berita
3 Desember 2025
Alerta! 6 Pabrik Tekstil di Jurang Kebangkrutan, Siap-siap Sritex Part 2!
Industri tekstil Indonesia sedang menghadapi fase paling berat dalam sepuluh tahun terakhir. Apa yang dulu dianggap sebagai penurunan siklus biasa, kini berubah menjadi krisis yang mengancam struktur industri tanah air.
Data terbaru dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menunjukkan bahwa 6 pabrik tekstil terancam bangkrut akibat menurunnya permintaan domestik, tekanan produksi, dan derasnya banjir impor tekstil dumping yang menggempur pasar nasional tanpa ampun.
Baca juga: Nah Loh! 6 Fakta Drama Pembekuan Bea Cukai yang Bikin 16 Ribu Pegawai Dag-dig-dug
Sebagai pengusaha, kita tahu bahwa grafik bisnis selalu naik turun. Namun yang terjadi hari ini bukan sekadar penurunan permintaan. Ini adalah peringatan keras bahwa industri tekstil Indonesia sedang berada di titik kritis.
Dan jika tidak ada tindakan cepat, pabrik tekstil tutup bukan lagi kejadian individual, tetapi akan menjadi fenomena beruntun yang menghapus identitas industri nasional.
Produksi Terhenti, Gudang Penuh, Mesin Dimatikan
Sebagaimana dikutip dari CNBC pada Rabu (3/12/2025), Sekretaris Jenderal APSyFI, Farhan Aqil Syauqi, menggambarkan situasi lapangan yang jauh dari normal. Stok barang menumpuk satu bulan penuh, padahal dalam kondisi sehat, barang tidak pernah tinggal lebih dari dua minggu.
Beberapa pabrik kini beroperasi on off. Tiga bulan jalan, tiga bulan berhenti. Itu pun hanya demi memenuhi permintaan pelanggan loyal agar hubungan bisnis tidak terputus. Lebih dari itu, lini produksi sudah dipotong di bawah 50 persen. Bahkan lima mesin polimerisasi telah dimatikan total, karena produksi tidak lagi ekonomis.
Jika tidak ada tindakan korektif dari pemerintah dan ekosistem bisnis, keenam pabrik ini akan menyusul gelombang pabrik tekstil bangkrut yang sudah terjadi sejak tahun 2022.
Penyebab Banyak Pabrik Tekstil Bangkrut
Farhan menegaskan bahwa salah satu penyebab terbesar keruntuhan industri tekstil Indonesia adalah derasnya produk impor tekstil harga dumping yang membanjiri pasar domestik. Produk impor dengan harga sangat rendah membuat produsen lokal nyaris mustahil bersaing.
APSyFI mendorong pemerintah membuka transparansi penerima kuota impor terbesar, karena seluruh data barang yang masuk lewat pelabuhan sudah tercatat pada sistem bea cukai. Artinya bukan masalah teknis. Ini masalah keberanian mengambil keputusan.
Ketidakpastian regulasi adalah racun yang pelan tapi pasti membunuh industri. Tanpa arah yang jelas, pengusaha tidak bisa menyusun rencana produksi tahun depan. Dan tanpa rencana, bisnis tak ubahnya kapal tanpa kompas.
Gelombang Penutupan Pabrik Tekstil Sudah Terjadi
Kita bukan sedang bicara potensi, melainkan realita. Selain enam perusahaan yang kini di ambang kolaps, lima pabrik tekstil sudah tutup sejak 2022 sampai 2025:
a. PT Polychem Indonesia Karawang
b. PT Polychem Indonesia Tangerang
c. PT Asia Pacific Fibers Karawang
d. PT Rayon Utama Makmur (Sritex Group)
e. PT Sulindafin Tangerang
Imbasnya, 3.000 pekerja sudah mengalami PHK, rantai pasok melemah, dan daya saing industri menurun drastis. Dalam sektor benang dan kain, situasinya lebih buruk.
60 perusahaan telah tutup dalam waktu tiga tahun. Dari 17 pabrik hulu yang dulu beroperasi, kini hanya 12 yang tersisa. Ini bukan sekadar tekanan bisnis. Ini tanda bahwa deindustrialisasi tekstil sedang terjadi sekarang.
Apa Artinya untuk Pengusaha?
Untuk kita yang berada di dunia usaha, situasi ini membawa beberapa pesan penting:
a. Kita tidak bisa lagi berjalan sendirian. Kolaborasi vertikal dan horizontal adalah jalan baru.
b. Transformasi lebih penting daripada sekadar bertahan hidup.
c. Strategi agresif harus menggantikan strategi bertahan.
d. Ketidakpastian bukan alasan berhenti, tapi alasan untuk bergerak lebih cepat.
Baca juga: Full Senyum! Moneter BI 2026 Bikin Pengusaha Happy, Ini 5 Tips Bisnis Banjir Cuan
Ketika pabrik tekstil bangkrut satu per satu, yang hilang bukan sekadar aset fisik, tetapi kepercayaan pasar, kestabilan lapangan kerja, dan fondasi ekonomi daerah.
Di Balik Krisis, Selalu Ada Peluang!
Sejarah membuktikan bahwa perusahaan besar tidak lahir dari masa tenang. Mereka tumbuh di tengah badai. Ini saatnya:
a. Mengamankan modal kerja dan likuiditas
b. Masuk ke pendanaan alternatif seperti ekuitas atau sukuk ketika kredit bank makin ketat
c. Memperkuat efisiensi produksi dan integrasi supply chain
d. Membangun kemitraan strategis untuk bertahan dan kemudian menyalip saat pasar pulih.
Menunggu bukan strategi. Diam adalah risiko terbesar. Industri tekstil Indonesia harus diselamatkan sebelum kehilangan generasi. Ini tanggung jawab bersama. Pengusaha yang bergerak cepat akan memimpin. Yang terlambat akan tenggelam.





