berita
6 November 2025
Spill Tipis! 4 Wajah Asli Ekonomi Indonesia Naik 5,04%, Benarkah Rakyat Cuan?
Pemerintah boleh tersenyum lega. Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 pada kuartal III mencapai 5,04% secara tahunan (yoy) dan 1,43% secara kuartalan (qtq).
Sebagaimana dikutip dari CNBC pada Kamis (6/11/2025), angka ini terlihat stabil dan memberi kesan positif bahwa ekonomi Indonesia tetap tangguh di tengah tekanan global. Namun di balik grafik yang tampak hijau, para ekonom membaca hal berbeda: apakah ini benar tanda kekuatan ekonomi sejati, atau sekadar keberhasilan menjaga statistik tetap manis?
1. Mesin Utama Ekonomi Indonesia: Industri dan Perdagangan
Dari sisi lapangan usaha, hampir seluruh sektor utama mencatat pertumbuhan positif. Industri pengolahan, pertanian, perdagangan, konstruksi, dan pertambangan menjadi pendorong utama dengan total kontribusi 65,02% terhadap PDB nasional.
Sektor industri pengolahan menyumbang 1,13 poin terhadap pertumbuhan, diikuti perdagangan (0,72 poin), informasi dan komunikasi (0,63 poin), serta pertanian (0,61 poin). Bahkan, perdagangan besar dan eceran tumbuh 5,49%, memberi sinyal bahwa aktivitas domestik masih bergerak.
Namun di balik laju positif ini, sebagian analis menilai pertumbuhan yang terjadi masih terlalu bertumpu pada konsumsi dasar, bukan ekspansi kapasitas produksi yang menandakan peningkatan kekuatan industri nasional.
2. Belanja Pemerintah Lebih Besar dari Masyarakat, Kok Bisa?
Ada yang janggal dalam laporan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 kuartal III.
Untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir, belanja pemerintah tumbuh lebih cepat dibanding konsumsi masyarakat dengan angka 5,49% berbanding 4,89%.
Padahal selama ini konsumsi masyarakat menjadi motor utama ekonomi Indonesia, menyumbang 82,23% terhadap PDB. Tapi kali ini justru rakyat yang menahan dompet, sementara negara membuka lebar pengeluarannya.
Konsumsi untuk jasa makanan, minuman, dan akomodasi memang naik, masing-masing 5,76% dan 7,49%, tapi konsumsi barang tahan lama justru melemah. Ini menandakan banyak rumah tangga yang mulai berhitung sebelum berbelanja.
Baca juga: Ups! Realisasi 1 Juta UMKM Bebas Utang Loyo, Menteri Maman Bocorin Kendalanya!
Artinya, daya beli masih rapuh dan APBN kembali menjadi penopang utama stabilitas ekonomi. Pemerintah seperti sedang memaksa roda ekonomi terus berputar, sementara sebagian rakyat memilih menepi dulu, menunggu cuaca ekonomi membaik.
Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah bisa menanggung beban itu sendirian? Karena jika konsumsi publik belum kembali kuat, maka pertumbuhan yang dibanggakan bisa jadi hanya efek dorongan sesaat, bukan kekuatan sejati ekonomi yang berkelanjutan.
3. Investasi Ramai di Angka, Sepi di Lapangan
Dari sisi pembentukan modal tetap bruto (PMTB), pertumbuhan mencapai 5,04%. Kabar baiknya, aktivitas investasi masih terjaga. Namun sub komponen mesin dan perlengkapan yang melonjak 17% menimbulkan tanda tanya besar.
Apakah lonjakan itu benar-benar mencerminkan peningkatan kapasitas produksi? Ataukah hanya hasil pencatatan pembelian aset yang belum dimanfaatkan secara riil?
Jika yang terjadi adalah yang kedua, maka sebagian pertumbuhan investasi hanyalah pertumbuhan administratif, bukan pertumbuhan produktif.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, menilai angka 5,04% ini “terlalu ramah di atas kertas”. Ia mengingatkan bahwa indikator seperti Purchasing Managers’ Index (PMI) yang sempat kontraksi, penjualan kendaraan, dan produksi semen yang menurun justru menunjukkan bahwa aktivitas industri belum sepenuhnya pulih.
Menurutnya, pertumbuhan riil ekonomi Indonesia kemungkinan hanya berada di kisaran 4,85%.
Baca juga: Astagfirullah! Judi Online Bikin Negara Boncos Rp134 Triliun, Ini Langkah Prabowo!
“Kalau kecenderungan memoles angka ini terus berlanjut, target 5,05% memang bisa tercapai di laporan resmi, tapi daya dorong ekonomi bisa kehilangan tenaga,” ujarnya sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Pandangan ini sejalan dengan prediksi beberapa analis Bloomberg yang memperkirakan pertumbuhan hanya 4,8%, meski hasil BPS masih lebih baik dari proyeksi Bank Dunia dan IMF. Namun, hasil tersebut tetap di bawah target APBN 2025 sebesar 5,2%, dan jauh dari ambisi pemerintah mencapai 5,5%.
4. Di Tengah Ketidakpastian, Industri Ini Justru Menguat
Meski ada banyak catatan, dua sektor masih menunjukkan performa impresif.
Industri pengolahan tumbuh 5,54%, untuk pertama kalinya sejak 2012 melampaui laju pertumbuhan nasional. Sementara pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 4,93%, tertinggi dalam 12 tahun terakhir.
Kedua sektor ini memperlihatkan bahwa fondasi ekonomi Indonesia 2025 yang paling kokoh tetap berasal dari ekonomi riil, dari aktivitas produksi dan konsumsi dasar yang nyata memberikan dampak pada masyarakat.
Pertumbuhan 5,04% tentu layak diapresiasi, tetapi jangan membuat kita terlena. Angka bisa naik, namun belum tentu mencerminkan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kekuatan dunia usaha.
Baca juga: Gaskeun! Setahun Prabowo-Gibran dan Ambisi Ekonomi 8 Persen, OTW Terjadi atau Ilusi?
Karena sejatinya, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 tidak bisa hanya bertumpu pada laporan statistik. Ia harus lahir dari kerja nyata para pelaku usaha yang berani membangun nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan menggerakkan sektor riil.
Sudah saatnya pengusaha Indonesia berkontribusi lebih jauh. Mendirikan dan membesarkan usaha yang halal, produktif, dan bebas dari riba, gharar serta dzalim adalah langkah konkret menuju pertumbuhan yang berkah.
Pertumbuhan sejati bukan ketika angka ekonomi naik, tetapi ketika setiap usaha tumbuh dengan niat baik, memberi manfaat, dan menebar keberkahan bagi banyak orang.






