artikel
1 Agustus 2025
Mau Belanja? Pahami Hukum Transaksi Jual Beli Online, Gak Ngerti Bisa Celaka! (Bagian Keempat)
Kemajuan teknologi informasi telah merambah berbagai aspek kehidupan, termasuk di bidang perdagangan. Kini, berbagai jenis transaksi dapat dilakukan dengan mudah melalui media telepon dan internet seperti jual beli barang dan jasa, penukaran mata uang, penarikan uang tunai, hingga pengiriman uang. Namun, bagaimana syariat Islam menyikapi fenomena jual beli online atau belanja online yang kian marak?
Untuk menjawabnya, mari kita pelajari bersama melalui fiqih muamalah yang dijelaskan dalam buku Harta Haram karya Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA.
Transaksi Tunai dan Ketentuan Syariat
Para ulama sepakat bahwa transaksi yang disyaratkan tunai serta serah terima barang dan uang tidak dibenarkan jika dilakukan melalui media telepon atau internet. Salah satu contohnya adalah jual beli emas dan perak. Membeli emas secara online dengan cara mentransfer uang terlebih dahulu ke rekening penjual, lalu emas dikirimkan beberapa waktu kemudian, termasuk dalam praktik riba nasi'ah dan hukumnya tidak sah.
Namun, ada pengecualian. Jika objek yang diperjualbelikan dapat diserahterimakan saat itu juga, seperti penukaran mata uang asing melalui ATM, maka hukumnya boleh dan tidak termasuk riba.
Ilustrasi
Seseorang memiliki tabungan dalam bentuk rupiah di salah satu bank di Indonesia. Ketika berada di luar negeri dan membutuhkan uang dolar Amerika, ia menarik uang dalam bentuk dolar dari ATM bank tersebut. Transaksi ini dibolehkan karena yang terjadi adalah penukaran uang rupiah dengan dolar secara tunai, berdasarkan kurs hari itu. Hukum ini sesuai dengan keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (divisi fikih OKI) No. 52 (3/6) tahun 1990.
Ketentuan Fiqih untuk Hukum Jual Beli Online
Untuk barang-barang yang tidak disyaratkan serah terima tunai seperti pakaian, alat rumah tangga, dan kebutuhan sehari-hari, jual beli online dapat dibenarkan secara fiqih. Transaksi ini bisa dikategorikan sebagai jual beli melalui surat menyurat, di mana ijab dan qabul tidak dilakukan secara langsung tetapi tetap sah menurut syariat.
Jual beli online memang belum dikenal di zaman Rasulullah ﷺ, namun Islam memiliki prinsip-prinsip umum yang dapat diterapkan. Keputusan Majma’ Al-Fiqh Al-Islami menyebutkan:
Baca juga: Waspada! 10+ Transaksi Gharar yang Batil dan Bikin Harta Haram! (Bagian Ketiga)
“Apabila akad terjadi antara dua orang yang berjauhan, tidak berada dalam satu majelis, dan media antara mereka adalah tulisan, surat, orang suruhan, faksimili, teleteks, atau internet, maka akad dianggap sah dengan sampainya ijab dan qabul kepada masing-masing pihak.”
Mekanisme Ijab Qabul dalam Situs dan Aplikasi Belanja Online
Dalam konteks situs belanja online atau aplikasi belanja online, penyedia aplikasi permohonan barang oleh penjual dianggap sebagai ijab, sementara pengisian dan pengiriman form oleh pembeli dianggap sebagai qabul. Setelah itu, pembeli mentransfer uang ke rekening penjual, dan barang dikirim menggunakan jasa ekspedisi.
Transaksi semacam ini dikenal sebagai Ba’i Al-Ghaib ala Ash-Shifat, yaitu jual beli barang yang tidak dihadirkan dalam majelis akad tetapi telah dijelaskan secara rinci melalui deskripsi dan gambar. Ini menjadi praktik umum dalam jual beli online saat ini.
Dalam praktiknya, pemilik situs jual beli online dapat dibedakan menjadi beberapa kategori yaitu pemilik barang langsung, yang menjual barang miliknya sendiri dan tidak memiliki barang.
Hukum Pengelola Situs Jual Beli Online dalam Fiqih Muamalah
Dalam praktik jual beli online, pemilik atau pengelola situs belanja online memiliki peran berbeda-beda tergantung pada status kepemilikannya terhadap barang. Dalam fiqih muamalah, hal ini dikaji secara mendalam, salah satunya dalam kasus Ba’i Ghaib ala Ash Shifat, yaitu jual beli barang yang tidak disaksikan langsung saat akad. Para ulama memiliki pandangan berbeda mengenai keabsahannya.
1. Pemilik Situs Jual Beli Online Juga Pemilik Barang
Jika pemilik aplikasi jual beli online atau situs belanja online benar-benar memiliki barang yang ia tampilkan di platform-nya, maka para ulama berbeda pendapat tentang sah atau tidaknya akad jual belinya. Perbedaan ini bersumber dari perbedaan mereka dalam menilai hukum Ba’i Ghaib ala Ash Shifat.
Pendapat pertama, yang merupakan pendapat mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa jual beli barang yang tidak disaksikan secara langsung pada saat akad, meskipun barangnya ada, hukumnya tidak sah. Pendapat ini berlandaskan pada hadis Nabi Muhammad ﷺ:
“Rasulullah melarang jual beli gharar.” (HR. Muslim)
Tanggapan atas pendapat ini menyatakan bahwa tidak benar Ba’i Ghaib ala Ash Shifat termasuk dalam kategori gharar. Sebab, kejelasan barang bisa dicapai melalui penglihatan langsung atau melalui penjelasan spesifikasi secara rinci seperti deskripsi, gambar, atau video. Hal ini diperkuat oleh ayat Al-Qur’an:
“Maka datanglah kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya.” (Al-Baqarah: 89)
Dalam ayat ini, Allah ﷻ menghukumi kafir Bani Israil karena mengingkari kebenaran Nabi Muhammad ﷺ, padahal mereka hanya mengenalnya melalui penjelasan dalam Taurat, bukan melalui perjumpaan langsung. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan dari penjelasan sama nilainya dengan menyaksikan langsung.
Baca juga: Gharar Itu Haram? Simak Dulu Disini Biar Gak Salah Paham (Bagian Kedua)
Pendapat kedua, yang merupakan pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, menyatakan bahwa Ba’i Ghaib ala Ash Shifat hukumnya sah, selama barang yang dijual adalah halal dan tidak mengandung unsur haram. Pendapat ini dianggap lebih kuat, karena tidak ada dalil yang secara eksplisit mengharamkan jual beli seperti ini.
2. Pemilik Situs Belanja Online Bertindak sebagai Wakil (Agen)
Jika pemilik situs jual beli online atau aplikasi belanja online telah menjalin kesepakatan dengan pemilik barang untuk menjualkannya atas nama pemilik barang dan menerima komisi dari setiap penjualan, maka statusnya adalah wakil (agen).
Secara syariat, jual beli online semacam ini sah dan halal, karena agen memiliki kedudukan yang sama dengan pemilik barang. Hal ini didukung oleh hadits dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu:
“Aku hendak pergi menuju Khaibar, lalu aku mendatangi Rasulullah ﷺ. Aku mengucapkan salam kepada beliau dan berkata, 'Aku ingin pergi ke Khaibar.' Maka Nabi bersabda, 'Jika engkau bertemu dengan wakilku di Khaibar, ambillah darinya 15 wasaq kurma. Jika ia meminta bukti bahwa engkau adalah wakilku, letakkanlah tanganmu di tulang bawah lehernya.'” (HR. Abu Daud. Sanad hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar)
3. Pemilik Situs Jual Beli Online Bukan Pemilik Barang dan Bukan Agen
Jika pemilik situs belanja online tidak memiliki barang dan juga bukan wakil dari pemilik barang, maka jual beli online seperti ini hukumnya tidak sah menurut kesepakatan para ulama. Sebab, penjual menjual barang yang bukan miliknya dan belum dijamin ketersediaannya.
Akad seperti ini mengandung unsur gharar, karena pada saat akad berlangsung, penjual belum bisa memastikan apakah barang tersebut tersedia dan bisa dikirim kepada pembeli.
Hal ini merujuk pada sabda Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu:
“Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, padahal barang itu tidak ada padaku. Bolehkah aku menjualnya, lalu aku beli barang tersebut dari pasar? Maka Nabi bersabda, 'Jangan engkau jual sesuatu yang belum engkau miliki.'” (HR. Abu Daud. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani)
Solusi Syar'i dalam Jual Beli Online
Agar praktik jual beli online menjadi sah secara syariat, pemilik situs atau aplikasi belanja online dapat mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Memberi tahu calon pembeli bahwa pengisian formulir permohonan barang belum termasuk akad ijab qabul.
2. Setelah permohonan dikirim, pemilik situs tidak langsung menganggap terjadi akad jual beli.
3. Pemilik situs terlebih dahulu membeli dan menerima barang dari pemilik asli.
4. Setelah barang benar-benar tersedia, baru ia menjawab permohonan pembeli dan meminta pembayaran.
5. Setelah pembayaran diterima, barang dikirim ke pembeli.
Untuk menghindari kerugian akibat pembeli membatalkan pesanan saat masa tunggu, pemilik situs dapat mensyaratkan kepada pemilik barang bahwa ia berhak mengembalikan barang dalam waktu 3 hari. Hal ini dikenal dalam fiqih sebagai khiyar syarat. Jika seluruh langkah ini diikuti, maka jual beli online menjadi sah dan keuntungannya halal.
Pembahasan mengenai jual beli online dalam perspektif fiqih muamalah menegaskan pentingnya memahami akad dan status kepemilikan dalam setiap transaksi. Di tengah perkembangan teknologi dan digitalisasi ekonomi, umat Islam tetap bisa bertransaksi dengan aman, halal, dan sesuai syariat.
Baca juga: Fix Bahaya! Kupas Tuntas Gharar, Akad Gak Jelas Bisnis Jadi Was-Was (Bagian Pertama)
Untuk Anda yang ingin ikut serta dalam kegiatan ekonomi halal berbasis digital, LBS Urun Dana adalah pilihan tepat.
LBS Urun Dana merupakan platform securities crowdfunding berizin OJK yang fokus pada investasi halal dan pendanaan syariah. Anda bisa mulai berinvestasi di berbagai proyek bisnis melalui sukuk dan saham, hanya dengan modal awal Rp500 ribu. Di sisi lain, para pelaku usaha juga dapat mengakses pendanaan syariah hingga Rp10 miliar untuk pengembangan bisnisnya.
Seluruh proses dilakukan secara transparan, diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah, dan dirancang untuk membangun ekosistem keuangan halal yang kuat di Indonesia. Kini, berinvestasi secara syariah bukan hanya mungkin tetapi mudah, terjangkau, dan amanah. Mulai perjalanan finansial halal Anda di LBS Urun Dana.