artikel
9 Juni 2025
Maling Duit Rakyat! Apakah Koruptor Boleh Dihukum Mati? Ini Jawabannya! (Bagian Ketujuh)
Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga sebuah pengkhianatan terhadap amanah dan kepercayaan masyarakat. Dalam Islam, korupsi bukan hanya dipandang sebagai kejahatan administratif atau ekonomi, melainkan juga sebagai dosa sosial dan moral yang merusak tatanan kehidupan umat.
Ketika pejabat yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi, maka hilanglah rasa keadilan dan tumbuhlah ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan.
Sejarah Islam memberikan teladan bagaimana para pemimpin terdahulu bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan, termasuk korupsi. Salah satu tokoh yang paling menonjol dalam ketegasan ini adalah Khalifah Umar bin Khattab.
Dengan kebijaksanaannya, Umar tidak hanya memberantas korupsi secara reaktif, tetapi juga membangun sistem pengawasan yang mencegah potensi penyalahgunaan sejak awal.
Baca juga: Patut Ditiru! Ini Cara Rasullulah ﷺ Melawan Korupsi (Bagian Keenam)
Merujuk pada buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA, mari menguraikan bagaimana islam menerapkan pengawasan terhadap kekayaan pejabat, sistem pembuktian terbalik, inspeksi mendadak, serta memberikan sanksi yang sesuai dengan syariat.
Semua ini menunjukkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi keadilan dan menjadikan amanah sebagai prinsip utama dalam tata kelola kekuasaan.
Mengawasi Kekayaan Pejabat Negara
Kepemimpinan dalam Islam menuntut kejujuran, integritas, dan transparansi, terutama dari para pejabat negara yang mengelola amanah publik. Khalifah Umar bin Khattab menjadi contoh teladan dalam hal ini. Beliau tidak hanya memilih orang-orang saleh dan jujur, tetapi juga menciptakan sistem untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang.
Salah satu metode efektif yang diterapkan Umar adalah pencatatan jumlah kekayaan pejabat sebelum diangkat. Hal ini dilakukan bukan karena suudzon, tetapi untuk menjaga transparansi dan mempermudah evaluasi jika ditemukan kejanggalan kekayaan selama menjabat. Ibnu Sa’ad meriwayatkan dalam bukunya At Tabaqat al-Kubra bahwa:
"Setiap kali Umar mengangkat seorang pejabat, beliau selalu mencatat jumlah kekayaan pejabat tersebut sebelum diangkat."
Langkah ini menjadi sistem pengawasan proaktif yang mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan kekayaan publik.
Pembuktian Terbalik: Cara Pejabat Buktikan Sumber Hartanya
Dalam Islam, seorang yang memegang amanah publik tidak hanya diminta untuk jujur, tapi juga harus siap dipertanggungjawabkan jika hartanya bertambah secara mencurigakan. Khalifah Umar menerapkan sistem pembuktian terbalik, di mana pejabat yang hartanya meningkat tajam diwajibkan menjelaskan sumber kekayaannya.
Contoh nyata terjadi saat sahabat Abu Hurairah, dikritik oleh Umar karena mendadak memiliki 10.000 dinar setelah menjabat sebagai gubernur Bahrain. Umar bertanya kepadanya:
"Wahai, musuh Allah dan musuh kitab-Nya, apakah engkau mencuri harta Allah (harta negara)?"
Baca juga: Merinding! Ini Azab Bagi Pelaku Korupsi, Ditagih Sampai Akhirat! (Bagian Kelima)
Abu Hurairah membela diri:
"Aku bukanlah musuh Allah dan kitab-Nya. Tetapi aku adalah musuh orang yang memusuhi Allah dan kitab-Nya serta aku bukanlah pencuri harta Allah."
Ketika ditanya dari mana hartanya berasal, ia menjawab:
"Kudaku berkembang biak, hasil usaha budakku naik, dan pembagianku dari harta rampasan perang menumpuk."
Namun Umar tetap menyita harta tersebut dan memecatnya, meski akhirnya terbukti bahwa harta itu halal. Hal ini menunjukkan sikap hati-hati dan tegas dalam mencegah kemungkinan korupsi sejak awal.
Inspeksi Mendadak: Senjata Diam-Diam Khalifah Umar
Tak hanya mengandalkan laporan administratif, Umar juga menggunakan pendekatan inspeksi mendadak. Beliau diam-diam datang ke Syam bersama Bilal bin Rabah dan menyusup ke rumah gubernur untuk menilai langsung gaya hidupnya.
Metode ini digunakan untuk menghindari kepalsuan laporan dan mendapatkan gambaran riil kehidupan pejabatnya. Umar bahkan mengurungkan niat menaikkan gaji gubernur tersebut setelah mengetahui gaya hidupnya sangat mewah.
Hukum Potong Tangan Bagi Koruptor
Korupsi dalam pandangan Islam adalah salah satu bentuk kejahatan sosial dan moral yang sangat merusak. Selain menyalahgunakan kepercayaan publik, korupsi merampas hak-hak masyarakat, menciptakan ketimpangan ekonomi, dan merusak keadilan.
Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38)
Ayat ini menunjukkan bahwa hukuman potong tangan adalah bentuk hukuman syar’i yang berat dan tegas bagi pencuri, sebagai efek jera dan perlindungan terhadap harta benda masyarakat. Namun, dalam fikih, potong tangan hanya berlaku jika pencurian memenuhi syarat, seperti dilakukan secara diam-diam, bukan karena diberi kepercayaan (amanah).
Baca juga: Berani Menimbun Barang? Rasulullah ﷺ Peringatkan Balasan Pedih di Akhirat! (Bagian Keempat)
Dalam hal ini, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
"Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya." (HR. Tirmidzi. Dihasankan oleh Al-Albani)
Maka, koruptor yang mengambil harta negara dari posisi kepercayaan tidak bisa dikenakan hukuman hudud potong tangan, karena dia bukan mencuri secara sembunyi-sembunyi, tetapi mengkhianati amanah.
Hukuman Ta’zir: Solusi Islam untuk Pelaku Koruptor
Karena tidak memenuhi syarat hudud, para ulama sepakat bahwa koruptor dapat dijatuhi hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditentukan oleh ulil amri berdasarkan kemaslahatan umat. Bentuknya bisa beragam: cambuk, kurungan, denda, pemecatan, bahkan pengasingan sosial.
Nabi ﷺ bersabda:
"Setiap tangan yang mengambil barang orang lain yang bukan haknya wajib menanggungnya hingga ia menyerahkan barang yang diambilnya." (HR. Tirmidzi)
Hukuman ini menunjukkan prinsip keadilan dalam Islam: tanggung jawab dan pengembalian hak adalah bagian dari sanksi sosial dan moral. Contoh hukuman ta’zir lainnya adalah cambuk bagi pencuri barang di bawah 1/4 dinar:
"Nabi menjatuhkan hukuman cambuk terhadap pencuri barang yang kurang nilainya dari 1/4 dinar." (HR. Imam Ahmad)
Selain itu, hukuman penjara juga pernah diberlakukan oleh Utsman bin Affan terhadap pencuri yang tidak memenuhi syarat hudud.
Hukum Mati untuk Koruptor: Apakah Dibenarkan?
Pertanyaan ini sering muncul di tengah masyarakat yang frustrasi dengan merajalelanya praktik korupsi. Tak sedikit yang mengusulkan agar koruptor dijatuhi hukuman mati, dengan harapan mampu memberi efek jera dan menghapuskan perilaku koruptif dari akar-akarnya.
Wajar bila suara ini muncul, karena korupsi bukan sekadar tindak pidana biasa korupsi telah menyebabkan kemiskinan struktural, rusaknya sistem pelayanan publik, ketimpangan ekonomi, bahkan mengancam masa depan sebuah bangsa. Namun, dalam kerangka hukum Islam, emosi dan keinginan balas dendam tidak bisa menjadi dasar penetapan hukum.
Syariat Islam menetapkan bahwa hukuman, terutama hukuman berat seperti hukuman mati, harus berdasarkan dalil yang jelas (nash qath’i), dan hanya diberlakukan jika semua syarat terpenuhi.
Rasulullah ﷺ sebagai pembawa risalah terakhir menegaskan prinsip kehati-hatian dalam menjatuhkan hukuman nyawa. Dalam hadits sahih disebutkan bahwa darah seorang muslim hanya boleh ditumpahkan dalam kondisi sangat terbatas:
Baca juga: Derita Dunia Akhirat! Ini Status Akad Jual Beli dan Sanksi Pengusaha Penipu (Bagian Ketiga)
"Tidak halal ditumpahkan darah seorang muslim yang telah bersyahadat 'la ilaha illallah' dan bersyahadat bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dia melakukan salah satu dari tiga hal: melakukan zina dan dia adalah seorang yang pernah menikah, membunuh jiwa orang lain, dan keluar dari agama Islam (murtad) yang memberontak terhadap pemimpin yang bertakwa."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, tidak ada dalil yang membolehkan hukuman mati atas korupsi, kecuali bila korupsi tersebut disertai dengan pembunuhan, pengkhianatan terhadap negara, atau perbuatan murtad. Oleh sebab itu, hukuman mati untuk koruptor tidak dapat diterapkan secara mutlak, melainkan melihat konteks kejahatannya secara utuh.
Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah mewariskan sistem antikorupsi yang tak hanya bertumpu pada kesalehan pribadi, tetapi juga melalui pengawasan, pembuktian, inspeksi, dan penegakan hukum. Islam menekankan pentingnya menjaga harta publik, karena setiap penyalahgunaan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah.
Dari teladan ini, kita belajar bahwa kejujuran dan tanggung jawab dalam mengelola harta bukan hanya untuk pejabat, tapi juga bagi setiap muslim. Baik dalam bekerja, berdagang, maupun berinvestasi, kita dituntut memilih jalan yang halal dan bersih dari riba serta manipulasi seperti berinvestasi di LBS Urun Dana.
Sebab, keberkahan harta bukan terletak pada jumlahnya, tetapi pada kehalalan dan kemanfaatannya. Semoga kita semua menjadi penjaga amanah dan pencari rezeki yang jujur di jalan Allah Ta’ala. Mulai investasi di sini.