berita
12 September 2025
Ninuninu! 7 Desakan Darurat Ekonomi untuk Prabowo, Jangan Tunggu Indonesia Bubar!
“Ekonomi kita sedang sakit parah.” Begitu kira-kira perasaan banyak orang ketika mendengar kabar bahwa ratusan ekonom Indonesia bersatu menyuarakan kondisi darurat ekonomi. Ini bukan sekadar headline media, melainkan realitas yang terasa sehari-hari.
Aliansi Ekonom Indonesia, yang menghimpun 383 ekonom dan 283 pemerhati ekonomi, baru saja mengeluarkan peringatan keras. Dikutip dari Detik Finance pada Jumat (12/9/2025), mereka menilai perekonomian Indonesia berada di titik rawan, sebuah kondisi yang lahir dari akumulasi kebijakan yang keliru dan praktik bernegara yang jauh dari amanah.
Baca juga: Boom! 5 Arah Ekonomi Pasca Reshuffle Kabinet yang Bikin Investor Kalang Kabut!
Dampaknya, ketidakadilan sosial melebar dan masyarakat kecil kian terhimpit. Menyadari situasi genting ini, ratusan ekonom yang tergabung dalam aliansi sepakat mendesak pemerintah melakukan reformasi mendasar agar ekonomi Indonesia kembali ke jalur yang seharusnya, yakni menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
7 Desakan Darurat Ekonomi
Para ekonom tidak hanya mengeluh, mereka menawarkan jalan keluar. Inilah tujuh desakan yang mereka yakini bisa menyelamatkan arah Ekonomi Indonesia 2025.
1. Anggaran untuk rakyat, bukan sekadar proyek populis
Aliansi menyoroti misalokasi anggaran sebesar Rp1.414 triliun yang dinilai terlalu banyak tersedot untuk program populis. Program seperti makan gratis, hilirisasi, subsidi energi, hingga koperasi desa disebut mengorbankan kebutuhan mendasar.
Padahal, pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan guru serta tenaga medis justru membutuhkan dukungan lebih besar agar kualitas hidup masyarakat meningkat.
2. Bebaskan lembaga dari intervensi politik
Institusi negara seperti BI, BPS, BPK, DPR, dan KPK seharusnya berdiri independen. Namun, realitasnya, intervensi politik kerap membuat keputusan mereka bias kepentingan.
3. Hentikan dominasi negara dalam bisnis
Keterlibatan BUMN, TNI, Polri, bahkan Danantara yang terlalu besar dinilai mematikan pasar kerja lokal, UMKM, dan sektor swasta. Ekonomi butuh kompetisi sehat, bukan monopoli terselubung.
4. Sederhanakan aturan dan birokrasi
Perizinan berlapis, kuota impor yang diskriminatif, hingga aturan perdagangan distortif hanya membuat dunia usaha sesak napas. Solusinya jelas: permudah, sederhanakan, dan basmi praktik ilegal.
5. Atasi ketimpangan yang semakin lebar
Bansos harus tepat sasaran agar benar-benar menyentuh kelompok yang paling rentan. Subsidi energi lebih baik dialihkan menjadi bantuan tunai yang langsung diterima masyarakat, sehingga manfaatnya lebih terasa.
Baca juga: Mantap King! Ini Jurus Prabowo Bawa Indonesia Jadi Negara Superpower!
Di saat yang sama, UMKM perlu diberdayakan dengan akses modal dan pendampingan usaha yang berkelanjutan. Tak kalah penting, ancaman baru seperti judi online lintas negara harus diberantas karena merusak ekonomi rakyat dan menambah beban sosial.
6. Kebijakan berbasis bukti, bukan janji populis
Program makan gratis, koperasi desa, hingga hilirisasi yang terburu-buru disebut merusak fiskal. Ekonomi butuh kebijakan teknokratis yang tahan uji, bukan sekadar populer di panggung politik.
7. Bangun kepercayaan lewat tata kelola yang bersih
Reformasi institusi, pemberantasan rente, dan penegakan demokrasi adalah fondasi agar rakyat percaya lagi pada negara dan investor mau menanam modal dengan tenang.
Harapan untuk Ekonomi Indonesia?
Apakah masih ada harapan? Tentu saja. Selama ada kesadaran kolektif dan reformasi kebijakan yang berani, Indonesia bisa bangkit. Ekonomi Indonesia 2025 seharusnya bukan tentang krisis dan kegagalan, melainkan tentang keberanian kita memperbaiki arah.
Seperti yang ditegaskan Lili Yan Ing, reformasi ekonomi bukan pilihan, tapi kewajiban. Kita perlu kembali ke kebijakan berbasis bukti, menciptakan lapangan kerja berkualitas, dan memastikan rakyat hidup layak.
Baca juga: Bocor Alus! Cek Fakta Indonesia Bubar 2030 Karena Utang, Nyata atau Hoaks Belaka?
Darurat ekonomi ini adalah wake-up call bagi kita semua. Tidak hanya untuk pemerintah, tapi juga untuk masyarakat yang ingin terlibat aktif mengawasi, mendukung, sekaligus mengkritisi arah kebijakan. Karena pada akhirnya, ekonomi bukan soal angka di laporan APBN, tapi soal apakah rakyat bisa makan dengan tenang, berobat dengan layak, dan bekerja dengan bermartabat.