berita
22 November 2025
Geger! Inflasi Pangan Tembus 6,59 Persen, BI Klarifikasi Isu MBG yang Bikin Heboh!
Anda mungkin ikut merasakan tekanan biaya yang makin berat akhir-akhir ini. Harga telur, daging ayam, hingga cabai merah bergerak naik tanpa kompromi. Spekulasi pun bermunculan salah satunya anggapan bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG), menjadi penyebab utama inflasi.
Namun sebelum menarik kesimpulan, kita perlu melihat gambaran yang lebih utuh. Data terbaru memperlihatkan bahwa inflasi bahan pangan bergejolak (volatile food) mencapai 6,59% yoy, jauh di atas inflasi umum bulan Oktober 2025 yang hanya 2,86%. Kenaikan setinggi ini tentu menimbulkan pertanyaan besar: apa penyebab inflasi naik setajam ini, dan apa dampaknya untuk bisnis?
Bank Indonesia akhirnya buka suara. Lonjakan ini, menurut BI, bukan hanya karena permintaan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi lebih dipengaruhi oleh gangguan musim dan pola produksi akhir tahun.
Penyebab Inflasi Menurut BI: Bukan Sekadar MBG
Deputi Gubernur BI, Aida S. Budiman, meminta publik berhati-hati dalam mengaitkan inflasi pangan dengan program MBG. Sebagaimana dikutip dari CNBC pada Jumat (21/11/2025), Aida menegaskan bahwa kenaikan ini disebabkan oleh tiga faktor utama:
1. Base Effect (Efek Perbandingan Tahunan)
Tekanan inflasi bahan pangan pada 2024 sangat rendah. Volatile food tahun lalu hanya 3,04% (Agustus), 1,43% (September), dan 0,89% (Oktober). Jadi, saat tahun ini naik signifikan, angka YoY memang akan terlihat “melonjak”.
2. Bukan Musim Tanam Hortikultura
Akhir tahun adalah fase transisi, bukan masa panen. Pasokan cenderung mengetat, sehingga harga lebih sensitif ketika permintaan meningkat.
Baca juga: Fix! BI Rate Tetap 4,75%, Ini 7 Fakta Penting yang Perlu Pebisnis Cermati!
3. Gangguan Cuaca dan Biaya Produksi
Curah hujan yang tinggi memukul pasokan. Di sisi lain, pakan ternak (jagung pakan, livebird, DoC) naik, membuat harga telur dan daging ayam merangkak.
Dari sisi statistik, BPS juga mengakui bahwa program MBG memang mendorong permintaan telur dan daging ayam, tetapi bukan satu-satunya faktor yang menekan harga dan penyebab inflasi. Lonjakan biaya produksi tetap memegang peran besar.
Dampak Inflasi yang Ganggu Rantai Biaya Usaha
Kenaikan inflasi bahan pangan membuat banyak pengusaha mulai merasakan tekanan yang nyata. Harga bahan baku melonjak, sementara daya beli konsumen belum tentu ikut meningkat, sehingga ruang untuk menaikkan harga menjadi sangat terbatas. Situasi ini otomatis menekan margin, terutama bagi bisnis makanan, ritel, dan sektor hospitality yang paling sensitif terhadap perubahan harga harian.
Di sisi lain, cashflow menjadi jauh lebih rapuh. Pengusaha yang tidak memiliki buffer atau stok panjang harus menghadapi kenaikan biaya produksi yang tiba-tiba, ditambah tingginya biaya distribusi akibat naiknya harga energi dan logistik. Setiap pergerakan harga di hulu kini langsung terasa di penghujung rantai usaha, membuat arus kas lebih mudah terguncang.
Jika penyesuaian harga dilakukan terlalu cepat, risikonya adalah penurunan permintaan. Namun jika tidak disesuaikan, bisnis bisa terhimpit di antara biaya yang terus naik. Inilah alasan mengapa inflasi membuat model bisnis perlu lebih adaptif: setiap perubahan kecil dalam rantai pasokan bisa berdampak langsung pada operasional dan keberlanjutan perusahaan.
Apa yang Bisa Dilakukan Pengusaha Menghadapi Tekanan Inflasi?
Dalam situasi seperti ini, langkah realistis lebih penting daripada prediksi. Ketika inflasi datang dari banyak sisi seperti cuaca, produksi, permintaan, hingga biaya pakan, pengusaha tidak bisa hanya menunggu harga kembali normal. Yang paling dibutuhkan adalah strategi yang langsung bisa diterapkan dan memberi perlindungan bagi arus kas maupun margin usaha.
a. Perketat efisiensi sambil menjaga kualitas
Ini bukan sekadar memotong biaya, tetapi mengevaluasi ulang proses operasional, bahan baku, dan tenaga kerja agar setiap rupiah yang dikeluarkan benar-benar menghasilkan nilai. Targetnya adalah mengurangi pemborosan tanpa menurunkan standar kualitas.
b. Cari pemasok alternatif yang stabil dari sisi harga dan volume
Ketika komoditas volatile food naik, ketergantungan pada satu pemasok justru meningkatkan risiko. Memperluas jaringan pemasok baru baik lokal maupun lintas daerah dapat menjaga konsistensi harga dan memastikan suplai tetap aman.
c. Diversifikasi produk agar tidak bergantung pada komoditas paling bergejolak
Ini cara efektif menghadapi dampak inflasi. Jika satu bahan baku mengalami lonjakan harga, produk lain yang lebih stabil dapat menjaga performa penjualan. Diversifikasi membantu bisnis tetap berputar tanpa terlalu terekspos pada komoditas yang paling tidak stabil.
Baca juga: Sadis! 7 Dampak Mengerikan Riba yang Menghancurkan Nurani dan Krisis Ekonomi!
d. Lakukan penyesuaian harga bertahap, bukan sekaligus
Konsumen lebih menerima kenaikan kecil tetapi berkelanjutan dibanding satu lonjakan harga besar. Pendekatan bertahap menjaga penerimaan pasar sekaligus menjaga margin tetap hidup.
e. Lindungi kas agar tetap likuid menghadapi gejolak harga berikutnya
Inflasi sering bergerak dalam gelombang, bukan satu siklus saja. Likuiditas yang kuat memberi ruang bagi pengusaha untuk membeli stok saat harga sedang baik, menutup biaya tak terduga, atau mempertahankan operasional di masa tekanan.
Inflasi adalah sinyal peringatan. Namun bagi pengusaha visioner, kondisi ini bisa menjadi momentum untuk membaca ulang strategi bisnis, memperkuat fondasi keuangan, dan menyiapkan perusahaan agar lebih tahan terhadap fluktuasi harga. Dengan memahami penyebab inflasi dan menyusun langkah adaptif sejak dini, dampak inflasi dapat dikelola tanpa menghentikan laju pertumbuhan usaha.






