artikel
18 Desember 2025
Kritis! Fakta Penting Pembiayaan Multijasa dalam Hukum Fiqih Muamalah, Awas Riba!
Pembiayaan multijasa adalah produk pembiayaan syariah yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan jasa seperti pendidikan, kesehatan, dan ibadah. Namun, keabsahan produk ini tidak cukup dinilai dari tujuannya semata, melainkan harus ditinjau dari struktur akad, kepemilikan jasa, serta pembagian risiko yang terjadi di dalamnya.
Ketelitian dalam menilai akad muamalah menjadi hal krusial agar transaksi tidak bergeser menjadi praktik yang dilarang syariat, sebagaimana ditekankan dalam buku Harta Haram karya Founder LBS Urun Dana dan Pakar Fikih Muamalah Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA, yang mengingatkan bahwa banyak transaksi tampak sah secara administratif, tetapi bermasalah secara fikih.
Pembiayaan Multijasa
Pembiayaan multijasa adalah produk pembiayaan berbasis akad murabahah yang diciptakan untuk memenuhi kebutuhan nasabah atas jasa, seperti pendidikan, layanan kesehatan, dan ibadah umrah.
Secara terminologis, pembiayaan multijasa adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berupa transaksi multijasa dengan menggunakan akad ijarah, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dan nasabah. Pembiayaan ini mewajibkan nasabah untuk melunasi kewajiban sesuai dengan akad yang disepakati.
Mekanisme Pembiayaan Multijasa Berbasis Akad Ijarah
a. Bank bertindak sebagai penyedia dana dalam transaksi ijarah dengan nasabah.
b. Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan objek sewa atau jasa yang dipesan nasabah.
c. Pengembalian atas penyediaan dana dilakukan oleh nasabah melalui pembayaran secara cicilan.
Landasan Hukum Pembiayaan Multijasa
Produk pembiayaan multijasa berlandaskan Fatwa DSN-MUI Nomor 44/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Pembiayaan Multijasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
Ketentuan Umum
a. Pembiayaan multijasa hukumnya boleh atau jaiz dengan menggunakan akad ijarah atau kafalah.
b. Apabila Lembaga Keuangan Syariah (LKS) menggunakan akad ijarah, maka seluruh ketentuan dalam fatwa ijarah wajib dipenuhi.
c. Dalam pembiayaan multijasa, LKS diperbolehkan memperoleh imbal jasa berupa ujrah atau fee.
Tinjauan Fiqih terhadap Pembiayaan Multijasa
Akad yang terjadi dalam pembiayaan multijasa adalah ijarah al-musta'jir, yaitu penyewa menyewakan kembali jasa atau manfaat yang telah ia sewa. Dari akad ini, terdapat tiga pembahasan fiqih utama:
a. Apakah ijarah al-musta'jir dibolehkan atau tidak?
b. Apakah penyewa boleh menyewakan kembali dengan harga yang lebih tinggi?
c. Apakah penyewa boleh menyewakan barang atau jasa sebelum barang atau jasa tersebut diterima.
Baca juga: Iqra! Bedah Hukum Fiqih Muamalah, Mulai Dalil Hingga Contoh Sehari-Hari
Selain itu, perlu ditinjau apakah praktik ijarah al-musta'jir di lembaga keuangan syariah telah sesuai dengan konsep fikih yang dijelaskan oleh para ulama.
Hukum Ijarah al-Musta'jir
a. Pendapat Pertama
Penyewa tidak boleh menyewakan kembali barang yang telah disewanya. Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dalam mazhab Imam Ahmad.
Dalilnya adalah hadits Nabi Muhammad ﷺ:
“Tidak halal keuntungan dari barang yang tidak berada dalam tanggunganmu.”
(HR. Abu Dawud, dinilai sahih oleh Al-Albani)
Tanggapan
Dalil ini dinilai kurang kuat karena penyewa yang menyewakan kembali tetap menanggung risiko. Apabila barang atau jasa yang disewakan ternyata tidak layak atau tidak berfungsi, maka penyewa pertama bertanggung jawab kepada penyewa kedua.
b. Pendapat Kedua
Penyewa boleh menyewakan kembali jasa atau manfaat yang telah dikuasai setelah menerima barang atau jasa tersebut. Pendapat ini dianut oleh ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
Dalilnya adalah qiyas dengan jual beli. Barang yang telah dibeli dengan akad yang sah dan telah diterima boleh dijual kembali. Maka, menyewakan kembali manfaat barang yang telah disewa dengan akad sah dan telah diterima hukumnya boleh, karena akad sewa merupakan bentuk jual beli manfaat.
Kesimpulan: Pendapat yang membolehkan ijarah al-musta'jir lebih kuat karena didukung oleh dalil dan qiyas yang jelas.
Hukum Laba dari Menyewakan Kembali Barang yang Disewa
Apabila penyewa menyewakan kembali barang kepada pemilik barang dengan pembayaran tunai, sementara ia sendiri menyewa secara tidak tunai dengan harga lebih mahal, maka praktik ini termasuk inah yang diharamkan. Keharaman ini ditegaskan oleh AAOIFI dalam Mi’yar Ijarah Pasal 3 dan 4.
Apabila penyewa kedua bukan pemilik barang, para ulama berbeda pendapat:
a. Pendapat Pertama
Tidak boleh menyewakan kembali kepada pihak ketiga dengan harga lebih tinggi. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi. Keuntungan yang diperoleh wajib disedekahkan.
Dalilnya, penyewa pertama memperoleh keuntungan dari barang yang risikonya ditanggung oleh pemilik barang.
Tanggapan
Dalil ini dinilai lemah karena penyewa pertama tetap menanggung risiko terhadap penyewa kedua.
b. Pendapat Kedua
Penyewa boleh menyewakan kembali kepada pihak ketiga dengan harga yang lebih tinggi. Pendapat ini dianut oleh mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, serta disetujui oleh AAOIFI dalam Mi’yar Ijarah Pasal 3.3.
Dalilnya, barang atau manfaat yang telah diterima dengan akad sah boleh dialihkan kembali dengan akad baru.
Baca juga: Waspada! Bedah Hukum Fikih Kredit Rumah, Wajib Tahu Sebelum Mengajukan ke Bank!
Kesimpulan: Pendapat yang membolehkan penyewa memperoleh laba dari penyewaan kembali lebih kuat, karena pada dasarnya muamalah dibolehkan selama tidak ada larangan syariat.
Hukum Menyewakan Kembali Barang Sebelum Dikuasai
Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya menyewakan barang atau jasa yang belum dimiliki atau belum dikuasai. Akad sewa memiliki kedudukan yang sama dengan jual beli. Sebagaimana tidak boleh menjual barang yang belum dimiliki, demikian pula tidak boleh menyewakan manfaat yang belum dikuasai. Ketentuan ini juga ditegaskan dalam AAOIFI Mi’yar Ijarah Pasal 3.1.
Adapun apabila akad telah dilakukan tetapi barang atau jasa belum diserahterimakan, para ulama mazhab Hanafi mencatat adanya perbedaan pendapat apakah hal tersebut boleh atau tidak.
Kesimpulan Hukum Produk Pembiayaan Multijasa di Indonesia
Setelah meninjau permasalahan fiqih dalam akad ijarah al-musta'jir, hukum pembiayaan multijasa di Indonesia dapat dijelaskan melalui dua ilustrasi berikut:
a. Ilustrasi Pertama
Nasabah mengajukan pembiayaan setelah menerima layanan kesehatan dan telah membayar biaya jasa, kemudian membawa kwitansi ke LKS atau Lembaga Keuangan Syariah dan pembiayaan disetujui.
Skema ini bukan akad ijarah al-musta'jir karena LKS tidak memiliki jasa yang disewakan kepada nasabah. Hakikat akad ini adalah qardh atau pinjaman. Apabila nasabah mengembalikan dana dengan jumlah yang lebih besar secara cicilan, maka akad tersebut termasuk pinjaman yang menghasilkan manfaat bagi pemberi pinjaman, sehingga tergolong riba.
b. Ilustrasi Kedua
Nasabah mengajukan pembiayaan sebelum melakukan akad ijarah jasa pendidikan dengan perguruan tinggi. LKS menyetujui pembiayaan dan mewakilkan nasabah untuk melakukan akad ijarah atas nama LKS. Namun, akad pembiayaan multijasa ditandatangani sebelum akad ijarah antara nasabah dan penyedia jasa dilakukan.
Skema ini termasuk menyewakan jasa yang belum dimiliki dan belum diterima oleh LKS, sehingga hukumnya haram dan tergolong riba.
Jual Beli Kredit Harus Jelas Harga dan Angsurannya
Untuk menjaga keabsahan jual beli kredit, sejak awal transaksi harga harus satu dan jelas, serta besaran angsuran dan jangka waktu pelunasan juga harus ditentukan secara tegas. Karena itu, tidak dibenarkan adanya harga yang mengambang.
Tidak boleh penjual membuat skema harga dengan cara memberikan potongan yang dikaitkan dengan pelunasan angsuran sebelum jatuh tempo, sehingga harga jual menjadi tidak pasti sejak awal akad. Ketidakjelasan ini merusak keabsahan akad jual beli kredit.
Adapun pemberian potongan harga karena pelunasan utang sebelum jatuh tempo, hukumnya diperbolehkan oleh sebagian ulama, berdasarkan hadits Nabi Muhammad ﷺ.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ mengusir kaum Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, sebagian dari mereka mendatangi Nabi seraya berkata:
“Wahai Nabi Allah, sesungguhnya engkau telah mengusir kami dari Madinah, sementara kami masih memiliki piutang yang belum jatuh tempo.”
Maka Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
“Berilah potongan atas piutang kalian dan mintalah agar segera dibayar.”
(HR. Daruquthni, dikuatkan oleh Ibnu Qayyim)
Pendapat ini juga menjadi keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami (OKI) dalam Muktamar ke-7 di Jeddah Nomor 64 Tahun 1992.
Dengan demikian, potongan harga karena percepatan pelunasan dibolehkan, selama harga jual sejak awal sudah jelas dan tidak berubah-ubah.
Jual Beli Leasing (Sewa Beli)
Untuk menjaga keabsahan akad jual beli kredit, tidak dibenarkan menggunakan akad sewa beli atau leasing dalam satu akad.
Leasing atau sewa beli adalah perjanjian sewa menyewa atas suatu barang, biasanya berupa tanah, gedung, peralatan modal, atau kendaraan, dengan pembayaran sewa secara berkala dalam jangka waktu tertentu. Dalam praktik ini, apabila penyewa gagal membayar, pihak penjual atau pemilik barang dapat langsung menarik kembali barang tersebut.
Secara hukum syariah, praktik sewa beli seperti ini jelas diharamkan, karena merupakan penggabungan dua akad yang berbeda dan saling bertentangan pada satu objek, yaitu akad sewa dan akad jual beli.
Keharaman ini ditegaskan oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami (Divisi Fikih OKI) dalam Muktamar di Riyadh, dengan Keputusan Nomor 110 (4/12) Tahun 2000.
Leasing yang Dibolehkan dalam Syariah
Adapun bentuk leasing yang dibolehkan secara syariah harus memenuhi ketentuan berikut:
a. Terdapat dua akad yang terpisah secara waktu, bukan digabungkan dalam satu akad. Akad jual beli dilakukan setelah akad sewa berakhir, atau pada awal akad sewa hanya terdapat janji (wa’d) untuk memindahkan kepemilikan setelah masa sewa selesai.
b. Akad sewa dijalankan sesuai ketentuan ijarah yang sah, bukan sekadar kedok untuk jual beli kredit.
c. Tanggung jawab barang sewaan berada pada pemilik barang, bukan pada penyewa.
Pemilik menanggung kerusakan barang kecuali jika terbukti adanya kelalaian dari pihak penyewa.
d. Selama masa sewa, barang tetap menjadi milik pihak yang menyewakan, sehingga seluruh konsekuensi kepemilikan tetap berada pada pemilik tersebut.
e. Apabila barang sewaan wajib diasuransikan, maka asuransi yang digunakan harus asuransi syariah (takaful). Seluruh biaya asuransi menjadi tanggungan pemilik barang sewaan, bukan penyewa, karena risiko kepemilikan masih berada pada pemilik selama masa sewa.
Baca juga: Nah Loh! Jual Beli Kredit Bisa Jadi Riba Terselubung, Ini Fakta Hukumnya!
f. Selama masa sewa, wajib diterapkan seluruh ketentuan hukum sewa (ijarah) sebagaimana dijelaskan dalam fikih Islam. Setelah akad sewa berakhir, barulah boleh diterapkan hukum jual beli pada saat pemindahan kepemilikan barang kepada penyewa.
g. Biaya pemeliharaan barang selama masa sewa menjadi tanggungan pemilik barang, bukan penyewa. Adapun biaya operasional yang timbul dari penggunaan barang, seperti bahan bakar, listrik, atau biaya pemakaian harian, menjadi tanggungan penyewa.
Solusi Islami untuk Kredit Macet
Kredit macet merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam transaksi jual beli kredit. Islam memandang persoalan ini tidak hanya sebagai masalah finansial, tetapi juga sebagai persoalan moral dan tanggung jawab.
Pada dasarnya, solusi Islam dimulai dari pencegahan, yaitu larangan bagi seorang muslim untuk berutang apabila tidak mampu melunasinya. Rasulullah Muhammad ﷺ menegaskan hal ini dalam sabdanya:
“Barangsiapa berutang dengan niat akan melunasinya, maka Allah ﷻ akan menolongnya untuk melunasi utangnya. Dan barangsiapa berutang dengan niat tidak membayarnya, maka Allah ﷻ akan membinasakannya.” (HR. Bukhari)
Sebagai bentuk pencegahan risiko kredit macet, pemberi kredit dibolehkan meminta jaminan (rahn) atau penjamin (kafalah). Apabila utang terlambat dilunasi, pihak pemberi kredit berhak menjual barang jaminan atau menagih kewajiban tersebut kepada pihak penjamin untuk melunasi utang.
Praktik ini dibenarkan dalam Islam dan telah disetujui oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami (Divisi Fikih OKI) melalui Keputusan Nomor 51 (2/6) Tahun 1990.
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa apabila sanksi berupa percepatan pelunasan diterapkan, maka pihak penjual wajib mengurangi nilai kewajiban pembayaran sesuai dengan waktu pelunasan yang lebih awal. Hal ini karena harga jual kredit sejak awal telah memperhitungkan lamanya jangka waktu angsuran.
Dengan demikian, ketika kewajiban dibayar lebih cepat dari waktu yang disepakati, nilai harga tersebut harus disesuaikan. Apabila penjual tidak melakukan penyesuaian, maka ia telah mengambil harta pembeli tanpa adanya imbalan yang sah, dan perbuatan tersebut termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil.
Pembiayaan multijasa dibolehkan selama akadnya jelas, kepemilikan jasa terpenuhi, serta seluruh ketentuan ijarah dijalankan sesuai fikih. Setiap bentuk ketidakjelasan akad, penggabungan akad, atau penyewaan jasa sebelum dimiliki berpotensi menjadikannya riba. Wallāhu a‘lam bisshawāb.






