artikel
19 Desember 2025
Plot Twist! Rahasia Dibalik Deposito Syariah, Fix Halal atau Riba?
Deposito syariah adalah produk simpanan berjangka yang dijalankan berdasarkan prinsip keuangan Islam. Berbeda dengan deposito konvensional yang menggunakan bunga, deposito syariah menggunakan skema bagi hasil (nisbah).
Dana yang ditempatkan oleh nasabah tidak diperlakukan sebagai pinjaman berbunga, tetapi sebagai modal yang dikelola bank syariah untuk kegiatan usaha yang halal dan produktif. Keuntungan dari pengelolaan tersebut kemudian dibagi sesuai kesepakatan yang telah ditetapkan sejak awal. Dalam praktiknya, deposito syariah umumnya menggunakan akad mudharabah.
Akad Mudharabah dalam Deposito Syariah
Mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, yaitu:
a. Shahibul maal, pemilik modal atau dana
b. Mudharib, pihak pengelola dana
Dalam akad ini, pemilik dana mempercayakan modal kepada pengelola untuk diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, selama tidak ada kelalaian dari pengelola.
Prinsip ini sangat mendasar dalam fiqih muamalah. Islam tidak membenarkan keuntungan yang diperoleh tanpa adanya risiko.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Keuntungan itu sejalan dengan risiko.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi; Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Hadits ini menjadi fondasi utama dalam akad-akad investasi syariah, termasuk mudharabah.
Bagaimana Cara Kerja Deposito Syariah?
Agar mudah dipahami, cara kerja deposito syariah bisa dilihat secara bertahap seperti ini.
Langkah 1: Nasabah membuka deposito dan memilih tenor
Anda menentukan nominal dana yang akan ditempatkan serta jangka waktu deposito (misalnya 1, 3, 6, 12, atau 24 bulan). Pada tahap ini, Anda juga memahami ketentuan pencairan saat jatuh tempo.
Langkah 2: Akad mudharabah disepakati
Bank dan nasabah menyepakati akad mudharabah, yaitu kerja sama antara pemilik dana (nasabah) dan pengelola dana (bank). Di sini biasanya dijelaskan juga ketentuan umum terkait pengelolaan dana.
Langkah 3: Nisbah bagi hasil ditetapkan di awal
Nisbah adalah porsi pembagian hasil usaha, misalnya persentase untuk nasabah dan persentase untuk bank. Nisbah disepakati sejak awal, tetapi nilai hasil yang diterima bisa berubah mengikuti kinerja usaha.
Baca juga: Kritis! Fakta Penting Pembiayaan Multijasa dalam Hukum Fiqih Muamalah, Awas Riba!
Langkah 4: Dana dikelola pada aktivitas yang halal dan produktif
Bank menyalurkan dana ke kegiatan usaha yang sesuai prinsip syariah. Ini bisa berupa pembiayaan usaha, perdagangan, atau sektor lain yang dianggap halal dan memiliki potensi menghasilkan.
Langkah 5: Hasil usaha dihitung secara berkala
Bank menghitung pendapatan dari pengelolaan dana pada periode tertentu. Dari perhitungan inilah muncul besaran hasil yang akan dibagikan berdasarkan nisbah.
Langkah 6: Nasabah menerima bagi hasil sesuai nisbah
Bagi hasil dibagikan sesuai kesepakatan. Besarnya tidak selalu sama setiap periode karena mengikuti kinerja usaha, bukan angka yang dijanjikan sejak awal.
Langkah 7: Jatuh tempo dan pengembalian dana pokok
Saat jatuh tempo, dana pokok Anda dikembalikan, bersamaan dengan bagi hasil terakhir sesuai ketentuan akad.
Sebagai catatan, dalam konsep syariah, hasil investasi mengikuti kinerja usaha, bukan dijanjikan secara pasti di awal. Karena itu, bagian terpenting yang perlu Anda pahami adalah kejelasan akad, termasuk bagaimana pembagian hasil dan bagaimana risiko diposisikan.
Mengapa Deposito Syariah Banyak Diminati?
Deposito syariah diminati karena beberapa alasan:
a. Dipersepsikan memiliki risiko relatif rendah
b. Jangka waktu penyimpanan dana jelas
c. Cocok untuk tujuan keuangan jangka pendek hingga menengah
d. Memberikan ketenangan bagi sebagian masyarakat Muslim yang ingin menghindari riba
Namun, di balik kelebihan tersebut, ada titik kritis yang perlu benar-benar dicermati.
Deposito Syariah Menurut Founder LBS Urun Dana Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi MA
Founder LBS Urun Dana dan Pakar Fiqih Muamalah Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA, dalam berbagai kajian muamalah dan buku Harta Haram (2021) menegaskan bahwa kehalalan sebuah transaksi tidak ditentukan oleh nama produknya, tetapi oleh hakikat akad yang terjadi di dalamnya.
Sebuah produk boleh saja diberi label “syariah”, namun jika hakikat akadnya menyimpang, maka status hukumnya tetap harus dikaji ulang.
Dalam konteks deposito syariah, beliau menekankan satu pertanyaan mendasar yang menjadi kunci penilaian akad:
Apakah dana nasabah benar-benar menanggung risiko kerugian usaha?
Pertanyaan ini penting karena akad yang umum digunakan dalam deposito syariah adalah mudharabah, yaitu akad kerja sama antara pemilik dana dan pengelola. Dalam mudharabah yang sah secara syariah, pemilik dana berhak atas keuntungan, tetapi juga harus siap menanggung risiko kerugian sesuai porsi modalnya.
Baca juga: Iqra! Bedah Hukum Fiqih Muamalah, Mulai Dalil Hingga Contoh Sehari-Hari
Jika sejak awal tidak ada pernyataan yang jelas bahwa dana nasabah bisa berkurang ketika usaha mengalami kerugian, maka secara hakikat akad tersebut tidak lagi memenuhi syarat mudharabah. Akadnya berubah menjadi akad pinjaman, karena modal diperlakukan seolah-olah harus kembali utuh apa pun kondisi usaha. Padahal, dalam akad pinjaman, setiap tambahan yang disyaratkan atas pokok utang termasuk riba.
Pentingnya Kejelasan Akad dan Risiko
Islam sangat menekankan kejelasan dalam muamalah agar tidak terjadi ketidakadilan, penipuan, atau perselisihan di kemudian hari. Ketidakjelasan akad dapat menjerumuskan pada gharar, yang dilarang secara tegas.
Dalam konteks deposito syariah, gharar dapat muncul ketika:
a. Nasabah tidak memahami dengan jelas siapa yang menanggung risiko kerugian
b. Tidak dijelaskan apakah dana pokok bisa berkurang jika usaha rugi
c. Akad lebih menonjolkan potensi hasil, tanpa menjelaskan konsekuensi usaha dan risiko yang menyertainya
Menurut Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi MA, kejelasan klausul akad bukan sekadar formalitas administratif, tetapi syarat penting agar transaksi benar-benar sah secara syariah. Tanpa kejelasan ini, nasabah berpotensi terjebak pada akad yang tidak sesuai dengan hakikat mudharabah.
Solusi Menerapkan Deposito Syariah agar Tetap Halal
Agar deposito syariah benar-benar sesuai dengan prinsip Islam, kuncinya ada pada akad dan pembagian risiko, bukan pada nama produknya.
Kapan Deposito Syariah Dinyatakan Halal?
Deposito syariah dapat dinilai halal apabila memenuhi kriteria berikut:
a. Akad mudharabah dijelaskan secara jelas dan transparan.
b. Risiko kerugian usaha secara prinsip ditanggung oleh pemilik dana.
c. Tidak ada jaminan bahwa dana pokok pasti kembali utuh.
d. Keuntungan mengikuti hasil usaha, bukan angka yang dipastikan sejak awal.
Dalam kondisi ini, deposito berfungsi sebagai investasi syariah yang sah karena keuntungan dan risiko berjalan seiring.
Kapan Deposito Syariah Menjadi Bermasalah?
Deposito syariah perlu diwaspadai apabila:
a. Modal dijamin tidak boleh berkurang.
b. Risiko usaha sepenuhnya dialihkan kepada bank.
c. Nasabah menerima tambahan tanpa menanggung risiko.
Dalam kondisi ini, akad tersebut hakikatnya berubah menjadi akad utang. Para ulama fiqih menegaskan bahwa setiap utang-piutang yang disyaratkan menghasilkan manfaat bagi pemberi utang, maka hukumnya riba. Kaidah ini adalah kesepakatan ulama, bukan hadits Nabi Muhammad ﷺ.
Baca juga: Waspada! Bedah Hukum Fikih Kredit Rumah, Wajib Tahu Sebelum Mengajukan ke Bank!
Deposito syariah menggunakan akad mudharabah dengan sistem bagi hasil, bukan bunga. Kehalalannya ditentukan oleh kejelasan akad dan pembagian risiko, bukan label produk. Selama risiko usaha ditanggung pemilik dana dan hasil mengikuti kinerja usaha tanpa jaminan modal, deposito dapat dinilai sah secara syariah. Jika tidak, akadnya berpotensi berubah menjadi pinjaman yang mengandung riba.






