artikel

calendar_today

23 Desember 2025

Fair! Cara Islam Bereskan Kredit Macet Tanpa Riba dan Tanpa Zalim

Kredit macet merupakan salah satu persoalan paling krusial dalam dunia keuangan, baik konvensional maupun syariah. Secara sederhana, kredit macet adalah kondisi ketika pihak yang berutang tidak mampu atau tidak mau melunasi kewajibannya sesuai dengan waktu dan kesepakatan yang telah ditetapkan di awal akad.

Dalam praktiknya, kredit macet tidak hanya berdampak pada stabilitas lembaga keuangan, tetapi juga memicu konflik, ketidakadilan, dan rusaknya kepercayaan antar pihak. Karena itu, Islam memandang persoalan kredit macet bukan semata masalah bisnis, melainkan masalah moral, niat, dan tanggung jawab syariah.

Pandangan ini dijelaskan secara komprehensif oleh Founder LBS Urun Dana sekaligus pakar fiqih muamalah, Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi MA. dalam bukunya Harta Haram (2021), yang membahas utang-piutang dari sudut pandang Al-Qur’an, hadits, dan pendapat para ulama.

Pencegahan Kredit Macet dalam Islam

Islam menekankan pencegahan sebagai solusi utama dalam persoalan kredit macet. Seorang muslim tidak dianjurkan berutang kecuali ia memiliki keyakinan dan kemampuan untuk melunasinya. Utang bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban, bahkan setelah meninggal dunia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Siapa yang berutang dan dia bertekad untuk membayarnya, niscaya Allah akan memudahkannya untuk melunasi utangnya. Dan siapa yang berutang tidak bertekad untuk membayar utangnya, niscaya Allah akan membinasakannya.”
(HR. Bukhari).

Hadits ini menegaskan bahwa niat melunasi utang merupakan fondasi utama dalam muamalah. Utang tanpa niat membayar bukan hanya kesalahan finansial, tetapi juga dosa yang berat.

Sikap Islam terhadap Penundaan Pembayaran Utang

Islam memandang penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu sebagai bentuk kezaliman. Perilaku ini merugikan pihak pemberi utang dan merusak kepercayaan dalam transaksi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman. Dibolehkan menjatuhkan hukuman kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya.” (HR. Bukhari).

Baca juga: Plot Twist! Rahasia Dibalik Deposito Syariah, Fix Halal atau Riba?

Para ulama menjelaskan bahwa hukuman yang dimaksud dapat berupa penahanan hingga utang dilunasi, serta pencatatan sebagai debitur bermasalah. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak mentoleransi kelalaian yang disengaja, dan secara tegas melindungi hak kreditur.

Peran Jaminan dan Penjamin dalam Utang-Piutang

Sebagai bentuk kehati-hatian, Islam membolehkan bahkan menganjurkan adanya jaminan atau penjamin dalam transaksi utang-piutang. Barang jaminan atau pihak penjamin berfungsi untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak.

Apabila debitur terlambat melunasi kewajibannya, kreditur dibolehkan menjual barang jaminan atau menagih kepada pihak penjamin untuk menutup utang tersebut. Tindakan ini bukan bentuk kezaliman, melainkan mekanisme perlindungan hak yang sah secara syariah.

Praktik Gadai dalam Lembaga Keuangan Syariah

Dalam praktik lembaga keuangan syariah, terdapat solusi fiqih yang dibenarkan, yaitu menjadikan barang yang dijual sebagai objek gadai. Dalam skema ini, barang tetap dapat digunakan oleh pembeli, sementara surat kepemilikan resmi ditahan oleh lembaga syariah.

Jika terjadi keterlambatan pembayaran, seluruh sisa angsuran dapat dinyatakan jatuh tempo. Barang kemudian ditarik dan dijual untuk melunasi kewajiban. Apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan setelah utang dilunasi, maka seluruh sisa tersebut wajib dikembalikan kepada pembeli.

Praktik ini telah disetujui oleh Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (OKI), dituangkan dalam beberapa keputusan resmi, serta sesuai dengan standar AAOIFI. Landasan utamanya adalah sabda Rasulullah ﷺ:

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)

Prinsip Keadilan dalam Penetapan Harga dan Sanksi

Hal penting yang tidak boleh diabaikan adalah keadilan dalam penetapan harga. Harga dalam transaksi kredit biasanya lebih tinggi karena faktor waktu angsuran. Jika kewajiban dipercepat akibat wanprestasi, maka nilai harga tersebut wajib disesuaikan.

Apabila penyesuaian tidak dilakukan, maka penjual telah mengambil harta pembeli tanpa imbalan yang sah. Dalam Islam, tindakan ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang batil, dan tidak dibenarkan dalam muamalah.

Ketika Debitur Benar-Benar Tidak Mampu

Apabila debitur sejak awal berniat baik, tetapi kemudian tertimpa musibah yang membuatnya tidak mampu melunasi utang, maka Islam memerintahkan kreditur untuk bersabar dan memberi kelonggaran. Dalam kondisi ini, tidak dibenarkan adanya tekanan atau sanksi yang memberatkan.

Prinsip ini menunjukkan bahwa fiqih muamalah tidak hanya berorientasi pada hukum dan hak, tetapi juga pada rahmat, empati, dan keadilan sosial.

Bedah Solusi Kredit Macet Menurut DNS MUI 

Sebelum menutup pembahasan mengenai riba dayn dan jual beli kredit, penting untuk membedah dua solusi kredit macet yang difatwakan boleh oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dua solusi ini dalam praktiknya banyak digunakan oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Namun demikian, dua solusi tersebut ditentang oleh mayoritas ulama fiqih di dunia Islam, karena dinilai tidak memiliki perbedaan hakiki dengan riba jahiliyah, baik dari sisi substansi maupun dampak.

Dua solusi yang dimaksud adalah ta’widh (ganti rugi) dan late charge (denda keterlambatan).

Ta’widh (Ganti Rugi) dalam Fatwa DSN MUI

Ta’widh adalah ganti rugi atas biaya atau kerugian yang dikeluarkan oleh kreditur akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang telah jatuh tempo. Konsep ini diakomodasi dalam beberapa fatwa DSN MUI.

Baca juga: Iqra! Bedah Hukum Fiqih Muamalah, Mulai Dalil Hingga Contoh Sehari-Hari

Dalam Fatwa DSN MUI Nomor 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card, disebutkan bahwa penerbit kartu diperbolehkan mengenakan ta’widh kepada pemegang kartu sebagai ganti rugi atas biaya-biaya yang timbul akibat keterlambatan pembayaran kewajiban.

Selain itu, fatwa ini juga memperkenankan adanya denda keterlambatan (late charge), dengan ketentuan bahwa dana denda tersebut tidak boleh diakui sebagai pendapatan lembaga, melainkan harus dialokasikan sepenuhnya sebagai dana sosial.

Ketentuan serupa juga termuat dalam:

a. Fatwa DSN MUI Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
b. Fatwa DSN MUI Nomor 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card

Dalam fatwa-fatwa tersebut, nasabah yang mampu tetapi sengaja menunda pembayaran boleh dikenakan sanksi berupa denda uang, dengan syarat hasil denda tersebut disalurkan untuk kepentingan sosial.

Latar Belakang Munculnya Konsep Ta’widh

Konsep ta’widh muncul dalam konteks sejarah perkembangan perbankan syariah modern. Bank Islam pertama berdiri di Dubai pada tahun 1975. Pada masa awal, pembiayaan banyak menggunakan skema jual beli tidak tunai.

Karena bank syariah tidak menerapkan bunga dan penalti sebagaimana bank konvensional, muncul fenomena nasabah yang sengaja menunda pembayaran, meskipun mampu. Untuk menutup kerugian akibat keterlambatan tersebut, pada awalnya bank syariah menaikkan margin laba.

Namun kebijakan ini menimbulkan konsekuensi serius. Nasabah yang disiplin dan membayar tepat waktu justru dirugikan karena harus membayar harga lebih tinggi. Akibatnya, sebagian dari mereka beralih ke bank konvensional yang kewajibannya lebih ringan.

Dalam konteks inilah, pada tahun 1985, Syekh Mustafa Az-Zarqa mengusulkan konsep ta’widh dalam tulisannya di Journal of Islamic Economics. Gagasan ini kemudian didukung oleh Syekh Abdullah bin Mani dalam seminar fiqih di Kuwait pada tahun yang sama, dengan argumentasi dalil syar’i.

Hakikat Ta’widh dan Perbedaannya dengan Penalti

Ta’widh didefinisikan sebagai ganti rugi atas kerugian riil yang dialami bank syariah akibat keterlambatan pembayaran, seperti:

a. Ketidakmampuan memenuhi kewajiban kepada pihak lain
b. Hilangnya peluang keuntungan dari investasi akibat kredit macet.

Pendukung ta’widh membedakannya dari penalti dengan alasan:

a. Nominal ta’widh tidak ditentukan sejak awal akad
b. Ta’widh ditetapkan berdasarkan kerugian nyata
c. Penalti ditentukan sejak awal dan berbasis waktu. 

Kritik terhadap Dalil Kebolehan Ta’widh

Pendukung ta’widh berdalil dengan hadits Rasulullah ﷺ:

“Tidak boleh menimbulkan mudarat dan tidak boleh membalas mudarat dengan mudarat.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani)

Menurut mereka, kerugian kreditur akibat penundaan pembayaran harus dihilangkan dengan pemberian ganti rugi.Namun dalil ini ditolak oleh mayoritas ulama, karena:

a. Kerugian kreditur dapat dihilangkan dengan cara lain yang syar’i, seperti menjual barang gadai atau mengajukan ke pengadilan
b. Menghilangkan kerugian tidak boleh dengan menimbulkan kerugian baru pada debitur
c. Kerugian tidak boleh dihilangkan dengan kerugian yang sepadan. 

Dalil lain yang digunakan adalah hadits:

“Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman.” (HR. Bukhari)

Pendukung ta’widh menafsirkan sanksi dalam hadits ini sebagai denda uang. Namun penafsiran ini tidak dikenal dalam literatur klasik. Bahkan Imam Bukhari meriwayatkan penafsiran Sufyan Ats-Tsauri bahwa sanksi tersebut adalah:

a. Hukuman kurungan (penjara)
b. Pencemaran nama baik secara lisan, bukan denda finansial

Sikap Lembaga Fiqih Internasional

Mayoritas lembaga fiqih internasional mengharamkan ta’widh, di antaranya:

a. Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (OKI) No. 51 (2/6) Tahun 1990
b. Majma’ Al-Fiqh Rabithah Al-‘Alam Al-Islami
c. Standar AAOIFI

Dasar pengharaman mereka adalah:

a. Keumuman ayat-ayat larangan riba
b. Hakikat ta’widh yang tetap merupakan tambahan atas utang

Late Charge (Denda Keterlambatan)

Late charge adalah denda yang dikenakan kepada nasabah mampu yang menunda pembayaran, dengan ketentuan hasil denda tidak menjadi pendapatan bank, melainkan dialokasikan sebagai dana sosial.

AAOIFI pada tahun 2000 mengakomodasi late charge dalam Mi’yar ke-III Al-Madin Al-Mumathil.

Perbedaan antara late charge dan penalti konvensional terletak pada peruntukan dana. Penalti konvensional menjadi laba bank, sedangkan late charge disalurkan sebagai dana sosial.

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Late Charge

Sebagian ulama kontemporer membolehkan late charge, di antaranya: Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Dr. Muhammad Syubair dan sebagian Ulama yang tergabung dalam AAOIFI

Dalil mereka adalah hadits:

“Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR. Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)

Namun pendapat ini ditolak oleh ulama lain, karena:

a. Late charge hakikatnya adalah tambahan atas utang
b. Peruntukan dana sosial justru menunjukkan unsur riba yang disamarkan
c. Menghalalkan syarat riba bertentangan dengan hadits itu sendiri.

Baca juga: Waspada! Bedah Hukum Fikih Kredit Rumah, Wajib Tahu Sebelum Mengajukan ke Bank!

Pendapat yang mengharamkan late charge didukung oleh: Syekh Abdullah bin Mani, Prof. Dr. Ali Al-Qaradaghi, Dr. Fahmi Abu Sunnah dan Dr. Iyadh Al-Anzi. 

Mereka berdalil dengan firman Allah ﷻ:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 278)

Ayat ini melarang menarik tambahan apa pun dari utang, baik untuk kepentingan pribadi maupun sosial. Pendapat yang mengharamkan ta’widh dan late charge lebih kuat secara dalil dan kehati-hatian syariah. Sekalipun dana late charge disalurkan untuk kepentingan sosial, hakikatnya tetap merupakan tambahan atas utang.

Karena itu, solusi syariah yang lebih aman adalah penahanan debitur yang mampu tetapi zalim, penjualan barang gadai, proses hukum yang adil dan kesabaran terhadap debitur yang benar-benar tidak mampu. Wallahu a’lam bish-shawab.

search

Informasi Terbaru

Ingin investasi yang amanah dan sesuai prinsip Islam?

Temukan investasi halal dari bisnis yang sesuai prinsip Islam hanya di LBS Urun Dana!

Investasi Sekarang

Copyright 2025. PT LBS Urun Dana berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

@lbsurundanaLBS Urun Dana@LbsUrunDanaLBS TVLBS Urun Dana

PT LBS Urun Dana adalah penyelenggara layanan urun dana yang menyediakan platform berbasis teknologi untuk penawaran efek (securities crowdfunding) di mana melalui platform tersebut penerbit menawarkan instrumen efek kepada investor (pemodal) melalui sistem elektronik yang telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan.

Sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 tahun 2025 tentang “Penawaran Efek Melalui Layanan Urun Dana Berbasis Teknologi Informasi” Pasal 75, kami menyatakan bahwa :

  • “OTORITAS JASA KEUANGAN TIDAK MEMBERIKAN PERSETUJUAN TERHADAP PENERBIT DAN TIDAK MEMBERIKAN PERNYATAAN MENYETUJUI ATAU TIDAK MENYETUJUI EFEK INI, TIDAK JUGA MENYATAKAN KEBENARAN ATAU KECUKUPAN INFORMASI DALAM LAYANAN URUN DANA INI. SETIAP PERNYATAAN YANG BERTENTANGAN DENGAN HAL TERSEBUT ADALAH PERBUATAN MELANGGAR HUKUM.”
  • “INFORMASI DALAM LAYANAN URUN DANA INI PENTING DAN PERLU MENDAPAT PERHATIAN SEGERA. APABILA TERDAPAT KERAGUAN PADA TINDAKAN YANG AKAN DIAMBIL, SEBAIKNYA BERKONSULTASI DENGAN PENYELENGGARA.”; dan
  • “PENERBIT DAN PENYELENGGARA, BAIK SENDIRI MAUPUN BERSAMA-SAMA, BERTANGGUNG JAWAB SEPENUHNYA ATAS KEBENARAN SEMUA INFORMASI YANG TERCANTUM DALAM LAYANAN URUN DANA INI.”

PENGUNGKAPAN RISIKO PERUBAHAN STATUS EFEK SYARIAH

Efek saham yang ditawarkan melalui platform LBS Urun Dana telah sesuai dengan ketentuan POJK Nomor 17 tahun 2025 dan SEOJK Nomor 3/SEOJK.04/2022. Terdapat risiko perubahan status Efek Syariah beserta konsekuensi yang timbul dari perubahan status tersebut.

Konsekuensi dari perubahan status tersebut antara lain:

  • Efek tersebut dapat mengalami penurunan permintaan atau berkurangnya likuiditas akibat tekanan jual dari investor.
  • Efek tersebut dapat dihapus (delisting) dari platform LBS Urun Dana apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan oleh Penyelenggara, Penerbit tidak melakukan perbaikan yang memadai atas ketidaksesuaian dengan prinsip syariah. Penyelenggara berwenang untuk menghentikan penawaran dan menghapus efek tersebut dari daftar efek yang tersedia di platform sesuai dengan ketentuan dan prosedur internal yang berlaku.

Sebelum melakukan investasi melalui platform LBS Urun Dana, anda perlu memperhitungkan setiap investasi bisnis yang akan anda lakukan dengan seksama. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan analisa (due diligence), yang diantaranya (namun tidak terbatas pada); Analisa kondisi makro ekonomi, Analisa Model Bisnis, Analisa Laporan Keuangan, Analisa Kompetior dan Industri, Risiko bisnis lainnya.

Investasi pada suatu bisnis merupakan aktivitas berisiko tinggi, nilai investasi yang anda sertakan pada suatu bisnis memiliki potensi mengalami kenaikan, penurunan, bahkan kegagalan. Beberapa risiko yang terkandung pada aktivitas ini diantaranya:

Risiko Usaha

Risiko yang dapat terjadi dimana pencapaian bisnis secara aktual tidak memenuhi proyeksi pada proposal/prospektus bisnis.

Risiko Gagal Bayar

Gagal bayar atas efek bersifat sukuk, seperti kegagalan penerbit dalam mengembalikan modal dan bagi hasil/marjin kepada investor.

Risiko Kerugian Investasi

Sejalan dengan risiko usaha dimungkinkan terjadi nilai investasi yang diserahkan investor menurun dari nilai awal pada saat dilakukan penyetoran modal sehingga tidak didapatkannya keuntungan sesuai yang diharapkan.

Dilusi Kepemilikan Saham

Dilusi kepemilikan saham terjadi ketika ada pertambahan total jumlah saham yang beredar sehingga terjadi perubahan/penurunan persentase kepemilikan saham.

Risiko Likuiditas

Investasi anda melalui platform layan urun dana bisa jadi bukan merupakan instrumen investasi yang likuid, hal ini dikarenakan instrumen efek yang ditawarkan melalui platform hanya dapat diperjualbelikan melalui mekanisme pasar sekunder pada platform yang sama, dimana periode pelaksanaan pasar sekunder tersebut juga dibatasi oleh peraturan. Anda mungkin tidak dapat dengan mudah menjual saham anda di bisnis tertentu sebelum dilaksanakannya skema pasar sekunder oleh penyelenggara. Selain itu, untuk efek bersifat sukuk, anda tidak dapat melakukan penjualan sukuknya hingga sukuk tersebut jatuh tempo atau mengikuti jadwal pengembalian modal yang sudah ditentukan.

Risiko Pembagian Dividen

Setiap Investor yang ikut berinvestasi berhak untuk mendapatkan dividen sesuai dengan jumlah kepemilikan saham. Seyogyanya dividen ini akan diberikan oleh Penerbit dengan jadwal pembagian yang telah disepakati di awal, namun sejalan dengan risiko usaha pembagian dividen ada kemungkinan tertunda atau tidak terjadi jika kinerja bisnis yang anda investasikan tidak berjalan dengan baik.

Risiko Kegagalan Sistem Elektronik

Platform LBS Urun Dana sudah menerapkan sistem elektronik dan keamanan data yang handal. Namun, tetap dimungkinkan terjadi gangguan sistem teknologi informasi dan kegagalan sistem, yang dapat menyebabkan aktivitas anda di platform menjadi tertunda.

Kebijakan Keamanan Informasi

Kami berkomitmen melindungi keamanan pengguna saat menggunakan layanan elektronis urun dana dengan:

  • Implementasi ISO/IEC 27001:2022 ISMS guna mewujudkan Confidentiality, Integrity dan Availability informasi.

  • Selalu mentaati segala ketentuan dan peraturan terkait keamanan infromasi yang berlaku di wilayah Republik Indonesia serta wilayah tempat dilakukannya pekerjaan.

  • Melakukan perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement) terhadap kinerja Sistem Manajemen Keamanan Informasi.

Bank Kustodian

  • Peran Bank Kustodian terbatas pada pencatatan, penyimpanan dan penyelesaian transaksi.

  • Bank Kustodian tidak bertanggung jawab atas klaim dan gugatan hukum yg ditimbulkan dari risiko investasi dan risiko-risiko lainnya di luar cakupan peran Bank Kustodian yang telah disebutkan di atas, termasuk kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian pihak-pihak lainnya.

Warning Penipuan atas nama LBS.ID