artikel
11 Mei 2025
Berani Menimbun Barang? Rasulullah ﷺ Peringatkan Balasan Pedih di Akhirat! (Bagian Keempat)
Fenomena menimbun barang sering muncul saat harga bahan pokok naik atau pasokan terganggu di pasaran. Oknum pedagang sengaja menyimpan stok barang besar untuk dijual kembali saat harga melonjak tinggi.
Tujuannya adalah mendapatkan keuntungan besar dari kelangkaan barang yang mereka ciptakan sendiri. Dalam Islam, praktik ini dikenal dengan istilah ihtikar, yaitu menahan barang pokok untuk dijual saat harga tinggi.
Baca juga: Derita Dunia Akhirat! Ini Status Akad Jual Beli dan Sanksi Pengusaha Penipu (Bagian Ketiga)
Perbuatan ini dilarang karena merugikan masyarakat dan melanggar prinsip keadilan dalam transaksi. Islam mengecam ihtikar sebagai bentuk ketamakan yang merusak kestabilan ekonomi dan kehidupan sosial.
Mari kita pelajari bersama bagaimana Fikih Muamalah menjelaskan hal ini melalui buku Harta Haram (2021) karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Penimbun Barang adalah Pendosa
Ihtikar adalah menimbun barang untuk menguasai pasar dan menentukan harga sesuka hati. Biasanya dilakukan terhadap bahan makanan pokok, bahan bakar, hingga tiket transportasi saat musim liburan.
Perilaku ini telah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad ﷺ. Islam tidak melarang pedagang meraih keuntungan selama tidak melanggar hak Allah dan tidak merugikan orang lain.
Suatu ketika, harga bahan makanan melonjak tinggi di masa Nabi ﷺ. Para sahabat meminta beliau menetapkan harga. Nabi menolak dan bersabda:
“Sesungguhnya hanya Allah yang menetapkan harga, menahan, menghamparkan, dan memberi rezeki. Aku berharap bertemu Allah tanpa menzalimi siapa pun terkait harta atau jiwa.” (HR. Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Al-Albani).
Baca juga: Nauzubillah! Ini Bahaya dan Azab Menipu dalam Jual Beli (Bagian Pertama)
Karena dampaknya besar bagi masyarakat, Nabi ﷺ menyebut pelaku ihtikar sebagai pendosa:
“Ihtikar tidak dilakukan kecuali oleh seorang pendosa.” (HR. Muslim)
Bahkan, Nabi ﷺ menyebut ancaman bagi pelaku ihtikar sangat berat:
“Siapa yang menaikkan harga bahan makanan kaum muslimin, Allah berhak melemparkannya ke neraka di hari kiamat.” (HR. Ahmad – sanad jayyid menurut Al-Arnauth)
Ibnu Hajar Al-Haitami mengelompokkan ihtikar sebagai dosa besar karena menyusahkan banyak orang.
Apakah Menyimpan Makanan Termasuk Ihtikar?
Sebagian orang menyimpan makanan untuk kebutuhan pribadi, terutama di negara empat musim. Apakah ini termasuk ihtikar?
Jika jumlahnya di bawah nishab zakat (20 dinar emas atau 300 sha makanan pokok), maka hukumnya boleh. Jika mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Jika tidak, maka harta itu bisa berubah menjadi azab. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak… Lalu dibakar dahi mereka... Maka rasakanlah akibat dari apa yang kamu simpan.” (QS. At-Taubah: 34–35)
Namun jika zakat telah ditunaikan dan penyimpanan tidak menimbulkan kelangkaan, maka hukumnya boleh. Hal ini berdasarkan kisah Nabi Yusuf dalam Al-Qur’an:
“Kamu bertanam tujuh tahun... Biarkan hasilnya dalam bulir kecuali sedikit untuk kamu makan...” (QS. Yusuf: 47–49)
Namun, pada masa krisis pangan, menyimpan makanan pokok berlebihan bisa dikategorikan sebagai ihtikar. Pihak berwenang boleh memaksa seseorang menjual barang tersebut demi kemaslahatan umum.
Menyimpan Barang untuk Dijual Saat Harga Naik
Bagaimana jika seseorang membeli barang saat murah, menyimpannya, lalu menjualnya saat harga naik? Jika penjualan dilakukan sesuai harga pasar dan tidak menyebabkan kelangkaan, itu bukan ihtikar.
Abu Zinab pernah bertanya pada Sa’id Al-Musayyib mengenai hal ini. Ia menjawab bahwa ihtikar adalah membeli barang saat harga tinggi dan membuatnya makin mahal. Sementara menyimpan barang murah untuk dijual saat ramai dianggap kebaikan (HR. Al-Baihaqi).
Objek Ihtikar: Hanya Makanan Pokok?
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan cakupan objek ihtikar. Perbedaan ini muncul karena sebagian hadis menyebutkan jenis barang secara eksplisit, sedangkan yang lain bersifat umum.
Baca juga: Emang Boleh Dapet Duit dari Berdakwah? Cek Dalilnya Disini! (Bagian Keenam)
1. Pendapat pertama: hanya mencakup makanan pokok
Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Mereka berpendapat bahwa larangan ihtikar hanya berlaku pada makanan pokok, bukan pada barang lain.
Dalil mereka bersumber dari hadis berikut:
“Barang siapa yang menimbun makanan pokok kaum muslimin, niscaya Allah akan menimpakan kepadanya penyakit kusta dan perdagangannya akan bangkrut.” (HR. Ibnu Majah – sanad jayyid menurut Al-Bushairi)
Menurut mazhab ini, disebutkannya kata “makanan” dalam hadis merupakan batasan yang menunjukkan objek khusus. Dengan demikian, menimbun barang selain makanan pokok tidak termasuk ihtikar yang diharamkan.
2. Pendapat kedua: berlaku untuk semua barang kebutuhan umum
Pendapat ini dianut oleh mazhab Maliki dan sebagian ulama kontemporer. Mereka berpendapat bahwa larangan ihtikar tidak terbatas hanya pada makanan, tapi berlaku untuk semua barang kebutuhan pokok masyarakat.
Dalilnya berasal dari sejumlah hadis yang bersifat umum dan tidak menyebutkan jenis barang tertentu.Menurut mereka, menimbun barang apa pun yang dibutuhkan orang banyak tetap dilarang dalam Islam.
Contohnya seperti bahan bakar, bahan bangunan, air bersih, masker medis, atau bahkan mata uang tertentu.
Pendapat kedua ini dinilai lebih kuat karena sesuai dengan hikmah pelarangan ihtikar:
yaitu mencegah kesulitan dan kerusakan di tengah masyarakat akibat kelangkaan barang yang disengaja.
Dalam kaidah usul fikih, makna larangan yang tidak disebutkan objeknya secara eksplisit menunjukkan larangan bersifat umum. Oleh karena itu, barang apa pun yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat baik untuk hidup, ibadah, atau mobilitas haram ditimbun demi keuntungan sepihak.
Sanksi bagi Penimbun Barang
Dalam hal penegakan aturan, para ulama sepakat bahwa pemerintah atau otoritas berwenang boleh mengambil tindakan tegas terhadap pelaku ihtikar. Pemerintah berhak memaksa penimbun untuk menjual barangnya dengan harga wajar yang ditentukan, demi melindungi kepentingan umum.
Jika pelaku menolak, maka pemerintah boleh menahan atau memenjarakannya sampai ia mau menjual barang tersebut. Langkah ini dibolehkan sebagai bentuk hisbah, yaitu intervensi negara untuk menjaga keadilan dan mencegah kerusakan di tengah masyarakat.
Baca juga: Hati-Hati! Ini Aturan Jual Barang Palsu dan Iklan Menyesatkan (Bagian Kedua)
Prinsip utama Islam dalam ekonomi adalah keadilan, transparansi, dan menjauhkan diri dari tindakan zalim terhadap sesama. Karena itu, ihtikar dipandang sebagai ancaman serius yang merusak tatanan pasar dan menimbulkan kesenjangan sosial.
Islam menekankan pentingnya kejujuran dan keadilan dalam muamalah, termasuk dalam perdagangan dan investasi.
Ihtikar dilarang karena merusak ekonomi dan menyusahkan masyarakat. Sebagai muslim, kita harus menghindari praktik tidak jujur demi menjaga keberkahan harta.
Karena itu, pilihlah investasi yang jujur, dan berdampak baik. Mulai investasi Anda melalui LBS Urun Dana, platform securities crowdfunding yang berpengalaman dan amanah. Yuk invest sekarang!