artikel
15 Juni 2025
Tolak Tegas! Apa Itu Risywah dan Jenis-Jenisnya, Sekali Coba Neraka Ganjarannya! (Bagian Kedelapan)
Dalam tatanan kehidupan sosial, tidak ada hal yang lebih merusak daripada hancurnya keadilan. Ketika keadilan digadaikan demi kepentingan pribadi, dan hukum dipermainkan oleh kekuasaan dan uang, maka sebuah masyarakat akan kehilangan arah, dan negara menuju kehancuran.
Salah satu bentuk nyata dari kehancuran ini adalah praktik risywah, atau yang lebih dikenal dengan istilah suap. Melanjutkan pembahasan dari buku Harta Haram: Muamalat Kontemporer karya Ustadz. Dr. Erwandi Tarmizi, MA mari mengenal bahaya dari Risywah.
Risywah Penyakit Kronis Umat Yahudi
Risywah secara bahasa berarti "tali" atau "penghubung". Dalam istilah syar’i, risywah adalah pemberian (uang, barang, jasa) kepada seseorang, terutama pejabat atau pemilik wewenang, agar mendapatkan keuntungan atau kemudahan yang tidak seharusnya, atau untuk memenangkan suatu perkara yang tidak layak dimenangkan.
Perbuatan ini termasuk dosa besar yang tercela dalam Islam. Islam memandang risywah sebagai perbuatan yang batil, penuh kebohongan, dan sarat kezaliman.
Ketika Abdullah bin Rawahah menolak pemberian dari kaum Yahudi di Khaibar yang bermaksud menyuapnya untuk mengurangi pajak, ia berkata:
"Adapun harta yang kalian tawarkan adalah risywah, harta haram dan kami tidak memakan harta haram."
Sikap ini menunjukkan prinsip ketegasan dan kejujuran dalam Islam, bahkan terhadap orang non-Muslim sekalipun.
Dalil Al-Qur’an tentang Keharaman Risywah
Islam secara eksplisit mengecam praktik risywah sebagai tindakan kezaliman dan kebatilan. Allah Ta’ala berfirman:
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menegaskan keharaman menggunakan kekayaan untuk menyuap penegak hukum atau pejabat demi memenangkan perkara yang tidak adil. Allah Ta’ala juga berfirman mengenai kebiasaan buruk para ahli kitab yang menjadi peringatan bagi umat Islam:
Baca juga: Maling Duit Rakyat! Apakah Koruptor Boleh Dihukum Mati? Ini Jawabannya! (Bagian Ketujuh)
"Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram (hasil sogokan). Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka kerjakan itu." (QS. Al-Mā’idah: 42)
Ayat ini menggambarkan rusaknya moral masyarakat yang menjadikan suap dan kezaliman sebagai sesuatu yang biasa. Mereka bukan hanya berbuat dosa, tetapi melakukannya dengan cepat dan tanpa rasa malu. Ini merupakan peringatan bagi umat Islam agar tidak mengikuti jejak kaum terdahulu yang telah dibinasakan akibat kezaliman kolektif mereka.
Hadis-Hadis Tentang Risywah
Islam secara eksplisit mengharamkan risywah (suap) bukan hanya dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi juga ditegaskan dalam berbagai hadis shahih dari Nabi Muhammad ﷺ. Praktik suap dianggap sebagai bentuk kezaliman yang berbahaya karena melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan penghianatan terhadap amanah publik.
Rasulullah ﷺ melaknat semua pihak yang terlibat dalam praktik ini:
"Rasulullah ﷺ melaknat orang yang memberikan sogok, orang yang menerima sogok, serta orang yang menjadi perantaranya." (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani)
Dalam riwayat lain, redaksinya semakin memperjelas bahwa seluruh rantai pelaku risywah ikut mendapatkan dosa:
"Nabi ﷺ mengutuk orang yang memberikan sogok, orang yang menerima sogok, dan orang yang menjadi perantara dalam proses sogok menyogok." (HR. Ahmad)
Tak hanya itu, dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ menyampaikan bahwa perbuatan seperti risywah masuk dalam kategori baghy (kezaliman terhadap hak orang lain), yang merupakan dosa berat dengan dua balasan: langsung di dunia dan azab di akhirat:
Baca juga: Patut Ditiru! Ini Cara Rasullulah ﷺ Melawan Korupsi (Bagian Keenam)
"Tidak ada dosa yang lebih pantas disegerakan Allah menurunkan azabNya terhadap pelaku dosa di dunia di samping azab yang disediakan Allah di akhirat, selain dosa baghy (menzalimi serta melanggar hak orang lain) dan memutuskan hubungan kekerabatan." (HR. Abu Daud, shahih menurut Al-Albani)
Hadis ini memperingatkan kita bahwa risywah bukan sekadar pelanggaran administratif atau sosial, tetapi merupakan bentuk kezaliman struktural yang mengundang kemurkaan Allah baik di dunia maupun akhirat. Masyarakat yang membiarkan risywah bersemi sama saja sedang menggali lubang kehancuran bersama.
Dampak Sistemik Risywah dalam Kehidupan Sosial
Risywah (suap) bukan sekadar dosa individual. Ia adalah racun sosial yang merusak tatanan secara sistemik. Dampaknya tidak berhenti pada pelaku dan penerima, tetapi merambat luas hingga melemahkan negara. Berikut ini beberapa kerusakan nyata yang ditimbulkan:
1. Keadilan Mati, Hukum Lumpuh
Risywah menghancurkan esensi dari sistem hukum: keadilan. Ketika hakim atau aparat hukum menerima suap, maka yang menang bukan lagi yang benar, tapi yang punya uang.
Akibatnya orang yang tidak bersalah bisa kalah dalam pengadilan. Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap lembaga hukum. Hukum menjadi alat permainan kekuasaan dan modal. Jika hal ini dibiarkan, masyarakat akan merasa tidak ada gunanya menaati aturan karena "kebenaran bisa dibeli", dan ini adalah awal dari kekacauan sosial.
2. Ekonomi Tak Sehat dan Tidak Produktif
Praktik suap dalam sektor ekonomi menyebabkan biaya produksi meningkat karena adanya “uang pelicin” di setiap tahapan distribusi. Barang berkualitas buruk bisa lolos inspeksi dan masuk pasar karena suap.
Iklim usaha menjadi tidak adil karena pengusaha jujur kalah bersaing dengan yang menyogok. Dampaknya bisa sangat luas: dari ketidakpercayaan investor, efisiensi yang rendah, hingga menurunnya daya saing produk nasional di pasar global.
3. Birokrasi Korup dan Lemah
Ketika posisi jabatan didapat bukan karena kemampuan, tapi karena sogokan atau “uang kursi”, maka layanan publik menjadi lamban, tidak profesional, dan diskriminatif. Keputusan strategis sering diambil oleh orang yang tidak kompeten.Korupsi berjamaah mudah terjadi karena sistemnya sudah rusak dari dalam.
4. Politik Transaksional dan Demokrasi yang Cacat
Risywah juga merusak proses politik, terutama dalam masa kampanye dan pemilu. Banyak calon legislatif atau kepala daerah membagikan uang atau barang agar dipilih. Padahal tindakan ini jelas termasuk suap yang dilarang dalam Islam.
Fatwa Komite Tetap Ulama Arab Saudi (Fatwa No. 7245) menyebutkan kalau “Memberi sejumlah harta kepada rakyat agar memilih calon tertentu dalam pemilu adalah bentuk risywah, dan hukumnya haram.”
Praktik ini mengubah pemilu menjadi ajang transaksional, bukan seleksi kepemimpinan yang adil dan berintegritas. Ujungnya, rakyat memilih bukan karena visi-misi atau rekam jejak, tetapi karena “siapa yang paling banyak memberi”. Ini jelas-jelas merusak demokrasi.
Jenis-jenis Risywah
Dalam keseharian, praktik risywah dipertontonkan oleh banyak orang dengan berbagai bentuknya. Para ulama membagi bentuk-bentuk risywah menjadi beberapa jenis.|
1. Risywah dalam Penegakan Hukum
Risywah dalam ranah penegakan hukum merupakan salah satu bentuk yang paling berbahaya dalam tatanan kehidupan masyarakat. Mengapa? Karena ketika hukum bisa dibeli, maka para pelaku kejahatan akan dengan mudah merampas hak orang lain bahkan mendapatkan pembenaran melalui proses pengadilan.
Melalui praktik suap ini, berbagai bentuk kezaliman dan tindak pidana, seperti penyalahgunaan kekuasaan atau perampasan hak, dapat “disahkan” oleh lembaga hukum dan justru dilindungi oleh negara. Akibatnya, keadilan mati dan hukum menjadi alat untuk melanggengkan kejahatan.
Risywah jenis ini tidak hanya mencederai hukum, tetapi juga menghancurkan kehidupan umat secara luas. Maka tak heran, Islam memandangnya sebagai perbuatan yang sangat tercela dan harus diperangi secara tegas.
2. Hadiah dari Calon Pemimpin Legislatif
Banyak calon legislatif atau kepala daerah, demi memenangkan hati rakyat, memberikan berbagai bentuk hadiah saat masa kampanye: dari uang tunai, sembako, hingga barang promosi seperti kaos dan kalender. Tapi, benarkah ini hanya bentuk “kebaikan hati”?
Islam memberikan penjelasan yang jelas. Dalam kitab Fatāwā al-Lajnah ad-Dā'imah (Fatwa No. 7245), disebutkan:
Soal: Apakah hukum Islam tentang seorang calon anggota legislatif yang memberikan harta kepada rakyat agar mereka memilihnya dalam pemilihan umum?
Jawab: "Perbuatan calon anggota legislatif yang memberikan sejumlah harta kepada rakyat dengan tujuan agar mereka memilihnya termasuk risywah dan hukumnya haram."
Artinya, semua bentuk pemberian yang bertujuan agar dipilih walau dikemas sebagai “hadiah” tetap termasuk dalam kategori suap yang diharamkan oleh syariat.
3. Hadiah kepada Pegawai: Ketika Apresiasi Berubah Menjadi Dosa
Dalam Islam, memberi hadiah adalah amalan yang dianjurkan sebagai bentuk kasih sayang dan upaya mempererat hubungan. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad, shahih menurut Al-Albani)
Namun, semulia apapun perbuatan, jika dilakukan dalam konteks yang salah, maka dampaknya bisa berubah menjadi dosa besar. Hal ini berlaku terutama saat hadiah diberikan kepada seseorang karena jabatannya atau perannya dalam suatu proses pelayanan publik. Contohnya:
Baca juga: Merinding! Ini Azab Bagi Pelaku Korupsi, Ditagih Sampai Akhirat! (Bagian Kelima)
1. Pengusaha memberikan bingkisan kepada petugas pajak.
2. Seorang terdakwa memberi hadiah kepada jaksa.
3. Masyarakat membawa oleh-oleh untuk petugas yang sedang mengurus izin atau dokumen tertentu.
Jika hadiah ini diberikan dalam konteks “agar urusan dimudahkan”, atau ketika urusannya belum selesai dan masih ada pengaruh yang bisa diberikan oleh penerima jabatan, maka hadiah tersebut bukan lagi sekadar bentuk apresiasi tetapi telah berubah menjadi risywah (suap) yang dilarang keras dalam Islam.
4. Kisah Ibnu Luthbiyyah: Hadiah yang Menjadi Beban di Akhirat
Suatu ketika, Rasulullah ﷺ mengutus seorang amil zakat bernama Ibnu Luthbiyyah. Setelah melaksanakan tugasnya, ia kembali kepada Rasulullah dan berkata:
“Ini adalah zakat, aku serahkan kepadamu. Dan ini adalah hadiah dari masyarakat untukku.”
Rasulullah ﷺ langsung naik ke mimbar dan mengecam hal tersebut:
"Apa gerangan seorang pekerja yang kami amanahkan, lalu dia datang dan berkata: ini untukmu, dan ini hadiah dariku. Seandainya ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya, apakah ada yang memberinya hadiah? Demi Allah, siapa pun yang menerima hadiah karena tugasnya, maka itu akan menjadi beban yang dipikulnya di hari kiamat seperti seekor unta, sapi, atau kambing yang mengembik." (HR. Bukhari)
Dalam suasana yang sangat serius, Rasulullah ﷺ bahkan mengangkat lengan jubahnya dan berseru:
"Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikannya?"
Pesan dari hadis ini sangat jelas: Hadiah yang diberikan dalam rangka pelayanan tugas negara adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah. Ia bukan hanya bentuk penyalahgunaan kekuasaan, tapi juga akan menjadi azab yang dipikul di akhirat kelak.
Rasulullah ﷺ juga memperingatkan bahwa mengambil sesuatu di luar haknya, meski dalam bentuk hadiah, bisa masuk kategori ghulul (penggelapan atau korupsi):
"Barang siapa yang kami angkat untuk melakukan sebuah pekerjaan, lalu kami beri gaji yang cukup, maka apa pun yang ia ambil (di luar itu) adalah ghulul." (HR. Abu Daud, shahih menurut Al-Albani)
Dalam konteks hari ini, ghulul bisa berarti menyalahgunakan fasilitas jabatan, menerima “amplop” dari pihak berkepentingan dan memanfaatkan posisi untuk memperoleh keuntungan pribadi
Semua itu adalah bentuk korupsi administratif yang tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun agama.
5. Umar bin Abdul Aziz: Ketegasan Menolak Hadiah Bermuatan Duniawi
Sikap tegas menolak hadiah ditunjukkan oleh khalifah Umar bin Abdul Aziz. Saat ditanya mengapa ia menolak hadiah, padahal Rasulullah ﷺ menerima hadiah, ia menjawab:
“Hadiah yang diberikan kepada Rasulullah benar-benar hadiah. Tapi sekarang hadiah diberikan untuk tujuan risywah.” (HR. Bukhari)
Jawaban ini menunjukkan kecermatan dalam membedakan niat dan konteks. Hadiah yang dulunya merupakan bentuk cinta dan keikhlasan, kini bisa disalahgunakan menjadi bentuk pengaruh untuk kepentingan duniawi.
Baca juga: Berani Menimbun Barang? Rasulullah ﷺ Peringatkan Balasan Pedih di Akhirat! (Bagian Keempat)
Memberi hadiah itu dianjurkan dalam Islam selama niatnya tulus. Tapi ketika hadiah diberikan kepada pejabat, pegawai, atau siapa pun yang sedang menjalankan amanah, niat itu bisa berubah. Jika hadiah dimaksudkan untuk melancarkan urusan, mempengaruhi keputusan, atau sebagai bentuk "balas jasa", maka itu bukan hadiah lagi tapi risywah.
Kalau ingin hidup lebih bersih, rezeki lebih berkah, sistem lebih adil mulai dari diri sendiri. Termasuk dalam hal keuangan. Hindari riba, jauhi risywah, dan pilih sistem yang syariah.
LBS Urun Dana hadir untuk jadi pilihan itu. Tempat di mana Anda bisa berinvestasi dan mendanai usaha produktif secara halal, aman, dan penuh nilai. Saatnya arahkan hartamu ke jalan yang berkah. Klik di sini dan raih keberkahan bermuamalah!