukti bahwa ia ternyata belum membayarnya.
3. Al-Masyaqqah Tajlibu At-Taysir (Kesulitan mendatangkan kemudahan)
Keadaan sulit dapat meringankan atau melonggarkan aturan yang berlaku agar tidak bertambah kesulitannya. Misal: Jika seseorang yang memiliki kekayaan diwajibkan untuk membayar zakat, namun berada dalam kondisi keuangan yang sangat sulit hingga untuk kebutuhan sehari-harinyapun mengalami kesulitan, ia diperbolehkan untuk menunda pembayaran hingga keadaan finansialnya membaik.
4. Adh-Dhararu Yuzal (Bahaya harus dihilangkan)
Segala bentuk kemudaratan yang terjadi pada salah satu pihak harus ditiadakan atau dihilangkan. Misal: : Seseorang menyewa tempat usaha untuk jangka waktu 3 tahun. Namun, di tahun kedua, terjadi krisis pandemi yang membuat usaha tidak dapat berjalan dan pendapatan hilang sepenuhnya. Karena tidak mampu membayar sewa seperti biasa, akad tersebut dapat dibatalkan atau dinegosiasi ulang, mengingat bahwa mempertahankannya akan menyebabkan kerugian besar pada salah satu pihak.
5. Al-‘Adah Muhakkamah (Kebiasaan bisa menjadi dasar hukum)
Kebiasaan atau praktek yang telah diterima dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai landasan hukum, selama tidak bertentangan dengan syariat. Misal: Jika seseorang meminta bantuan kepada orang lain untuk membeli properti, kemudian setelah selesai akad jual-belinya orang yang menolong tadi meminta bayaran, maka dilihat, apakah orang tersebut adalah broker yang terbiasa melakukan hal tersebut atau bukan. Jika ternyata orang tersebut adalah broker yang biasa menolong orang dengan upah tertentu, maka bagi peminta pertolongan untuk membayar orang tersebut sesuai harga pasar.
Mengapa Kaidah Fiqih Relevan Bagi Kita Hari Ini?
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak masalah muamalah yang tidak memiliki dalil langsung dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam situasi seperti ini, kaidah fiqih berperan sebagai pedoman penting untuk menetapkan hukum secara tepat sesuai nilai-nilai syariat.
Baca juga: Bukan Cuma Jual Beli! Ini Ruang Lingkup Muamalah yang Wajib Anda Tahu!
Selain itu, Kaidah fiqih juga memastikan bahwa etika transaksi tetap terjaga—berjalan dengan prinsip kejujuran, keadilan, dan tanpa merugikan pihak mana pun. Prinsip-prinsip seperti "bahaya harus dihilangkan" dan "kesulitan mendatangkan kemudahan" menunjukkan bahwa syariat Islam tidak hanya membahas hukum, tapi juga menekankan akhlak dalam bertransaksi.
Penutup
Memahami kaidah fiqih memberikan banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari. Ia membantu kita untuk bertindak bijak ketika tidak ada dalil spesifik, menjaga etika dalam transaksi, serta memastikan bahwa setiap aktivitas muamalah sesuai dengan prinsip hukum Islam.
Sebagai komponen penting dalam muamalah Islam, kaidah fiqih menjamin bahwa transaksi dilakukan dengan keadilan, keterbukaan, dan sejalan dengan hukum Islam. Kaidah ini menjadi pedoman agar aktivitas ekonomi, baik yang sederhana maupun kompleks, tetap berada dalam jalur syariah.
Oleh karena itu, mempelajari kaidah fiqih bukan hanya tugas para ulama, tapi kebutuhan setiap Muslim yang ingin menjaga agar transaksinya bersih dari unsur haram, penuh etika, dan bernilai ibadah.