artikel
21 November 2025
Epik! Kisah Mush’ab bin Umair, Dari Pemuda Flexing Jadi Sahabat Militan Nabi ﷺ
Di tengah riuh kehidupan Mekah yang glamor pada masa jahiliyah, ada seorang pemuda yang hidupnya berubah total setelah hidayah mengetuk hatinya. Dari sosok paling tampan, paling kaya, dan paling dimanja oleh ibunya, ia menjelma menjadi da’i pertama Madinah dan pejuang besar yang syahid dalam keadaan hampir tanpa kain kafan.
Dialah Mush’ab bin Umair pemuda yang meninggalkan seluruh kenikmatan dunia demi memegang teguh iman. Inilah kisah luar biasa yang layak Anda simak.
Awal Kehidupan Mush’ab bin Umair
Mush’ab bin Umair lahir di Mekah pada tahun 585 M, empat belas tahun setelah kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Ia berasal dari keluarga Quraisy terpandang dengan nasab lengkap: Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi. Pada masa jahiliyah, Mush’ab hidup sebagai simbol kemewahan dan status sosial tinggi.
Imam Ibnul Atsir menggambarkannya sebagai pemuda yang “paling tampan, paling harum, dan paling rapi penampilannya di Mekah.” Ibunya, Khunas binti Malik, memanjakannya bahkan sampai menyediakan hidangan tepat di hadapan Mush’ab begitu ia bangun tidur. Sandalnya bermerk al-Hadhrami, pakaiannya kain terbaik, dan parfum yang ia gunakan meninggalkan jejak aroma di jalan yang ia lewati.
Dalam satu riwayat, Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, lebih baik pakaiannya, dan lebih banyak diberi kenikmatan selain Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Dari Kemewahan ke Penderitaan: Perjalanan Memeluk Agama Islam
Saat dakwah Islam masih berlangsung secara rahasia di rumah al-Arqam sekitar tahun 612 M, Mush’ab yang hidup di tengah budaya jahiliyah dipenuhi pesta, musik, khamr, dan penyembahan berhala justru diberi cahaya iman yang jernih.
Ia datang diam-diam kepada Rasulullah ﷺ dan langsung memeluk Islam. Keputusannya ia sembunyikan untuk menghindari tekanan Quraisy, namun ia tetap menghadiri majelis Nabi secara tersembunyi. Dalam waktu singkat, Mush’ab tumbuh menjadi salah satu sahabat termuda yang mendalam pemahaman Al-Qur’annya dan kukuh pendiriannya.
Baca juga: Top Markotop! Risalah Sa’id Bin Zaid, Sahabat Nabi ﷺ Sang Pemilik Doa Mustajab
Begitu keislamannya diketahui, kehidupan Mush’ab berubah drastis. Ibunya merasa dikhianati dan mengancam tidak makan serta berdiri di bawah panas matahari hingga Mush’ab meninggalkan Islam. Mush’ab kemudian dikurung, disiksa, dijauhkan dari seluruh fasilitas mewah, hingga tubuhnya mengurus dan kulitnya mengelupas karena tekanan fisik dan batin. Sahabat seperti Ali bin Abi Thalib mengenang momen ketika Mush’ab muncul di masjid hanya memakai burdah kasar bertambal hingga membuat Rasulullah ﷺ menangis mengingat kontras antara kemewahan dahulu dan kefakiran setelah Islam.
Pengorbanan ini tidak membuatnya goyah. Untuk menjaga iman, Mush’ab ikut hijrah ke Habasyah pada tahun 615 M, meninggalkan seluruh kenyamanan yang pernah ia miliki.
Diplomat Islam Pertama yang Mengubah Wajah Madinah
Pada tahun 621 M, setelah Baiat Aqabah Pertama, penduduk Yatsrib meminta seseorang yang dapat mengajarkan ajaran Islam secara langsung. Nabi ﷺ memilih Mush’ab bin Umair. Pilihan ini menunjukkan betapa tinggi kedudukan ilmu, kebijaksanaan, dan kecakapan dialog yang dimiliki pemuda Quraisy itu. Mush’ab tinggal di rumah As’ad bin Zurarah dan memulai dakwahnya dari satu rumah ke rumah lain dengan kelembutan dan ketenangan.
Dalam waktu sekitar satu tahun, dakwahnya berhasil menyentuh hati dua tokoh penting, Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz. Keduanya kemudian diikuti oleh kaumnya hingga Islam menyebar luas di Yatsrib. Kesuksesan Mush’ab inilah yang menjadi fondasi bagi lahirnya masyarakat Muslim Madinah dan menjadikan kota itu siap menyambut hijrahnya Nabi ﷺ pada tahun 622 M. Mush’ab juga dikenal sebagai pemimpin shalat Jumat pertama di Madinah, sebuah tonggak penting yang banyak ulama sebut sebagai tanda kematangan sebuah komunitas Muslim. Tidak sedikit ahli sejarah yang menjuluki Mush’ab sebagai mentor spiritual Madinah.
Akhir yang Mulia Gugur Saat Memegang Bendera Islam
Pada Perang Uhud tahun 625 M atau 3 H, Mush’ab kembali mendapatkan amanah besar dengan membawa bendera pasukan Muslim. Bendera adalah simbol marwah dan keteguhan. Tugas ini hanya diberikan kepada sosok yang paling tepercaya. Ketika Ibnu Qumai’ah, penunggang kuda Quraisy, mengira Mush’ab sebagai Rasulullah ﷺ, ia menyerang dengan keras.
Baca juga: Panutan! Kisah Salim Maula Abu Hudzaifah, Eks Budak yang Jadi Hafidz Quran Mulia
Tangan kanan Mush’ab terputus. Ia memegang bendera dengan tangan kiri. Serangan kedua membuat tangan kirinya terputus. Ia gugur sebagai syahid. Ketika para sahabat hendak mengkafani jasadnya, mereka hanya menemukan sehelai burdah yang tidak cukup menutupi seluruh tubuhnya. Jika kain ditarik ke kepala, kakinya terbuka, dan jika ditarik ke kaki, kepalanya terbuka.
Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menutupi kepalanya dengan kain itu dan menutup kakinya dengan rumput idzkhir. Mush’ab wafat pada usia sekitar 40 tahun. Ia hanya hidup selama tiga puluh dua bulan di Madinah setelah hijrah. Meski singkat, warisannya besar dan pengaruhnya meninggalkan jejak abadi dalam sejarah Islam.






