berita
5 Juni 2025
Gawat Darurat! Ini 9 Sinyal Kuat Ekonomi Indonesia Melemah, Jangan Anggap Remeh
Apakah Anda akhir-akhir ini merasakan adanya penurunan aktivitas ekonomi, baik dalam rumah tangga maupun lingkungan sekitar? Jika iya, Anda tidak sendirian. Saat ini, sinyal bahwa ekonomi Indonesia sedang melemah semakin nyata, terlihat dari berbagai indikator penting.
Kami akan membahas secara menyeluruh mengenai kondisi ekonomi Indonesia saat ini agar kita semua dapat bersikap lebih bijak dalam menyikapi situasi ketika ekonomi melemah.
1. PMI Manufaktur Kembali Mengalami Kontraksi
Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis oleh S&P Global pada Senin, 2 Juni 2025, menunjukkan bahwa PMI manufaktur Indonesia berada di angka 47,4 pada Mei 2025. Ini merupakan bulan kedua secara berturut-turut di mana sektor manufaktur mencatatkan kontraksi salah satu indikator utama bahwa ekonomi melemah.
Dikutip dari CNBC pada Kamis (5/6/2025), S&P Global menyampaikan bahwa aktivitas produksi dan pesanan baru kembali mengalami pelemahan. Penurunan pesanan baru bahkan tercatat lebih tajam dibandingkan dengan April, dan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.
Melemahnya permintaan pasar, baik domestik maupun internasional, menjadi penyebab utama turunnya aktivitas manufaktur. Permintaan dari luar negeri, khususnya ekspor ke Amerika Serikat, juga kembali melemah meskipun dalam laju yang lebih lambat.
Baca juga: Ngeri! Kredit Seret dan Tabungan Masyarakat Mandek, Ekonomi Lesu itu Nyata?
Kondisi ini menyebabkan penurunan lanjutan dalam produksi untuk bulan kedua berturut-turut. Meskipun penurunan tersebut terjadi dalam laju yang lebih lambat dibandingkan bulan sebelumnya, jika tren ini berlanjut, maka dapat berdampak pada penyerapan tenaga kerja, kinerja pertumbuhan ekonomi nasional, dan produktivitas sektor manufaktur.
2. Deflasi Bulan Mei 2025
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa pada Mei 2025 terjadi deflasi sebesar 0,37% secara bulanan (month-on-month). Secara tahunan, angka inflasi tercatat sebesar 1,60% (year-on-year). Ini adalah salah satu dampak nyata dari ekonomi melemah, yang menunjukkan tekanan terhadap kondisi ekonomi Indonesia secara menyeluruh.
Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami deflasi sebesar 1,40% dan memberikan andil sebesar 0,41% terhadap total deflasi. Komoditas utama penyumbang deflasi antara lain cabai merah dan cabai rawit (masing-masing 0,12%), bawang merah (0,09%), ikan segar (0,05%), bawang putih (0,04%), dan daging ayam ras (0,01%).
Deflasi pada Mei 2025 merupakan yang ketiga kalinya dalam tahun ini setelah deflasi pada Januari (-0,76%) dan Februari (-0,48%). Turunnya harga-harga pangan dan hilangnya efek kenaikan tarif listrik menjadi faktor penyebab. Namun, deflasi juga mencerminkan penurunan daya beli masyarakat, yang menandakan pelemahan permintaan dalam kondisi ekonomi Indonesia yang menantang.
3. Produk Domestik Bruto (PDB) Kuartal I Tidak Mencapai 5%
Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 tercatat sebesar 4,87% (year-on-year). Ini merupakan angka pertumbuhan terendah sejak kuartal III-2021, ketika Indonesia sedang menghadapi pandemi COVID-19 gelombang Delta. Situasi ini menjadi sinyal tambahan bahwa ekonomi melemah dan memerlukan perhatian serius.
Padahal, Maret 2025 merupakan bulan Ramadan, yang umumnya menjadi pendorong konsumsi rumah tangga. Namun, kenyataannya kontribusi terhadap agregat Produk Domestik Bruto (PDB) masih belum maksimal, mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia yang belum stabil sepenuhnya.
4. Surplus Neraca Perdagangan Menyusut
Meskipun Indonesia masih mencatatkan surplus neraca perdagangan hingga April 2025, jumlahnya terus menyusut dan mencapai titik terendah dalam 60 bulan terakhir yang merupakan situasi yang turut menandai bahwa ekonomi melemah.
Baca juga: Tabungan Warga RI Kritis! THR Cuma Jadi Angin Lalu?
Pada April 2025, surplus neraca perdagangan tercatat sebesar US$150 juta. Ekspor mencapai US$20,74 miliar sementara impor mencapai US$20,59 miliar. Dibandingkan dengan Maret 2025 yang mencatat surplus sebesar US$4,33 miliar, angka ini menunjukkan penurunan yang signifikan.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa penyusutan surplus ini disebabkan oleh penurunan ekspor yang lebih cepat dibandingkan dengan kenaikan impor.
5. Penurunan Nilai Ekspor
Pada April 2025, nilai ekspor Indonesia tercatat sebesar US$20,74 miliar, naik 5,76% secara tahunan. Namun, ini lebih rendah dibandingkan dengan ekspor pada Maret 2025 yang mencapai US$23,35 miliar, dan merupakan angka terendah sejak April 2024.
Nilai ekspor migas turun sebesar 13,38% menjadi US$1,17 miliar, sedangkan ekspor non-migas naik sebesar 7,17% menjadi US$19,57 miliar.
Penurunan ekspor menyebabkan berkurangnya penerimaan pajak dan devisa, yang pada gilirannya dapat membatasi kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan dan sosial. Hal ini mempertegas bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan berat akibat penurunan sektor ekspor.
6. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Berskala Besar
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, menyatakan bahwa jumlah korban PHK di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Aktivitas industri dalam negeri, terutama di sektor padat karya, mengalami penurunan tajam.
Pada tahun 2024, sebanyak 257.471 peserta BPJS Ketenagakerjaan berhenti dari keanggotaan akibat PHK. Sementara dari Januari hingga Maret 2025, tercatat 73.992 peserta terkena PHK. Jumlah klaim Jaminan Hari Tua (JHT) karena PHK sepanjang 2024 mencapai 154.010 orang, dan dari Januari hingga Maret 2025 sebanyak 40.683 orang.
PHK massal berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat, menghambat konsumsi barang dan jasa, serta mempengaruhi berbagai sektor seperti ritel, manufaktur, dan jasa. Situasi ini adalah salah satu bentuk nyata dari ekonomi melemah yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
7. Kenaikan Jumlah Pengangguran
Per Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia meningkat sebanyak 0,08 juta orang atau 83 ribu orang dibandingkan Februari 2024, menjadi 7,28 juta orang. Meskipun persentase pengangguran menurun menjadi 4,76%, jumlah absolutnya tetap naik.
Kondisi ini dapat menyebabkan peningkatan angka kemiskinan dan pelemahan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Lonjakan angka pengangguran ini turut menambah daftar tantangan dalam menghadapi kondisi ekonomi Indonesia saat ekonomi melemah.
8. Pertumbuhan Kredit Perbankan Melambat
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan bahwa hingga April 2025, pertumbuhan kredit perbankan mencapai 8,88% secara tahunan, dengan total penyaluran sebesar Rp7.960 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa bank BUMN menjadi pendorong utama pertumbuhan ini dengan peningkatan sebesar 8,82%.
Namun, perlambatan ini dapat berdampak pada kemampuan dunia usaha untuk mendapatkan pembiayaan dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Fakta ini mencerminkan salah satu dampak struktural dari ekonomi melemah di sektor keuangan.
9. Penurunan Laba Perbankan
Empat bank besar nasional mencatat total laba bersih sebesar Rp57,28 triliun pada kuartal I-2025, dengan pertumbuhan hanya 0,55% secara tahunan.
Pendapatan bunga bersih atau net interest income (NII) dari beberapa bank besar seperti BCA dan Bank Mandiri mengalami perlambatan, yang mempengaruhi profitabilitas. Jika tren ini berlanjut, bank mungkin menaikkan suku bunga kredit untuk menjaga margin keuntungan, yang dapat membebani dunia usaha dan masyarakat.
Pertumbuhan laba yang tipis juga dapat mengurangi minat investor terhadap sektor perbankan dan berdampak pada arus modal di pasar keuangan. Ini menandakan bahwa kondisi ekonomi Indonesia sedang berada dalam tekanan, bahkan pada sektor yang relatif stabil sekalipun.
Baca juga: Gawat! 6 Sinyal Lebaran 2025 Tak Semarak & Perputaran Uang Seret!
Semua indikator tersebut menunjukkan bahwa ekonomi melemah di berbagai sektor dan kondisi ekonomi Indonesia membutuhkan perhatian serta kebijakan yang cepat dan tepat. Namun, dengan kolaborasi dan strategi yang terkoordinasi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat, krisis ini dapat diubah menjadi peluang untuk melakukan reformasi struktural dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional.
Di tengah tantangan tersebut, peluang untuk berperan aktif dalam membangun ketahanan ekonomi terbuka lebar. Salah satu bentuk kontribusi konkret yang bisa dilakukan masyarakat adalah melalui partisipasi dalam investasi dan pembiayaan ekonomi lokal.
LBS Urun Dana, sebagai securities crowdfunding yang amanah, siap mendukung pertumbuhan ekonomi melalui investasi dan pembiayaan syariah hingga Rp10 miliar.
Tertarik? Lakukan langkah nyata untuk masa depan ekonomi yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Mulai investasi halal di sini dan pembiayaan syariah hanya di LBS Urun Dana.