artikel
5 Februari 2025
Bahaya Najis dalam Bisnis: Gak Berkah dan Bikin Harta Haram! (Bagian Pertama)
Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin memberikan panduan lengkap dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan. Melalui Fikih Muamalah, umat Muslim dianjurkan untuk menjalankan transaksi yang tidak hanya adil dan transparan, tetapi juga sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.
Etika perdagangan dalam Islam mencakup banyak aspek, mulai dari kejujuran, tanggung jawab, hingga aturan mengenai barang yang boleh atau tidak boleh diperjualbelikan. Salah satu prinsip penting dalam Fikih Muamalah adalah hukum jual beli barang yang mengandung unsur najis.
Isu ini perlu diperhatikan karena menjaga kesucian transaksi serta melindungi umat dari barang-barang yang tidak membawa manfaat dan malah menimbulkan mudarat. Mari belajar bersama mengenai jual beli yang mengandung unsur najis.
Apakah Sah Akad Jual Beli Najis?
Pertama-tama kita pahami dulu bagaimana pandangan Islam mengenai jual beli najis. Allah Ta’ala memerintahkan kita agar membersihkan diri dan pakaian mereka dari segala najis, sebagai dalam Surat Al Mudatsir ayat 1-4 yang artinya:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangulah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu agungkanlah! Dan pakaianmu bersihkanla”. (Al Mudatsir: 1- 4)
Dalam ayat tersebut, maka hukum asal najis adalah harta haram, dan harus dijauhkan oleh umat Islam. Sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad ﷺ yang diriwayatkan oleh Abu Daud.
Baca juga: Hukum Jual Beli karena Terpaksa, Halal atau Haram?
“Allah Ta’ala mengutuk umat Yahudi, Allah Ta’ala telah mengharamkan mereka memakan gajih hewan ternak, lalu mereka jual gajih tersebut, dan mereka makan uang hasil penjualannya, sesungguhnya Allah Ta’ala bila mengharamkan memakan sesuatu, berarti Allah Ta’ala mengharamkan juga uang hasil penjualan”. (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer (2021), ditegaskan kembali kalau akad jual beli najis tidak sah dan haram, karena salah satu syarat sah jual beli tidak terpenuhi yaitu barang yang menjadi objek jual beli haruslah suci.
Dengan demikian akad jual beli tidak sah dan perpindahan barang dan uang tidak halal. Maka pihak yang menerima uang wajib mengembalikan uang tersebut.
Hukum Mengolah Najis
Namun, ada catatan dan kondisi tertentu yang harus dipahami. Mengenai konteks bisnis instalasi pengolahan lumpur tinja menjadi pupuk organik yang siap dipasarkan, bagaimana hukumnya?
Hukum menjual najis sekalipun telah diolah menggunakan biaya tetap diharamkan. Merujuk pada sabda Nabi Muhammad ﷺ saat penaklukan kota Mekkah yang artinya:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengharamkan menjual arak, bangkai babi dan berhala”. Seorang sahabat bertanya, “Bagaimana dengan gajih bangkai yang dicairkan lalu digunakan untuk mencat perahu dioleskan ke kulit (pelembab kulit) dan sebagai minyak lampu? Nabi ﷺ bersabda, “Hukum menjualnya haram, Allah Ta’ala telah mengutuk orang Yahudi karena Allah Ta’ala mengharamkan mereka memakan gajih hewan ternak, lalu gajih tersebut mereka cairkan dan mereka jual, kemudian uang hasil penjualannya mereka gunakan untuk membeli makanan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bagaimana hukumnya bila pengelola tinja meminta biaya upah pengolahan tanpa mengambil keuntungan?
Wallahu a’lam, hukumnya boleh karena menarik biaya pengolahan sama artinya dengan pihak yang membutuhkan najis meminta seseorang untuk mengambil tinja, mengumpulkannya, lalu mengolahnya sehingga layak digunakan sebagai pupuk, dan orang yang telah melakukan kerja tadi berkah mendapat upah.
Baca juga: 4 Bahaya Tidak Bayar Zakat: Zalim hingga Harta Jadi Haram!
Akad ini disepakati keabsahannya, karena akad ini adalah akad ijarah (upah/jasa) dan bukan akad jual-beli. Pada akad ijarah tidak ada persyaratan bahwa objek kerja harus suci.
Walaupun selintas terlihat sama bentuknya antara menjual najis olahan dan meminta upah biaya pengolahan, tetapi pada hakikatnya terdapat perbedaan antara menjual dan meminta upah. Dalam akad jual-beli penjual berhak mendapat keuntungan sesuai kesepakatan penjual dan pembeli.
Bentuk-bentuk Najis yang Haram Diperjualbelikan
Larangan najis dalam transaksi jual beli sangat ketat dalam Islam, dan mendetail seperti bentuk-bentuk najis. Terdapat sejumlah najis dan konteks jual beli yang harus dimengerti, supaya tidak terjebak dalam harta haram.
1. Tinja
Secara umum, tinja atau kotoran manusia adalah najis yang haram dalam transaksi jual beli. Namun bagaimana hukumnya menjual buah atau sayur yang memakai pupuk tinja dalam proses penanamannya?
Seperti diketahui kalau sebagian petani menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman, karena sangat bagus untuk segala jenis tanaman mengingat kandungan nitrogen, fosfor dan kalium yang tinggi di antara seluruh pupuk organik. Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal ini.
Pendapat ulama mazhab Hanbali: Perbuatan itu diharamkan karena tanaman tersebut tercemar najis dari pupuk tinja. Solusinya harus dibersihkan dengan cara diberi pupuk dan air bersih selama beberapa hari sebelum dipanen dan dijual.
Pendapat ulama dari mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i: Para ulama dari mazhab tersebut membolehkan pemberian pupuk najis dan penyiraman tanaman menggunakan air najis dan buah tanaman tersebut hukumnya halal, serta uang hasil penjualannya halal. Merujuk pada dalil Allah Ta’ala yang artinya berikut:
“Dia-lah Allah Ta’ala yang telah menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (Al Baqarah: 29)
Ayat di atas menjelaskan bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah Ta’ala di atas bumi ini halal untuk manusia termasuk tanam-tanaman, kecuali tanaman tersebut diharamkan oleh Allah Ta’ala.
Meski demikian pastikan pupuk kandang atau pupuk dari kotoran hewan bukan kategori hewan najis misalnya pupuk dari kotoran hewan anjing dan babi. Pupuk dari kedua hewan tersebut adalah haram.
Kasus lainnya ikan yang diberi pakan atau tercemar najis. Di pedesaan banyak didapati kolam-kolam ikan yang berfungsi ganda, yakni menjadi tempat pembuangan tinja atau septic tank. Bahkan kondisi tersebut membuat ikan dan hewan ternak yang diberi pakan najis seperti tinja, bau daging hewan tersebut tidak normal atau yang disebut dengan jallalah. Bagaimana hukumnya?
Pendapat ulama mazhab Hambali: Ulama mengharamkan hewan tersebut karena hewan ini tercemar najis yang menyebabkannya tidak halal dimakan, dengan demikian jual belinya tidak sah.
Pendapat ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i: Hewan jallalah halal, karena hukum asal setiap benda adalah halal kecuali bila terdapat larangan.
Sebenarnya hewan jallalah bisa dibersihkan dengan cara dikarantina terlebih dahulu sebelum dikonsumsi dengan air pakan yang bebas najis dan air bersih. Durasinya berbeda-beda. Ada yang berpendapat selama 3 hari, tetapi ada juga yang berpendapat kalau ikan dan ayam 3 hari sedangkan sapi dan unta selama 40 hari.
2. Bangkai
Bangkau adalah hewan darat yang mati tanpa disembelih atau dibunuh dengan cara yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Adapun bangkai yang hidup di darat dan mengalir darahnya saat dipotong bagian tubuhnya disepakati oleh para ulama bahwa hukumnya najis, sebagaimana dalam potongan Surat Al Maidah ayat 3 yang artinya:
“Diharamkan bagimu bangkai”. (Al Maidah 3)
Terdapat sejumlah kriteria mengenai bangkai hewan, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap hukum halal dan haram hewan tersebut.
a. Hewan yang mati tanpa diputuskan urat saluran pernafasan dan urat saluran makanan: Misalnya hewan mati karena sakit, tertimpa benda berat, terluka, jatuh dll hukumnya haram.
b. Hewan ternak yang disembelih tanpa mengucapkan “bismillah” dengan sengaja: Mayoritas ulama menghukumi hewan ternak tersebut sebagai bangkai sehingga haram dimakan maupun dijual.
Baca juga: Awas! Ini 5 Bahaya Memakan Harta Haram, Bikin Doa Sulit Terkabul
c. Hewan yang Disembelih oleh Non-Muslim: Mayoritas ulama menilai kalau hewan tersebut termasuk bangkai sehingga haram untuk dimakan.
3. Penjagalan Hewan dengan Cara Modern
Seiring dengan berkembangnya zaman, penjagalan hewan terus beradaptasi dengan teknologi modern. Namun harus dipastikan juga apakah proses penjagalan hewan sesuai syariat Islam atau tidak. Berikut beberapa penjagalan hewan berdasarkan jenis hewannya:
a. Tinjauan Syar’i Tentang Penyembelihan Ayam Menggunakan Alat Modern: Mayoritas ulama berpendapat bahwa penyembelihan itu haram atau menjadi bangkai apabila ayam dalam kondisi dibius, menggunakan pisau otomatis, tidak mengucapkan “bismillah” serta berbagai hal lain yang melanggar syariat.
b. Tinjauan Syar’i Tentang Penjagalan Kambing dan Sapi dengan Cara Dibius: Berdasarkan Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) nomor 95 (3/10) tahun 1997 pembiusan sebelum disembelih diperbolehkan dengan catatan sebagai berikut:
“Pada dasarnya dalam proses penyembelihan yang dijelaskan syariat tidak terdapat pembiusan hewan terlebih dahulu, dan cara yang diajarkan syariat jauh lebih menunjukkan rasa kasih sayang terhadap binatang, akan tetapi bila tetap dilakukan proses pembiusan terhadap hewan terlebih dahulu kemudian disembelih sesuai dengan ketentuan syar’i hukum dagingnya halal jika diketahui bahwa hewan masih hidup sebelum disembelih. Tidak boleh pembiusan dilakukan dengan cara menembakkan jarum suntik bius, Sedangkan untuk ayam, tidak diperbolehkan untuk dibius sebelum disembelih”
c. Tinjauan Syar’i Tentang Anggota Tubuh Hewan yang Dipotong Saat Hewan Masih Hidup: Jelas-jelas hal ini diharamkan dan masuk kategori bangkai berdasarkan hadist Rasulullah ﷺ yang artinya:
“Bagian tubuh yang dipotong saat hewan itu hidup, maka bagian yang dipotong itu adalah bangkai”. (HR. Ibnu Majah dan Al Hakim, hadis ini dishahihkan oleh Al Hakim dan disetujui oleh Az Zahabi).
Menjaga kesucian produk dalam jual beli adalah kunci untuk memastikan keberkahan dan menghindari kerugian bagi semua pihak. Transaksi yang halal dan bersih tidak hanya membawa manfaat duniawi, tetapi juga ridha Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, LBS Urun Dana sebagai securities crowdfunding selalu memastikan setiap pendanaan, sukuk, dan saham berjalan sesuai prinsip syariah yang ketat. Yuk, follow terus LBS Urun Dana untuk inspirasi bisnis halal dan berkelanjutan! #KarenaNyamanItuDisini #TransaksiHalalItuDisini