artikel
22 Agustus 2025
Asuransi Haram? Ini Kata Ustadz Erwandi Tarmizi Biar Gak Terjerat Dosa Duniawi!
Asuransi menjadi salah satu instrumen perlindungan finansial yang umum digunakan di era modern. Mulai dari asuransi kesehatan, kendaraan, hingga asuransi jiwa, hampir setiap orang pernah bersentuhan dengan produk ini. Secara umum, tujuan asuransi adalah memberikan kepastian dan perlindungan terhadap risiko kerugian, baik kehilangan harta maupun kesehatan.
Namun, di balik kemudahan dan rasa aman yang ditawarkan, praktik asuransi konvensional sering menimbulkan pertanyaan terkait kehalalannya menurut syariat Islam. Dalam bukunya Harta Haram (2012), Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi memberikan pandangan tentang hukum asuransi yang dapat menjadi rujukan kita dalam bermuamalah agar terhindar dari dosa.
Apa Itu Asuransi?
Menurut Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi dalam bukunya Harta Haram, asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung, di mana penanggung memberikan ganti rugi atas risiko tertentu, sementara tertanggung membayar premi sesuai perjanjian.
Baca juga: Ngeri Euy! Apakah Asuransi Termasuk Judi? Simak Penjelasannya disini!
Secara sejarah, asuransi modern muncul pertama kali di Italia abad ke-14 sebagai asuransi laut. Pedagang membayar sejumlah uang agar jika barang dagangan hilang atau rusak selama perjalanan laut, pihak penanggung mengganti kerugian. Asuransi kebakaran muncul di Inggris setelah kebakaran hebat London 1666 dan kemudian menyebar ke Amerika, Jerman, dan Prancis.
Kapan Umat Islam Mengenal Asuransi?
Asuransi masuk ke negara Islam pada abad ke-19. Ibnu Abidin, ulama mazhab Hanafi, memfatwakan bahwa saukarah (jaminan penggantian barang oleh pihak kafir harbi) adalah haram. Saukarah adalah pembayaran tambahan di luar sewa kapal untuk jaminan penggantian barang jika terjadi kerusakan atau kehilangan.
Beberapa ratus kemudian ulama muslim juga memfatwakan demikian. keputusan lembaga dan forum ulama menegaskan keharaman asuransi konvensional:
1. Muktamar I Al Majma' Al Fiqhiy Al Islami (1978)
Menegaskan bahwa semua bentuk asuransi konvensional haram karena mengandung spekulasi dan ketidakpastian (gharar).
2. Konferensi II Ulama Islam Sedunia OKI (1985)
Memperkuat fatwa sebelumnya dengan menyatakan bahwa transaksi asuransi komersial mengandung unsur judi dan ketidakpastian.
4. AAOIFI (2006, Pasal 26 At Ta'min Al Islami)
Menegaskan bahwa asuransi konvensional haram dan hanya model asuransi berbasis syariah (Takaful) yang diperbolehkan.
Mengapa Ulama Jatuhkan Fatwa Haram Asuransi?
Terdapat sejumlah alasan yang kuat tentang haramnya asuransi. Mulai dari adanya unsur riba hingga gharar yang merugikan umat:
1. Mengandung Gharar (Ketidakjelasan)
Polis asuransi konvensional sering kali mengandung ketidakjelasan tinggi. Baik tertanggung maupun penanggung tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah klaim yang akan diterima atau berapa premi yang harus dibayarkan di masa depan. Ketidakpastian ini disebut gharar, dan dalam syariat Islam, jual beli yang mengandung gharar tinggi dilarang karena bisa merugikan salah satu pihak secara tidak adil.
2. Termasuk Qimar (Perjudian)
Asuransi konvensional juga dikategorikan sebagai qimar atau judi. Hal ini karena adanya unsur untung-rugi yang tidak pasti: satu pihak bisa mendapat keuntungan besar sementara pihak lain mengalami kerugian, tergantung apakah risiko terjadi atau tidak. Situasi ini mirip perjudian, yang jelas diharamkan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ.
3. Mengandung Riba
Selain gharar dan qimar, asuransi konvensional mengandung riba. Hal ini terjadi karena perbedaan nominal premi yang dibayarkan dengan klaim yang diterima, ditambah adanya penundaan pembayaran klaim. Riba, baik riba fadhl (perbedaan jumlah) maupun riba nasi’ah (penundaan), dilarang dalam syariat Islam, sehingga menjadikan praktik asuransi konvensional haram.
Asuransi Syariah (Takaful)
Asuransi syariah lahir sebagai alternatif halal dari asuransi konvensional yang banyak mengandung gharar, riba, dan qimar. Konsep utamanya adalah tolong-menolong dan meringankan beban peserta ketika menghadapi risiko, bukan mencari keuntungan pribadi.
Prinsip dasar ini berakar dari ajaran Allah ﷻ dan anjuran Nabi Muhammad ﷺ untuk saling menolong, seperti diriwayatkan dalam HR. Bukhari dan Muslim: “Barangsiapa meringankan kesulitan saudaranya, Allah ﷻ akan meringankan kesulitannya pada hari kiamat.”
Prinsip Utama Asuransi Syariah
Sejumlah prinsip utama dari asuransi syariah dapat dijelaskan secara lebih mendalam:
1. Akad hibah (tabarru’)
Dana yang diserahkan peserta bersifat sukarela dan digunakan untuk membantu peserta lain yang mengalami musibah. Dengan akad ini, setiap peserta berperan dalam sistem tolong-menolong, bukan untuk keuntungan pribadi, sehingga prinsip solidaritas dan saling meringankan beban terwujud secara nyata.
2. bebas riba
Tidak ada keuntungan yang diambil dari pertukaran uang yang tidak tunai atau penundaan pembayaran, sehingga seluruh transaksi tetap sesuai dengan syariat Islam.
3. Gharar dalam Asuransi Syariah
Ketidakpastian dalam akad hibah tidak membatalkan akad. Berbeda dengan asuransi komersial yang mengandung spekulasi dan judi (qimar), ketidakjelasan dalam asuransi syariah dianggap sah selama akad bertujuan saling menolong dan tidak merugikan peserta.
Baca juga: Waspada! 10+ Transaksi Gharar yang Batil dan Bikin Harta Haram!
4. Pemisahan rekening
Antara dana peserta dan dana perusahaan dijalankan untuk menjaga transparansi, akuntabilitas, dan keadilan, sehingga perusahaan pengelola bertindak sebagai wakil peserta, bukan pemilik dana.
5. Kepemilikan aset dan laba
Laba dari pengelolaan dana dapat digunakan untuk berbagai tujuan, seperti cadangan dana, membayar premi, disalurkan ke yayasan sosial, atau dibagikan kembali ke peserta. Sementara defisit atau kerugian ditanggung oleh badan dana, bukan perusahaan pengelola. Dengan struktur ini, prinsip keadilan, kebermanfaatan, dan kepastian syariah terjaga, sehingga peserta memperoleh perlindungan tanpa harus khawatir terjerat unsur riba, gharar, atau qimar.
Secara keseluruhan, prinsip-prinsip ini menegaskan bahwa asuransi syariah bukan hanya sekadar proteksi finansial, tetapi juga instrumen sosial dan etis, di mana setiap peserta ikut berkontribusi dalam sistem saling tolong-menolong.
Perbedaan Asuransi Konvensional dan Syariah
Dalam praktiknya, terdapat perbedaan mendasar antara asuransi konvensional dan asuransi syariah yang penting untuk dipahami:
1. Akad
Asuransi konvensional menggunakan akad tukar-menukar (mu’awadhah), di mana premi dibayarkan untuk mendapatkan klaim dengan tujuan keuntungan. Sebaliknya, asuransi syariah menggunakan akad hibah (tabarru’) dan musyarakah, di mana dana peserta diserahkan secara sukarela untuk membantu peserta lain yang terkena musibah.
2. Gharar (Ketidakjelasan)
Dalam asuransi konvensional, tingkat gharar sangat tinggi karena ketidakjelasan nominal klaim atau premi, sehingga haram menurut syariat. Sedangkan pada asuransi syariah, ketidakpastian diperbolehkan dalam konteks akad hibah, karena tujuan utama adalah saling menolong, bukan spekulasi.
3. Status Perusahaan
Perusahaan asuransi konvensional bertindak sebagai pemilik dana peserta, sedangkan pada asuransi syariah, perusahaan bertindak sebagai wakil peserta dan tidak memiliki dana peserta. Perusahaan hanya mengelola dana dan dapat memperoleh imbalan pengelolaan sesuai akad wakalah atau mudharabah.
4. Sisa Dana dan Laba
Dalam asuransi konvensional, sisa dana dan laba sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Di sisi lain, dalam asuransi syariah, seluruh sisa dana dan laba menjadi milik peserta atau badan dana, dan defisit ditanggung oleh badan dana, bukan perusahaan.
Baca juga: Apa Itu Securities Crowdfunding? Kenali Pengertian, Karakteristik dan Manfaatnya
5. Tujuan
Tujuan utama asuransi konvensional adalah mencari laba. Sedangkan asuransi syariah menekankan tujuan tolong-menolong dan meringankan beban peserta, sehingga lebih sesuai dengan prinsip syariah yang menekankan keadilan, solidaritas, dan kebermanfaatan bagi umat.
Secara keseluruhan, asuransi konvensional mengandung unsur spekulasi (gharar), riba, dan judi (qimar), sehingga jelas haram menurut syariat Islam. Sebaliknya, asuransi syariah dibangun atas dasar akad hibah dan prinsip tolong-menolong, bebas dari riba, serta gharar diperbolehkan dalam konteks tolong-menolong. Dengan demikian, asuransi syariah menjadi solusi halal dan sesuai syariat bagi umat Islam yang ingin melindungi diri dari risiko kerugian. Wallahu a’lam bishawab.