artikel
3 September 2025
Tokcer! Auto Paham Akad Salam, Jual Beli Pre-Order Halal Gak Ribet Plus Berkah!
Pemesanan di awal atau Pre-Order (PO) adalah praktik yang sering dijumpai dalam jual beli. Dalam fikih muamalah, pola transaksi semacam ini dikenal dengan istilah akad salam, yaitu pembayaran penuh di awal sementara barang diserahkan belakangan sesuai waktu yang disepakati.
Akad ini memberikan manfaat ganda, baik bagi pembeli yang ingin kepastian barang maupun penjual yang membutuhkan modal lebih cepat. Untuk memahami lebih jauh, berikut ini penjelasan seputar akad salam.
Apa Itu Akad Salam?
Akad salam adalah salah satu bentuk transaksi jual beli yang diatur dalam fikih muamalah. Akad salam berlangsung ketika pembeli memesan barang dengan kriteria tertentu, kemudian membayar penuh di awal, sementara penyerahan barang dilakukan pada waktu yang disepakati di kemudian hari.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan bahwa akad salam adalah jual beli atas barang pesanan yang penyerahannya ditangguhkan, dengan syarat pembayaran dilakukan tunai pada majelis akad.
Sebagaimana dikutip dari Dimyauddin (2010) Ulama Malikiyah pun sependapat, bahwa akad salam merupakan transaksi di mana modal atau harga barang dibayarkan di muka, sedangkan barang baru diserahkan sesuai waktu yang sudah ditentukan.
Baca juga: Wajib Ngerti! Cara Mudah Paham Akad Jual Beli, No Riba Gharar Dzalim!
Sedangkan Rozalinda (2016) menambahkan, secara bahasa istilah salam digunakan di Hijaz, sedangkan di Irak disebut salaf. Keduanya bermakna sama, yakni mempercepat pembayaran dan menunda penyerahan barang. Karena itu, akad salam sering dipahami sebagai bentuk “jual beli pesanan” yang sah dan dibenarkan dalam Islam.
Dalil Al Quran dan Hadits Akad Salam
Praktik akad salam diperbolehkan dalam Islam karena memiliki dasar yang jelas dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama:
1. Dalil Al-Qur’an
Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 tentang pentingnya mencatat muamalah yang melibatkan tempo, sehingga transaksi dengan penyerahan barang belakangan dapat dilakukan dengan tertib dan jelas.
2. Hadis Nabi Muhammad ﷺ
Ibn Abbas meriwayatkan bahwa penduduk Madinah terbiasa melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka satu hingga dua tahun. Rasulullah ﷺ membenarkan praktik ini dengan syarat ukuran, timbangan, dan batas waktunya jelas (HR. Bukhari-Muslim).
3. Ijma’ Ulama
Ibnu Mundzir sebagaimana dikutip dari Muslich (2015) menyebutkan adanya kesepakatan ulama mengenai bolehnya akad salam, karena kebutuhan mendesak masyarakat seperti petani dan pedagang untuk memperoleh modal di awal agar usaha mereka bisa terus berjalan.
Syarat-Syarat Akad Salam
Syarat akad salam menjadi aspek penting agar akad salam sesuai dengan prinsip syariah. Syarat ini dibuat untuk menghindari keraguan, perselisihan, dan potensi gharar (ketidakjelasan).
1. Pembayaran harus dilunasi di awal
Harga barang wajib diserahkan penuh ketika akad berlangsung. Tidak boleh dicicil atau ditunda. Hal ini membedakan akad salam dengan jual beli biasa.
2. Barang menjadi tanggungan penjual
Setelah menerima pembayaran, penjual berkewajiban penuh untuk menyediakan barang sesuai janji. Jika barang tidak tersedia, penjual tetap bertanggung jawab.
3. Penyerahan barang pada waktu yang jelas
Kedua belah pihak harus sepakat kapan barang akan diberikan. Waktu tidak boleh samar atau mengandung keraguan. Misalnya, memesan buah yang tidak sedang musim dianggap tidak sah, karena tidak ada kepastian barang bisa tersedia.
4. Ukuran, takaran, atau jumlah barang harus jelas
Barang pesanan harus bisa ditakar, ditimbang, atau dihitung dengan satuan yang berlaku umum. Hal ini mencegah perbedaan tafsir mengenai banyaknya barang.
5. Spesifikasi barang terperinci
Jenis, kualitas, dan sifat-sifat barang wajib dijelaskan sedetail mungkin. Dengan begitu, pembeli tidak merasa dirugikan dan penjual memiliki acuan jelas dalam menyiapkan barang. Misalnya, menyebutkan warna, ukuran, atau jenis bahan yang dipesan.
6. Lokasi penyerahan ditentukan
Jika tempat akad tidak memungkinkan untuk menerima barang, maka harus ditetapkan tempat lain yang lebih sesuai. Hal ini penting agar distribusi dan penerimaan barang berjalan lancar.
7. Akad tidak boleh bersyarat
Dalam akad salam tidak berlaku khiyar syarat (opsi pembatalan dengan syarat tertentu). Setelah akad berlangsung, perjanjian mengikat penuh kedua belah pihak sehingga tidak ada ruang untuk pembatalan sepihak.
Rukun Akad Salam
Dalam hukum Islam, setiap transaksi hanya dianggap sah jika terpenuhi rukunnya. Begitu pula dengan akad salam, ada 5 unsur pokok yang tidak boleh terlewat:
1. Muslam (pembeli atau pemesan)
Pihak ini adalah orang yang membutuhkan barang tertentu dan bersedia membayar di awal untuk memastikan ketersediaan barang di kemudian hari. Muslam biasanya adalah konsumen atau pedagang yang ingin menjamin suplai sebagaimana dikutip dari Rasjid (2001).
2. Muslam ilaih (penjual atau penerima pesanan)
Yaitu pihak yang menerima pembayaran dan berkewajiban menyediakan barang sesuai spesifikasi yang telah disepakati. Muslam ilaih harus mampu menanggung kewajiban untuk menyerahkan barang tepat waktu.
3. Tsaman (modal atau harga)
Sejumlah uang yang dibayarkan oleh muslam pada saat akad berlangsung. Pembayaran harus jelas jumlahnya, dilakukan penuh, dan diterima langsung ketika perjanjian dibuat.
Baca juga: No Khianat! Bedah Akad Syirkah, Kerja Sama Halal Berkeadilan dan Berkah!
4. Muslam fiih (barang pesanan)
Objek yang menjadi bahan transaksi, baik berupa hasil pertanian, produk tertentu, atau komoditas lainnya. Barang tersebut harus bisa diukur, ditakar, ditimbang, atau dihitung jumlahnya.
5. Shighat (ijab dan qabul)
Pernyataan lisan atau bentuk kesepakatan lain yang menunjukkan adanya persetujuan kedua belah pihak. Tanpa adanya ijab dan qabul, akad tidak dianggap sah.
Perbedaan Jual Beli Salam dan Jual Beli Biasa
Meskipun akad salam termasuk dalam kategori jual beli, mekanisme dan aturannya memiliki perbedaan mendasar jika dibandingkan dengan transaksi jual beli biasa. Secara umum, rukun dan syarat jual beli tetap berlaku, namun ada ketentuan khusus yang membuat akad ini berbeda.
1. Penetapan waktu penyerahan barang
Dalam akad salam, waktu pengiriman atau penyerahan barang harus disepakati sejak awal. Sedangkan dalam jual beli biasa, barang umumnya langsung diserahkan tanpa perlu menentukan tenggat waktu tertentu.
2. Barang belum dimiliki penjual
Pada jual beli biasa, penjual hanya boleh menjual barang yang sudah ada dalam kepemilikannya. Berbeda dengan akad salam, penjual diperbolehkan menjual barang yang belum ada, selama spesifikasinya jelas dan dapat diproduksi atau disediakan kemudian.
3. Kualitas dan kuantitas harus terperinci
Akad salam hanya sah untuk barang yang bisa ditakar, ditimbang, atau diukur secara detail. Hal ini untuk memastikan tidak ada keraguan dalam transaksi. Sementara pada jual beli biasa, barang apa pun yang halal dan bisa dimiliki dapat dijual, asalkan sesuai dengan ketentuan syariat.
4. Pembayaran di muka
Dalam akad salam, harga harus dilunasi penuh pada saat akad dilakukan. Sedangkan dalam jual beli biasa, pembayaran bisa dilakukan di muka, ditunda, atau bersamaan dengan penyerahan barang.
Contoh Akad Salam dalam Praktik
Untuk lebih memahami, berikut beberapa contoh akad salam yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari:
1. Pertanian: Seorang pembeli membayar di awal kepada petani untuk memesan 1 ton beras dengan kualitas premium. Barang akan diserahkan tiga bulan kemudian setelah masa panen tiba.
2. Perdagangan hasil bumi: Sebuah koperasi memesan 500 kilogram kopi arabika dari petani dengan spesifikasi biji tertentu. Pembayaran dilakukan saat akad, dan barang dikirim enam bulan kemudian.
3. UMKM: Sebuah perusahaan katering memesan 1.000 kotak kemasan plastik khusus dari produsen lokal dengan syarat ukuran dan kualitas tertentu. Uang dibayar lunas di awal, sedangkan barang dikirim sebulan kemudian.
Baca juga: Halal dan Berkah! Kenali Dana Syariah dan Manfaatnya bagi Pelaku Usaha
Akad salam adalah bukti bahwa Islam memberikan ruang bagi transaksi yang adil dan bermanfaat, baik untuk pembeli maupun penjual. Pembeli mendapatkan kepastian barang, sementara penjual memperoleh modal lebih cepat. Semua ini dilandasi aturan syariah yang jelas dari Al-Qur’an, hadis, dan ijma’ ulama.