artikel
20 Maret 2025
Emang Boleh Dapet Duit dari Berdakwah? Cek Dalilnya Disini! (Bagian Keenam)
Menyampaikan risalah Islam atau berdakwah merupakan tugas suci yang pertama kali diemban oleh para nabi dan rasul. Mereka menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan penuh keikhlasan tanpa mengharapkan honor, gaji, atau upah. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya bukan imbalan berupa materi yang mereka terima, melainkan hinaan, cacian, lemparan batu, bahkan ancaman pembunuhan.
Allah Ta’ala menegaskan keikhlasan para nabi dan rasul dalam berdakwah tanpa meminta imbalan dalam firman-Nya:
Mereka (para rasul) itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah, “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Alquran).” Alquran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh umat. (QS. Al-An’am: 90)
Di zaman sekarang, kebutuhan hidup yang semakin tinggi menuntut para pendakwah untuk tetap memenuhi kebutuhan pokok mereka dan keluarga. Lantas, apakah mereka boleh menerima gaji dari berdakwah, mengajar Alquran, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya?
Baca juga: Berkah Bersama! Begini Cara LBS Urun Dana Bantu Investor & Pengusaha Naik Kelas!
Merujuk dari buku Harta Haram (2021) karya Pakar Fiqih Muamalah Kontemporer, Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA mari kita simak hukum menerima upah dari berdakwah dan beberapa isu terkini lainnya:
Bolehkah Menerima Dakwah dari Baitul Maal?
Para ulama sepakat bahwa honor yang diberikan kepada pendakwah, guru ngaji, dan pengajar ilmu agama yang bersumber dari Baitul Maal atau negara hukumnya halal. Honor ini bukan dianggap sebagai imbalan dari dakwah, melainkan bentuk apresiasi atas peran mereka dalam membina umat. Sebagaimana pada masa sahabat, mereka juga menerima hibah dari Baitul Maal. Hal ini juga berlaku bagi honor dari lembaga sosial, donatur, atau pribadi selama jumlahnya tidak ditetapkan sebagai syarat.
Bagaimana dengan Upah dari Dakwah dari Pihak Lain?
Dalam hal menerima upah yang telah disepakati antara pendakwah dan pengguna jasa misalnya guru mengajar Alquran dengan nominal tertentu terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Pendapat Pertama: Haram Menerima Upah dari Dakwah
Ulama dari mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat bahwa menerima upah dari dakwah adalah haram. Dalil yang mereka gunakan antara lain:
1. Surat Al-An’am ayat 90, yang menyebutkan bahwa para nabi dan rasul tidak meminta upah kepada umatnya atas dakwah yang mereka sampaikan.
Tanggapan: Ayat ini merujuk pada dakwah para nabi kepada orang non-Muslim yang memang tidak mau memberikan upah.
2. Hadis Nabi ﷺ yang melarang menerima upah mengajar Alquran: “Bacalah Alquran, dan jangan terlalu berlebihan, jangan terlalu lalai, jangan makan upah mengajar Alquran, dan jangan memperbanyak harta melalui mengajar Alquran.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Ibnu Hajar)
Pendapat Kedua: Boleh Menerima Upah dari Dakwah
Ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i membolehkan menerima upah dari kerja dakwah. Mereka berpegang pada beberapa dalil, salah satunya:
Kisah sahabat yang menerima upah karena membaca Al-Fatihah untuk menyembuhkan orang sakit
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, sekelompok sahabat melewati suatu perkampungan. Penduduk desa meminta mereka mengobati kepala suku yang terkena sengatan hewan berbisa. Para sahabat setuju dengan syarat diberi beberapa ekor kambing. Setelah salah seorang sahabat membacakan surat Al-Fatihah, kepala suku itu pun sembuh, dan mereka menerima imbalan sesuai kesepakatan. Sebagian sahabat ragu untuk menerimanya, lalu mereka mengadukan hal itu kepada Nabi ﷺ. Beliau bersabda:
“Sesungguhnya upah yang paling pantas untuk kalian terima adalah imbalan Alquran.” (HR. Bukhari)
Sebagian ulama mencari jalan tengah dengan berpendapat bahwa tidak dibenarkan mengambil upah dari dakwah kecuali untuk memenuhi kebutuhan pokok pendakwah dan keluarganya. Jika sama sekali diharamkan, dikhawatirkan akan semakin sedikit orang yang mau mengajar, berdakwah, dan menyebarkan agama Allah Ta’ala karena mereka disibukkan dengan mencari nafkah. Oleh karena itu, boleh menerima upah dengan syarat hanya untuk mencukupi kebutuhan pokok, bukan untuk memperkaya diri.
Hukum Menjual Buku Keislaman
Menulis buku yang membahas ajaran Islam—baik tentang aqidah, ibadah, muamalah, akhlak, maupun aspek lainnya adalah salah satu cara menyebarkan risalah Allah Ta’ala. Selain melalui lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi, dakwah juga dapat dilakukan melalui tulisan. Namun, bagaimana hukumnya jika buku-buku keislaman diperjualbelikan secara komersial?
Para ulama sejak dahulu telah mengabdikan hidup mereka untuk menulis karya ilmiah dengan harapan menjadi amal jariyah di akhirat. Mereka berpegang pada sabda Nabi ﷺ:
"Apabila seorang manusia wafat, amalannya terputus kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat (yang diajarkan/ditulis), dan anak saleh yang mendoakannya." (HR. Muslim)
Saat ini, karya ilmiah banyak dicetak dan diperjualbelikan dengan hak cipta yang dilindungi hukum. Para ulama kontemporer memiliki dua pendapat terkait hukum menjual buku-buku keislaman:
Pendapat Pertama: Tidak Boleh Mengambil Imbalan
Sebagian ulama berpendapat bahwa penulis tidak boleh mengambil upah dari hak cipta buku keislaman, karena menulis ilmu agama dianggap sebagai ibadah yang tidak seharusnya dikomersialkan. Mereka merujuk pada hadits:
"Barang siapa yang menyembunyikan ilmu, niscaya Allah Ta’ala akan mengekang mulut orang tersebut pada hari kiamat dengan kekangan dari api neraka." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, dengan sanad hasan menurut Al Arnauth)
Menurut pendapat ini, mengambil imbalan atas buku keislaman sama saja dengan menyembunyikan ilmu, karena penulis hanya mau menyebarkannya jika diberi bayaran.
Tanggapan:
Dalil ini dinilai kurang kuat karena yang dilarang adalah menyembunyikan ilmu, bukan menerima imbalan atas usaha menulis. Menyusun buku memerlukan waktu dan tenaga, sehingga penulis berhak mendapatkan kompensasi, sebagaimana pekerja di bidang lainnya.
Pendapat Kedua: Boleh Mengambil Imbalan
Pendapat ini didukung oleh berbagai lembaga fikih internasional, termasuk Al Majma’ Al Fiqh Al Islami (Divisi Fikih OKI). Dalam keputusan No. 43 (5/5) pada Muktamar ke-5 tahun 1988 di Kuwait, dinyatakan bahwa:
"Hak cipta dan hak paten dilindungi syariat. Pemiliknya berwenang menggunakannya dan tidak boleh dilanggar (dibajak)."
Berdasarkan pendapat ini, penulis berhak menjual bukunya dengan harga yang disepakati penerbit. Karena hak cipta diakui dalam Islam, maka dilarang membajak, menggandakan, menerjemahkan, atau menjual buku dalam bentuk digital tanpa izin penulis.
Dari dua pendapat tersebut, yang lebih kuat adalah pendapat kedua: penulis memiliki hak cipta atas karyanya dan boleh menjualnya secara komersial.
Hukum Fiqih Franchise
Hak cipta merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap kepemilikan intelektual yang bernilai ekonomi dan dapat dipindahtangankan dengan imbalan tertentu. Salah satu contoh penerapannya dalam dunia bisnis adalah sistem franchise atau waralaba.
Franchise adalah kerja sama bisnis antara pemilik merek dagang dengan pihak lain yang diberikan hak untuk menggunakan merek tersebut. Dalam perspektif Fiqih Muamalah, akad franchise termasuk akad kontemporer yang tidak secara langsung dibahas oleh ulama terdahulu. Oleh karena itu, penetapan hukumnya harus didasarkan pada hakikat akad yang terkandung di dalamnya.
Pada dasarnya, franchise merupakan gabungan dari beberapa akad dan persyaratan, di antaranya:
1. Akad Ijarah (sewa jasa): Pemilik hak paten menyewakan jasanya kepada pembeli franchise.
2. Akad Bai’ (jual beli): Pemilik hak paten menjual bahan baku kepada pembeli franchise dengan sejumlah persyaratan, seperti: Produk yang dijual sudah ditentukan, Pembeli franchise wajib membeli bahan baku dalam jumlah tetap dan secara berkala, Pembeli franchise tidak boleh menjual produk selain yang berasal dari pemilik hak paten dan Penjualan hanya diperbolehkan di area tertentu.
Baca juga: Hati-Hati! Jualan 6 Barang Ini Gak Berkah dan Haram! (Bagian Keempat)
Secara umum, akad gabungan dan persyaratan dalam sistem franchise diperbolehkan selama tidak mengandung unsur yang diharamkan, seperti menjual khamar, rokok, CD musik, atau barang lain yang dilarang dalam syariat Islam.
Pastikan setiap pekerjaan dan transaksi Anda sesuai dengan kaidah Fiqih Muamalah agar setiap langkah penuh berkah, termasuk dalam berinvestasi. Kini, tak perlu ragu lagi karena LBS Urun Dana hadir sebagai solusi investasi yang 100% sesuai prinsip Islam. Dapatkan manfaat dunia dan akhirat dengan investasi yang halal dan berkah. Yuk, mulai investasi sekarang di LBS Urun Dana!