artikel
26 Februari 2025
Awas! Ini Hukum Gelatin Babi & Alkohol dalam Islam (Bagian Ketiga)
Gelatin dan alkohol adalah dua bahan yang banyak digunakan dalam industri pangan, farmasi, dan kosmetik, namun status kehalalannya dalam Islam masih menjadi perdebatan. Gelatin yang berasal dari babi sering digunakan karena lebih murah dan mudah diperoleh, tetapi dalam Islam, babi dan seluruh bagiannya dianggap najis dan haram.
Begitu pula dengan alkohol, yang dalam Islam dikategorikan sebagai khamar jika memiliki sifat memabukkan. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai penggunaan alkohol dalam produk non-konsumsi, seperti obat dan parfum, sehingga umat Muslim perlu memahami batasan penggunaannya sesuai syariat.
Baca juga: Bahaya Najis dalam Bisnis: Gak Berkah dan Bikin Harta Haram! (Bagian Pertama)
Untuk memahami lebih dalam hukum gelatin babi dan alkohol dalam fikih muamalah, penting bagi kita untuk merujuk pada sumber yang kredibel dan berbasis dalil syar’i. Salah satu rujukan utama yang dapat dikaji adalah buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (2017) karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Buku ini membahas secara detail berbagai isu terkait halal-haram dalam transaksi dan konsumsi, termasuk penggunaan bahan yang masih diperdebatkan dalam Islam. Mari kita telusuri lebih lanjut pembahasannya berdasarkan kajian Fikih Muamalah dan fatwa ulama untuk mendapatkan jawaban yang jelas dan terperinci.
Apa Itu Gelatin Babi?
Gelatin adalah protein yang diperoleh melalui hidrolisis kolagen yang secara alami terdapat pada tulang, kulit, dan jaringan hewan seperti sapi, ikan, dan babi. Dalam industri makanan dan farmasi, gelatin banyak digunakan sebagai bahan pembentuk tekstur, pengental, atau penstabil pada berbagai produk seperti permen lunak, jeli, es krim, susu formula, roti, daging olahan, dan minuman berbasis susu.
Di antara berbagai sumber gelatin, gelatin yang berasal dari babi merupakan yang paling banyak digunakan dalam industri karena lebih murah dan lebih mudah diperoleh dibandingkan gelatin dari sumber lain. Namun, bagaimana hukum penggunaannya dalam Islam?
Dalam Islam, kehalalan suatu zat sering dikaitkan dengan asal-usulnya. Salah satu konsep yang dibahas dalam fikih adalah istihalah, yaitu perubahan suatu zat najis menjadi zat baru yang berbeda sifatnya. Jika perubahan ini terjadi secara sempurna, maka zat yang awalnya najis bisa menjadi suci dan halal. Terkait gelatin babi, terdapat dua pendapat utama dalam fikih Islam:
Pendapat Pertama
Pendapat ini dianut oleh mazhab Hanafi dan Maliki, yang menyatakan bahwa jika suatu zat najis telah mengalami perubahan total menjadi zat baru yang berbeda sifatnya, maka zat tersebut dianggap suci dan halal. Contohnya, jika seekor babi jatuh ke dalam tambak garam dan berubah menjadi garam, maka garam tersebut tetap halal karena sifat asalnya telah hilang.
Pendapat Kedua
Pendapat ini dianut oleh mazhab Syafi’i dan Hambali, yang menegaskan bahwa zat yang berasal dari sesuatu yang haram tetap haram, meskipun mengalami perubahan bentuk. Dengan kata lain, gelatin yang berasal dari babi tetap dianggap najis dan tidak boleh dikonsumsi karena zat asalnya tetap bisa dideteksi melalui uji laboratorium.
Pendapat yang mengharamkan gelatin babi ini juga didukung oleh fatwa dari berbagai lembaga fikih internasional, seperti:
- Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (OKI) Tahun 1986, Keputusan No.23(11/3)
- Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamy (Mekkah) Tahun 1998, Keputusan No.3
- Fatwa Dewan Ulama Saudi Arabia, No. 8038
Mengingat perbedaan pendapat ini, seorang Muslim dianjurkan untuk memilih jalan yang lebih aman dengan menghindari produk yang mengandung gelatin babi, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ:
"Tinggalkanlah hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan."
(HR. Tirmidzi dan Nasa’i, Tirmidzi berkata: Sanad hadis ini hasan shahih)
Hukum Vaksin yang Mengandung Gelatin Babi
Salah satu pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana hukum penggunaan vaksin yang mengandung gelatin babi, seperti vaksin meningitis yang menjadi persyaratan wajib bagi jamaah haji dan umrah.
Secara umum, vaksin yang mengandung gelatin babi tetap dianggap najis dan haram. Namun, dalam kondisi darurat, hukumnya bisa berubah. Jika tidak ada alternatif lain dan vaksin tersebut sangat diperlukan untuk mencegah penyakit yang mengancam jiwa, maka penggunaannya diperbolehkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam QS. Al-An’am: 119:
"Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali dalam keadaan terpaksa kamu memakannya."
Namun, jika terdapat alternatif halal, seperti vaksin berbasis gelatin sapi, maka lebih baik memilih opsi yang lebih sesuai dengan prinsip syariah.
Hukum Alkohol dalam Islam
Alkohol adalah senyawa kimia yang ditemukan dalam berbagai produk seperti minuman, obat-obatan, parfum, dan makanan. Jenis-jenis alkohol yang umum dikenal antara lain:
- Ethanol, yang menjadi bahan utama dalam minuman beralkohol.
- Methanol, yang digunakan dalam industri tetapi beracun jika dikonsumsi.
- Isopropil, yang digunakan sebagai antiseptik dan bahan pembersih.
Apakah Alkohol Sama dengan Khamar?
Dalam Islam, khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah alkohol tergolong khamar.
Pendapat pertama menyatakan bahwa alkohol sama dengan khamar, sehingga segala sesuatu yang memabukkan dalam jumlah besar, meskipun dalam jumlah kecil, tetap haram. Pendapat ini didukung oleh Fatwa Dewan Ulama Saudi Arabia No. 8684:
"Segala sesuatu yang bila diminum dalam jumlah besar mengakibatkan mabuk maka zat tersebut dinamakan khamar, baik dalam jumlah sedikit ataupun banyak." (Fatwa Dewan Ulama Saudi Arabia No. 8684)
Pendapat kedua menyatakan bahwa tidak semua jenis alkohol tergolong khamar. Beberapa ulama seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa alkohol yang tidak memabukkan dan hanya digunakan untuk kebutuhan industri atau medis tidak termasuk dalam kategori khamar.
Namun, dalam hadis Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram:
"Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram." (HR. Muslim)
Alkohol juga dapat ditemukan dalam makanan dan minuman akibat fermentasi alami, seperti:
- Roti yang mengandung ragi
- Jus buah yang mengalami fermentasi
- Susu fermentasi dengan kadar alkohol kecil
Karena kadar alkoholnya sangat kecil dan tidak memabukkan, makanan ini tetap halal berdasarkan hadis:
"Sesuatu yang memabukkan dalam jumlah besar, maka hukumnya haram meskipun dalam jumlah kecil."
(HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani)
Namun, jika suatu makanan atau minuman sengaja dicampur alkohol dalam proses produksinya, maka hukumnya haram.
Hukum Penggunaan Alkohol dalam Obat dan Parfum
Jika alkohol hanya digunakan sebagai bahan tambahan, seperti pelarut atau pengawet dalam obat-obatan, dan tidak menyebabkan mabuk, maka penggunaannya diperbolehkan. Namun, jika alkohol dalam obat bersifat memabukkan, maka hukumnya tetap haram.
Sebagian ulama membolehkan parfum yang mengandung alkohol jika tidak dikonsumsi. Namun, Dewan Ulama Saudi Arabia melarang penggunaan parfum dengan kadar alkohol tinggi yang berpotensi memabukkan.
Baca juga: Hati-Hati! Ini Hukum Jual Beli Kulit dan Protein Plasma Darah Hewan (Bagian Kedua)
Kesimpulannya, jika alkohol dalam parfum sudah terurai dan tidak berpengaruh, maka parfum tersebut boleh digunakan. Namun, jika kandungan alkoholnya tinggi dan dapat memabukkan, maka hukumnya haram.
Sebagai seorang Muslim, menghindari produk yang masih diragukan kehalalannya adalah sikap terbaik, sebagaimana hadis Nabi Muhammad ﷺ:
"Tinggalkanlah hal yang meragukan kepada hal yang tidak meragukan." (HR. Tirmidzi & Nasa’i)
Dengan pemahaman ini, kita dapat lebih berhati-hati dalam memilih makanan, obat-obatan, dan produk sehari-hari agar tetap sesuai dengan prinsip syariah.