artikel
16 Oktober 2025
Salut! Kisah Heroik Abu Ubaidah Bin Jarrah yang Berjihad Demi Cinta Allah ﷻ
Di tengah dunia yang menilai keberhasilan dari kekuasaan dan harta, sejarah Islam menghadirkan sosok yang membuktikan bahwa kekuatan sejati lahir dari kejujuran dan amanah. Ia bukan bangsawan, bukan saudagar besar, tetapi pengaruh dan ketulusannya mengguncang zaman. Dialah Abu Ubaidah Bin Jarrah, panglima terpercaya Rasulullah ﷺ, sahabat yang dijuluki Aminul Ummah atau orang paling amanah di antara seluruh umat.
Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah bukan sekadar catatan peperangan, melainkan perjalanan spiritual tentang loyalitas, pengorbanan, dan kesetiaan kepada Allah ﷻ. Abu Ubaidah adalah cermin bagi siapa pun yang ingin memimpin dengan hati, bekerja dengan iman, dan mengelola amanah tanpa terikat oleh gemerlap dunia.
Awal Kehidupan Abu Ubaidah Bin Jarrah
Abu Ubaidah lahir pada tahun 583 Masehi, 27 tahun sebelum kenabian Muhammad ﷺ. Nama lengkapnya Amir bin Abdullah bin Jarrah. Sejak muda, ia dikenal sebagai sosok tenang, lembut, dan bijak. Tubuhnya tinggi, kurus, berwajah tampan, dan berkulit cerah. Namun bukan penampilannya yang membuatnya dihormati, melainkan tutur katanya yang menyejukkan dan kebijaksanaan yang memancar dari hatinya.
Abu Ubaidah jarang berbicara, namun sekali berbicara, orang-orang diam dan mendengarkan. Karena dari lisannya keluar nasihat yang menuntun, bukan sekadar kata yang memuaskan telinga.
Momen Epik Abu Ubaidah bin Al-Jarrah di Perang Badar
Salah satu momen paling menggetarkan dalam kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah terjadi di Perang Badar. Saat pertempuran berlangsung, beliau bertempur dengan gagah berani bagaikan seekor singa. Banyak musuh Quraisy menghindarinya karena takut, kecuali satu orang yang terus-menerus mengincarnya.
Abu Ubaidah berusaha menghindar, hingga akhirnya ia terpaksa melawan dan membunuh prajurit tersebut. Ternyata, orang itu adalah ayah kandungnya sendiri, Abdullah bin Al-Jarrah, yang datang memerangi Islam. Dalam peristiwa itu, Abu Ubaidah menunjukkan bahwa cinta kepada Allah dan Rasul lebih besar dari ikatan darah. Atas kejadian itu, Allah ﷻ menurunkan firman dalam Surah Al-Mujadilah ayat 22:
“Engkau (Nabi Muhammad ﷺ) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya...”
Baca juga: Top Markotop! Risalah Sa’id Bin Zaid, Sahabat Nabi ﷺ Sang Pemilik Doa Mustajab
Kisah ini menjadi pelajaran tentang wala’ dan bara’ mencintai karena Allah dan berlepas diri dari siapa pun yang memusuhi agama-Nya.
Dari peristiwa ini, kita belajar bahwa iman sejati menuntut keberanian untuk menempatkan Allah di atas segala sesuatu. Bahkan ketika ujian datang dari orang terdekat, seorang mukmin harus tetap berpihak kepada kebenaran. Sebagaimana Allah ﷻ juga berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 24:
“Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, pasangan-pasanganmu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, serta tempat tinggal yang kamu sukai lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya...”
Cinta Sejati Abu Ubaidah kepada Rasulullah ﷺ
Dalam Perang Uhud, cinta Abu Ubaidah Bin Jarrah kepada Rasulullah ﷺ mencapai puncaknya. Ketika wajah Nabi terluka dan rantai topi baja menancap di pipinya, Abu Ubaidah segera menolong tanpa ragu. Ia mencabut rantai besi itu dengan giginya agar luka Nabi tidak semakin parah.
Giginya patah, darah mengalir, namun senyum keikhlasan menghiasi wajahnya. Para sahabat berkata, “Tidak ada ketampanan yang melebihi gigi tanggal Abu Ubaidah,” karena di balik luka itu ada cinta dan pengorbanan yang suci.
Abu Ubaidah Bin Jarrah: Pemimpin Para Pemimpin
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, Abu Ubaidah Bin Jarrah diangkat sebagai panglima tertinggi kaum muslimin. Ia memimpin para jenderal besar seperti Khalid bin Walid dan Amr bin Ash, hingga dijuluki Amirul Umara atau pimpinannya para pemimpin.
Namun kejayaan tidak mengubahnya. Saat Umar mengunjungi rumahnya di Syam, yang ditemui hanyalah dinding tanah liat, pedang, perisai, dan beberapa potong roti kering. Umar menangis dan berkata, “Dunia telah mengubah kita semua, kecuali engkau, wahai Abu Ubaidah.”
Kesederhanaannya menjadi simbol kepemimpinan sejati. Sebagaimana dikutip dari Muslim.or.id, disebutkan bagi Abu Ubaidah, jabatan bukan kehormatan, melainkan amanah.
Wafat dalam Keadaan Syahid
Setelah bertahun-tahun mengabdi kepada Islam, Abu Ubaidah Bin Jarrah wafat pada tahun 18 Hijriah atau 639 Masehi akibat wabah Tha’un yang melanda negeri Syam. Penyakit itu membuat banyak sahabat gugur, namun Abu Ubaidah menerimanya dengan senyum.
Ketika sahabat hendak memanggil tabib untuk mengobatinya, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menukar penyakit ini walau dengan seekor unta merah.” Ia melihat penyakit itu bukan sebagai penderitaan, melainkan jalan menuju syahid sebagaimana dijanjikan Rasulullah ﷺ.
Wafatnya menjadi penutup yang indah bagi seorang sahabat agung yang hidup dengan iman, memimpin dengan amanah, dan meninggal dalam ridha Allah.
Baca juga: Gubrak! Omon-Omon Haji “Resmi” Giring Ustadz Masyhur ke Tipu Daya Korupsi!
Kisah Abu Ubaidah Bin Jarrah mengajarkan bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari harta atau jabatan, tetapi dari keberkahan dan kejujuran. Ia membuktikan bahwa amanah adalah fondasi setiap keberhasilan baik dalam agama, kepemimpinan, maupun kehidupan ekonomi.
Abu Ubaidah Bin Jarrah bukan hanya pahlawan perang, tetapi simbol kejujuran dan keteguhan hati. Ia hidup sederhana, memimpin dengan iman, dan wafat dalam kemuliaan.
Bagi umat Islam masa kini, keteladanan Abu Ubaidah adalah pengingat bahwa kemuliaan bukanlah milik mereka yang paling kaya, tetapi mereka yang paling amanah. Mari jadikan semangat Abu Ubaidah Bin Jarrah sebagai inspirasi untuk menumbuhkan ekonomi umat yang kuat, halal, dan penuh keberkahan.