artikel
28 Juni 2025
Hati-Hati! Narik Pajak Gak Syari Bisa Kena Laknat, Ini Penjelasan Lengkapnya!
Dalam dinamika kehidupan sosial dan tata kelola negara, dua istilah yang sering menjadi sorotan utama adalah risywah (sogokan) dan pajak (muks). Keduanya tidak hanya berdampak pada hubungan antar individu, tetapi juga mencerminkan kualitas moral dalam sistem pemerintahan.
Risywah identik dengan kezaliman dan ketidakadilan, sementara pajak memunculkan pertanyaan serius tentang batasan kewenangan negara dalam menarik harta dari rakyat. Dalam menghadapi kompleksitas ini, umat Islam memerlukan panduan syar’i yang jelas dan terpercaya.
Islam sebagai agama yang adil dan menyeluruh telah mengatur hubungan keuangan antara rakyat dan penguasa dengan prinsip kejujuran, keadilan, dan maslahat. Penjelasan rinci dan ilmiah tentang topik ini dapat ditemukan dalam buku Harta Haram: Muamalat Kontemporer karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA. Mari membahasnya bersama.
Risywah Mutlak Haram, Tetapi…
Secara etimologi, risywah (الرِّشْوَة) berasal dari kata yang berarti "tali yang digunakan untuk mengambil sesuatu dari sumur." Secara istilah syar’i, risywah berarti memberikan sesuatu kepada pihak lain untuk memperoleh sesuatu yang bukan haknya atau agar diprioritaskan secara tidak adil.
Baca juga: Tolak Tegas! Apa Itu Risywah dan Jenis-Jenisnya, Sekali Coba Neraka Ganjarannya!
Risywah sering terjadi dalam berbagai bentuk menyuap pejabat untuk meloloskan proyek,
menyogok hakim agar memenangkan perkara, memberi "amplop" kepada petugas agar dipermudah proses dan memberikan hadiah yang sebenarnya bermotifkan keuntungan duniawi. Meski hukum asalnya haram, para ulama membedakan kondisi normal dan kondisi darurat.
1. Pendapat Pertama
Tetap berdosa hukumnya memberikan sogok pada saat itu. Dalil pendapat ini bahwa hadist-hadist yang menjelaskan haramnya memberi dan menerima sogok mutlak, tanpa ada pengecualian. Dengan demikian dalam kondisi apapun haram hkumnya memberi sogok.
2. Pendapat Kedua
Sebagian ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali memberikan rukhshah (dispensasi) bagi pemberi sogok dalam kondisi tertentu. Mereka memandang bahwa apabila seseorang hanya ingin mendapatkan haknya yang dihalangi oleh pihak yang zalim, tidak menemukan jalan lain kecuali dengan menyuap, dan tidak bertujuan untuk mengambil hak orang lain, maka pemberi sogok tidak berdosa, meskipun penerimanya tetap berdosa.
a. Mazhab Hanafi
Di antara tokoh yang menyuarakan pendapat ini adalah Ibnu Abidin (Hanafi) yang menyatakan, “Sogok yang diberikan untuk menyelamatkan harta dan hak dari kezaliman, halal bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima.”
b. Mazhab Syafi’i
Senada dengannya, Ar-Ramli (Syafi’i) mengatakan, “Jika seseorang tahu bahwa hartanya akan diambil dengan cara batil kecuali ia menyuap, maka tidak berdosa baginya menyuap.”
c. Mazhab Hanbali
Sementara Ibnu Qudamah (Hanbali) juga menegaskan bahwa, “Jika seseorang menyuap untuk menghindari kezaliman, maka hal itu diperbolehkan.”
Pendapat-pendapat ini menunjukkan adanya pemahaman yang realistis dari para ulama terhadap kondisi masyarakat yang mungkin terpaksa melakukan sogokan demi mempertahankan haknya.
Islam memerangi risywah bukan hanya karena ia adalah dosa personal, tetapi karena ia merusak tatanan kehidupan umat. Dalam Islam, tujuan tidak boleh menghalalkan segala cara, kecuali dalam kondisi darurat yang jelas syarat dan batasnya. Setiap Muslim yang ingin hidup dalam kejujuran, keberkahan, dan keadilan wajib menjauhi praktik sogok dan berani mengatakan “tidak” pada kezaliman.
"Dan apabila kamu berkata, maka berkatalah dengan adil, walaupun terhadap kerabatmu sendiri." (QS. Al-An’am: 152)
Pandangan Islam Mengenai Pajak
Pembahasan mengenai pajak (muks) menjadi topik yang sarat nuansa. Secara bahasa, muks merupakan pungutan atau beban harta yang dipungut dari rakyat secara paksa. Dalam hadis-hadis Nabi Muhammad ﷺ, istilah muks disebutkan dalam konteks negatif, bahkan ancaman keras dilayangkan terhadap pelakunya. Beliau ﷺ bersabda:
“Tidak akan masuk surga para pemungut pajak.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, dinilai hasan li ghairihi oleh Syaikh Al-Albani)
Bahkan dalam atsar, disebutkan bahwa Nabi ﷺ mengatakan kepada seorang wanita pemungut pajak:
“Sabar wahai Khalid! Demi Allah, sungguh wanita itu telah bertaubat. Kalau penarik pajak (muks) bertaubat seperti dia, niscaya dosanya diampuni.”
Hal ini menunjukkan bahwa pajak dalam bentuk zalim yang merampas harta rakyat tanpa syariat yang sah adalah perbuatan yang besar dosanya. Oleh karena itu, sebagian ulama klasik seperti Al-Mawardi dan Abu Ya’la tegas mengharamkan penarikan pajak.
Meski ayat dan hadits mengharamkan pengambilan harta tanpa hak, Islam tetap mengakui adanya kewajiban sosial dalam harta seorang muslim, termasuk untuk fakir miskin dan kepentingan umat. Maka, pajak yang ditarik demi kebutuhan pokok dan stabilitas negara bisa menjadi wujud tanggung jawab kolektif.
Larangan terhadap muks dalam hadis lebih ditujukan pada pajak yang zalim dan menindas. Sementara itu, pajak yang adil, transparan, dan digunakan untuk kemaslahatan umum tidak termasuk dalam larangan tersebut dan justru dibenarkan oleh syariat.
Pajak Diperbolehkan dengan Syarat
Dalam perkembangan kontemporer, sebagian besar ulama fikih melihat urgensi dan kondisi riil kenegaraan. Mereka memahami bahwa negara tidak dapat berjalan tanpa pemasukan yang tetap. Oleh karena itu, muncul pendapat dari para ulama seperti dari mazhab Hanafi dan sebagian Syafi’i yang membolehkan pajak dengan syarat-syarat tertentu, yaitu:
1. Adanya kebutuhan nyata (hajah) dan darurat syar’i, misalnya untuk membiayai keamanan, pertahanan, dan kebutuhan umat
2. Tidak ada jalan lain (baitul mal kosong), bila negara tidak memiliki cukup dana untuk kebutuhan pokok masyarakat, maka boleh mengenakan pajak
3. Hanya diberlakukan kepada orang kaya yang mampu. Ulama seperti Al-Haitami menyatakan: “Menolak mudharat umat adalah tanggung jawab bersama”
4. Harus berdasarkan musyawarah dengan ulama, agar tidak terjadi penyalahgunaan oleh penguasa zalim.
5. Bersifat sementara dan tidak untuk gaya hidup mewah. Syaikh Asy-Syatibi menyebut: “Pajak ditarik atas dasar darurat dan diukur seperlunya. Jika darurat telah hilang maka pajak pun mesti dihapuskan”
Kesimpulannya jika penarikan pajak dilakukan secara adil, transparan, dan berdasarkan kebutuhan pokok negara serta didukung oleh prinsip keadilan sosial, maka sebagian ulama memandangnya tidak termasuk dalam larangan muks yang disebut dalam hadis-hadis Nabi ﷺ.
Baca juga: Maling Duit Rakyat! Apakah Koruptor Boleh Dihukum Mati? Ini Jawabannya!
Oleh karena itu, yang menjadi titik krusial adalah: Apakah pajak yang diterapkan oleh negara Indonesia telah memenuhi syarat-syarat syar’i atau belum?
Semoga kita termasuk hamba yang menjaga hartanya dari perkara haram dan berani berhijrah ke sistem keuangan yang lebih berkah. Mulailah dari sekarang dengan berinvestasi halal di LBS Urun Dana. Proyek syariah, modal patungan, potensi imbal hasil yang menggiurkan. Investasi sekarang dan jadikan harta Anda lebih bermakna!