artikel
14 September 2025
Adudu! Jual Beli Pre Order Gak Selalu Halal, Kenali 2 Akad Penentunya!
Di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat, banyak pelaku usaha mencari cara agar modal tetap aman dan produksi tidak sia-sia. Salah satu strategi yang banyak dipilih adalah sistem pre-order, di mana pesanan dikumpulkan terlebih dahulu sebelum barang dibuat.
Bagi penjual, sistem ini memberi kepastian jumlah produksi sejak awal. Bagi pembeli, ada rasa tenang karena barang yang dipesan diproses khusus sesuai permintaan. Sekilas, pre-order tampak sebagai solusi praktis yang menguntungkan kedua belah pihak.
Namun, dalam pandangan fikih muamalah, praktik seperti ini tidak serta-merta halal atau haram. Status hukumnya ditentukan oleh akad yang digunakan. Jika sesuai dengan prinsip jual beli syariah, maka pre order dibolehkan.
Sebaliknya, jika mengandung unsur ketidakjelasan atau gharar, maka praktiknya bisa bermasalah. Karena itu, memahami pre-order bukan hanya soal strategi bisnis, tetapi juga soal kesesuaian dengan syariat.
Apa Itu Pre order?
Pre-order adalah sistem di mana barang dipesan oleh pembeli tetapi belum tersedia karena masih memerlukan waktu untuk proses produksi. Menurutnya, Dafiqa dan Kosim (2019) menjelaskan bahwa sistem ini dapat meyakinkan pembeli untuk melakukan pemesanan, sebab barang yang dipesan dijamin pengirimannya dan prosesnya relatif tidak memakan waktu lama.
Baca juga: Tokcer! Auto Paham Akad Salam, Jual Beli Pre-Order Halal Gak Ribet Plus Berkah!
Selain itu, pelaku usaha bisa memantau jumlah pesanan yang masuk, menyesuaikan produksi sesuai permintaan awal, serta mengetahui batas minimal barang yang perlu dibuat. Dengan begitu, pre order bukan hanya strategi pemasaran, tetapi juga cara untuk mengelola produksi secara lebih efisien.
Pandangan Ustadz Erwandi Tarmizi Terkait Pre-Order
Banyak pelaku usaha, khususnya UMKM, menggunakan sistem pre order (PO) untuk mengamankan modal dan memastikan barang laku sebelum diproduksi. Menurut Ustadz Erwandi Tarmizi dalam buku Harta Haram (2021) dan kajian yang pernah beliau isi, hukum pre order tidak serta-merta haram atau halal begitu saja. Statusnya bergantung pada akad yang dipakai dalam transaksi.
Dua Jenis Akad dalam Sistem Pre Order
Dalam fikih muamalah, ada dua jenis akad yang bisa digunakan untuk sistem pre order:
1. Akad Istisna’
Digunakan untuk barang yang dibuat setelah dipesan, misalnya baju custom, makanan, atau produk manufaktur. Dalam akad ini, pembayaran bisa fleksibel: di awal, bertahap, atau di akhir sesuai kesepakatan.
2. Akad Salam
Dipakai untuk barang yang spesifikasinya sudah jelas, jumlah dan takaran pasti, serta waktu penyerahan disepakati. Syaratnya, pembayaran harus dilakukan penuh di muka. Contoh akad salam adalah pemesanan hasil pertanian atau buku cetakan baru.
Walaupun kedua akad ini dibolehkan, tetap ada prinsip kehati-hatian yang harus dijaga. Spesifikasi barang harus dijelaskan secara detail, waktu penyerahan harus dipenuhi tepat waktu, dan mekanisme pembayaran harus sesuai dengan jenis akad yang dipilih. Jika hal ini diabaikan, bisa muncul unsur gharar (ketidakjelasan) yang dilarang dalam Islam.
Tips Agar Pre-Order Halal
Agar sistem PO berjalan sesuai syariah, pelaku usaha tidak hanya perlu memahami akad salam dan istisna’, tetapi juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dalam praktiknya. Beberapa langkah berikut bisa menjadi panduan:
1. Spesifikasi Barang Harus Jelas
Jangan biarkan pembeli menebak-nebak. Cantumkan detail ukuran, warna, bahan, desain, hingga kualitas akhir produk. Semakin rinci spesifikasi, semakin kecil potensi munculnya sengketa di kemudian hari.
2. Waktu Penyerahan Disepakati dan Realistis
Janji penyerahan harus jelas, baik tanggal maupun periode pengiriman. Hindari memberi estimasi yang tidak realistis, karena keterlambatan bisa menimbulkan kerugian moral dan finansial sekaligus menyalahi akad.
3. Pembayaran Sesuai dengan Jenis Akad
Jika menggunakan akad salam, pembayaran harus dilakukan penuh di awal. Sebaliknya, pada akad istisna’, pembayaran boleh fleksibel: bisa di muka, bertahap, atau setelah barang selesai. Konsistensi pada aturan akad menjaga transaksi tetap halal.
Baca juga: Wajib Ngerti! Cara Mudah Paham Akad Jual Beli, No Riba Gharar Dzalim!
4. Transparansi dan Kejujuran dalam Informasi
Komunikasikan dengan jelas harga, ongkos kirim, estimasi produksi, serta risiko yang mungkin muncul. Keterbukaan akan membangun kepercayaan dan mencegah terjadinya kekecewaan di pihak pembeli.
5. Hindari Unsur Gharar dan Spekulasi
Jangan menjual barang yang belum jelas ada atau barang yang masih bergantung pada ketidakpastian, misalnya hasil panen yang belum tentu keluar. Hal ini bisa masuk ke dalam jual beli terlarang.
6. Dokumentasikan Kesepakatan
Walau sederhana, sebaiknya akad dicatat, entah melalui invoice, kontrak sederhana, atau pesan elektronik. Dokumentasi menjadi bukti bila ada perbedaan pendapat di kemudian hari.
7. Jaga Komitmen dan Amanah
Ingat bahwa PO adalah janji. Menepati komitmen adalah bagian dari etika bisnis Islam. Kegagalan memenuhi janji bisa masuk kategori dzalim terhadap hak pembeli.
Pre order sering dipakai UMKM untuk menjaga modal tetap aman. Sistem ini memberi kepastian bagi penjual dan rasa tenang bagi pembeli. Namun menurut fikih muamalah, status hukumnya bergantung pada akad. Bisa halal dengan akad istisna’ atau salam, tetapi bisa bermasalah jika mengandung gharar.
Baca juga: Clear Ya! Ini Pandangan Ustadz Erwandi Soal Dropship: Boleh atau Tidak?
Dengan memahami akad yang benar dan menjaga prinsip kehati-hatian, pre order bisa menjadi solusi halal. Spesifikasi barang harus jelas, waktu penyerahan realistis, harga transparan, dan komitmen dijaga. Pre order akhirnya bukan hanya strategi bisnis, tetapi juga bentuk integritas sesuai syariat.