artikel
23 September 2025
Nahloh! Promo Diskon dan Cashback Bikin Untung atau Malah Riba Terselubung?
Diskon menggoda, cashback menggiurkan! Dua strategi ini jadi jurus pamungkas dunia bisnis modern untuk membuat konsumen kalap belanja. Potongan harga memberi kesan untung instan, sementara cashback seolah menghadiahkan “tabungan” setiap kali transaksi. Tapi, pertanyaan besarnya: bagaimana hukum cashback dalam Islam?
Dalam fikih muamalah, Islam tak hanya bicara soal akad dan angka, tapi juga menimbang keadilan, keberkahan, dan potensi riba di balik setiap promo. Karena itu, membedah hukum fikih terkait diskon dan cashback penting agar kita tak sekadar ikut tren, tapi tetap aman dalam koridor syariat.
Apa Itu Diskon dan Cashback?
Dalam praktik pemasaran modern, diskon menjadi salah satu strategi paling populer untuk menarik perhatian konsumen. Potongan harga dianggap cara cepat untuk meningkatkan penjualan sekaligus membangun loyalitas pelanggan, karena memberi kesan keuntungan langsung bagi pembeli.
Menurut Kotler (2003), diskon merupakan potongan harga langsung yang diberikan penjual kepada pembeli dalam periode waktu tertentu. Dengan kata lain, pembeli memperoleh barang dengan harga lebih rendah dari harga normal selama promo berlangsung.
Senada dengan itu, Erry Fitrya dalam Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Diskon (2015) menjelaskan bahwa diskon merupakan pengurangan harga dari daftar yang diajukan penjual kepada pembeli. Skema ini muncul ketika penjual rela mengurangi sebagian fungsi pemasarannya atau membebankan fungsi tersebut kepada pembeli, dengan tujuan mendorong penjualan sekaligus menarik minat konsumen. Karena itu, potongan harga dapat berperan sebagai instrumen penting dalam strategi pemasaran.
Baca juga: Waspada! Ini Hukum Fikih Muamalah Ojek Online dan E-Wallet!
Sedangkan cashback pada dasarnya adalah teknik pemasaran yang memberikan pengembalian sebagian dari nilai belanja konsumen setelah transaksi selesai. Cara ini menimbulkan kesan adanya penghematan (perceived saving), walaupun dalam praktiknya justru bisa memicu pembelian yang kurang diperlukan.
Salsabila Nurhaibah (2025) menjelaskan bahwa cashback berpotensi mendorong pola konsumsi berlebihan karena konsumen mudah terpengaruh oleh tawaran keuntungan finansial. Oleh sebab itu, banyak platform dompet digital memanfaatkan cashback sebagai sarana mempertahankan loyalitas pengguna sekaligus memperbanyak aktivitas transaksi.
Hukum Fikih Terkait Diskon
Sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, Islam memberikan pedoman jelas dalam fikih muamalah, termasuk dalam praktik jual beli dengan diskon. Menurut Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA dalam Harta Haram (2021), diskon berarti menjual barang di bawah harga pasar. Hukum asalnya boleh, bahkan potongan besar hingga gratis tetap diperbolehkan selama akadnya jelas, tidak mengandung riba, penipuan, atau gharar, serta tidak menimbulkan mudharat bagi pasar.
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami/OKI juga menegaskan bahwa persaingan harga melalui diskon dibolehkan selama tidak disertai praktik zalim, seperti monopoli, penimbunan, atau ghubn fāhish (penipuan harga yang berlebihan). Namun, kebolehan ini tetap dibatasi oleh prinsip kemaslahatan. Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Khattab pernah menegur pedagang yang menjual dengan harga terlalu rendah hingga merusak stabilitas pasar.
Dengan demikian, diskon ritel yang wajar dan transparan hukumnya boleh. Sebaliknya, banting harga yang merusak ekosistem usaha dilarang. Adapun transaksi privat di rumah tetap diperbolehkan selama amanah dan tidak berdampak buruk pada pasar.
Hukum Fikih Terkait Cashback
Selain diskon, strategi pemasaran lain yang kini marak adalah cashback. Dalam fikih muamalah, hukum cashback dalam Islam perlu dicermati secara hati-hati, terutama ketika diterapkan pada sistem dompet digital seperti GoPay.
GoPay bekerja dengan sistem deposit: pengguna mengisi saldo terlebih dahulu, lalu membayar layanan Gojek menggunakan saldo tersebut. Kadang, pengguna memperoleh potongan harga atau cashback sebagai tambahan.
Dalam kacamata fikih, skema ini mirip dengan menitipkan uang ke toko untuk diambil barangnya secara bertahap. Ibnu Abidin, ulama mazhab Hanafi, menyebutnya sebagai ba’i istijrar. Menurutnya, transaksi hanya sah bila harga barang sudah jelas sejak awal, misalnya roti atau daging. Namun, bila harga baru diketahui saat pengambilan, akad tidak sah karena ada unsur ketidakjelasan.
Ibnu Abidin juga menambahkan, jika barang diserahkan hanya karena ada titipan uang, maka akad jual beli belum benar-benar terjadi. Praktik ini lebih mendekati akad qardh (pinjaman), di mana uang yang dititipkan dianggap sebagai pinjaman yang wajib dikembalikan setara nilainya.
Baca juga: Hadeuh! 5 Cara Jauhi Gharar dan Maysir, Pengen Untung Instan Malah Duit Melayang!
Jika saldo GoPay dipandang sebagai qardh, maka potongan harga atau cashback yang diterima pengguna termasuk manfaat dari pinjaman. Kaidah fikih menegaskan: setiap pinjaman yang menghasilkan manfaat bagi pemberi pinjaman tergolong riba.
Karena itu, memahami hukum cashback dalam Islam sangat penting agar kita bisa lebih selektif dan berhati-hati dalam memanfaatkannya. Semoga pembahasan ini memberi pemahaman lebih jernih, sehingga umat dapat bertransaksi sesuai syariat tanpa terjebak praktik yang dilarang. Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.