artikel
15 Agustus 2025
Waspada! Ini Hukum Fikih Muamalah Ojek Online dan E-Wallet! (Bagian Keenam)
Layanan jasa titip beli online seperti GoFood, ShopeeFood, GrabFood, dan sejenisnya kini sudah menjadi bagian dari keseharian banyak orang. Tinggal pilih menu di aplikasi, bayar, dan makanan pun sampai di depan pintu. Praktis dan menghemat waktu.
Namun, di balik kemudahannya, ada akad atau perjanjian transaksi yang terjadi antara pemesan, pengemudi, dan platform penyedia layanan.
Pertanyaannya, apakah semua skema yang digunakan sesuai dengan prinsip syariah? Mari membaca kembali buku Harta Haram karya Ustadz, Dr. Erwandi Tarmizi, MA untuk menemukan jawabannya dalam perspektif Fikih Muamalah.
1. Skema Transaksi di Titip Beli Online
Dalam praktiknya, setidaknya ada dua skema umum yang digunakan:
a. Platform Meminjami Uang Terlebih Dahulu
Misalnya, pemesan memesan makanan lewat aplikasi GoFood. Gojek membayarkan terlebih dahulu ke restoran, lalu setelah makanan diterima, pemesan membayar kembali kepada Gojek ditambah ongkos kirim/transport.
b. Pengemudi Menalangi Pembelian
Pengemudi menggunakan uang pribadi untuk membeli makanan (misalnya hingga Rp1 juta, sesuai ketentuan) selama jumlahnya masih memungkinkan diangkut dengan motor. Pemesan kemudian membayar harga makanan secara tunai ditambah ongkos kirim dari restoran ke alamat tujuan.
Baca juga: Clear Ya! Ini Pandangan Ustadz Erwandi Soal Dropship: Boleh atau Tidak? (Bagian Kelima)
Bagaimana Pandangan Fikih Tentang Ini?
Sekilas terlihat sederhana, tapi masing-masing skema ini memiliki perbedaan akad dan hukumnya.
1. Jika uang dari pemesan sudah diterima sebelum pembelian barang, maka akadnya adalah wakalah bil ujrah (mewakilkan pembelian dengan imbalan jasa). Hal ini dibolehkan dalam syariah.
Dalil Al-Qur’an:
"Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah ia melihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu." (QS. Al-Kahfi: 19)
Ayat ini menunjukkan bolehnya mewakilkan kepada orang lain untuk membeli sesuatu. Adapun dalil hadist-nya sebagai berikut:
“Diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah ﷺ pernah memberikan uang satu dinar kepada Urwah untuk membeli kambing. Urwah berhasil membeli dua ekor kambing, menjual salah satunya, dan membawa kembali satu ekor kambing beserta satu dinar kepada Rasulullah. Hadits ini menjadi dasar bolehnya wakalah, meskipun Urwah saat itu tidak mengambil upah.”
2. Jika pengemudi menalangi pembelian dengan uangnya sendiri, maka akadnya adalah qardh (pinjaman), di mana pemesan wajib mengembalikan uang tersebut. Pada dasarnya akad qardh adalah mubah selama tidak ada tambahan keuntungan untuk pihak yang memberi pinjaman.
Dalil Hadits:
"Tidaklah seorang muslim memberikan pinjaman kepada saudaranya dua kali, melainkan ia telah bersedekah satu kali sebesar nominal pinjaman tersebut." (HR. Ibnu Majah)
Namun, jika ada tambahan keuntungan yang diberikan kepada pemberi pinjaman (misalnya biaya tetap yang dihubungkan langsung dengan pinjaman), maka itu masuk kategori riba. Hadist ini diperkuat oleh kaidah fikih yaitu:
"Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan bagi pemberi pinjaman adalah riba." (Al-Mawardi, Al-Hawi, jilid V, hal. 356; Sahnun, Al-Mudawwanah Al-Kubra, 4/133)
Bahkan jika pihak penyalur jasa beralasan bahwa biaya tersebut adalah ongkos jasa mencari barang, hukumnya tetap haram jika biaya itu muncul dari penggabungan akad pinjaman dengan akad jual beli/jasa.
Sementara untuk hadits lainnya Rasulullah ﷺ menegaskan kalau haram hukumnya menggabungkan akad pinjaman dan jual beli dalam satu transaksi. Hadits Rasulullah ﷺ:
"Tidak halal menggabungkan antara akad pinjaman dan jual beli." (HR. Abu Daud, hasan shahih menurut Al-Albani)
Berdasarkan penjelasan tadi maka dapat disimpulkan kalau transaksi pertama atau (wakalah bil ujrah) hukumnya boleh, selama manfaat jasa jelas dan biaya jasa disepakati transparan.
Skema kedua (qardh dengan tambahan keuntungan) hukumnya haram karena masuk kategori riba. Bagi muslim, memahami akad di balik setiap transaksi penting agar aktivitas sehari-hari, termasuk titip beli online, tetap sesuai syariah dan terhindar dari yang diharamkan.
Hukum Fikih Terkait Diskon Ojek Online
Fenomena diskon besar-besaran di layanan ojek online sempat menjadi strategi bersaing yang marak di awal kemunculannya. Tidak jarang, potongan harga yang ditawarkan mencapai lebih dari 35 persen di bawah tarif resmi pemerintah maupun harga normal transportasi roda dua. Pertanyaannya, bagaimana pandangan fikih muamalah terhadap praktik menjual barang atau jasa di bawah harga pasar?
Pandangan Ulama tentang Harga di Bawah Pasar
Para ulama memiliki perbedaan pandangan terkait penetapan harga di bawah pasar. Dalam mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ada pengecualian pada kondisi tertentu seperti subsidi jasa transportasi umum oleh pemerintah demi kemaslahatan banyak orang dan mencegah kezaliman. Dalam kondisi seperti ini, harga di bawah pasar dapat dibolehkan demi menjaga stabilitas sosial dan keadilan.
Namun, bagaimana jika diskon diberikan oleh pelaku usaha swasta seperti aplikasi ojek online?
Pendapat Pertama: Tidak Boleh Menjual di Bawah Harga Pasar
Mazhab Maliki memegang pendapat bahwa menjual barang atau jasa di bawah harga pasar tidak diperbolehkan. Pendapat ini merujuk pada atsar dari Umar bin Khattab yang pernah berkata kepada Hatib bin Abi Balta’ah di pasar:
“Naikkan harganya, atau silakan meninggalkan pasar.” (HR. Malik)
Meski begitu, riwayat lain dari Baihaqi menjelaskan bahwa Umar bin Khattab kemudian menarik ucapannya, menegaskan bahwa itu bukanlah perintah resmi, melainkan sekadar nasihat demi kebaikan masyarakat.
Baca juga: Mau Belanja? Pahami Hukum Transaksi Jual Beli Online, Gak Ngerti Bisa Celaka! (Bagian Keempat)
Alasan lain dari pendapat ini adalah potensi mudharat bagi pedagang lain. Namun, kaidah fikih menyatakan:
“Kemudharatan untuk suatu kelompok ditanggung demi mengangkat kemudharatan bagi khalayak ramai.”
Sehingga, alasan ini menjadi lemah jika diskon justru menguntungkan masyarakat luas.
Pendapat Kedua: Boleh Menjual di Bawah Harga Pasar
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab berpendapat, menjual di bawah harga pasar diperbolehkan selama tidak bertujuan untuk menghancurkan pesaing. Dalilnya adalah sabda Rasulullah ﷺ:
“Allah merahmati seseorang yang menjual, membeli, dan membayar utang dengan hati yang murah.” (HR. Bukhari)
Namun, jika potongan harga bertujuan untuk mematikan usaha orang lain atau memicu perang harga, maka hukumnya haram. Hal ini merujuk pada hadits:
“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain baik permulaan maupun balasan.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al-Albani)
Studi Kasus: Diskon di Aplikasi Gopay
Gopay adalah dompet digital (e-wallet) yang memudahkan transaksi pembayaran layanan Gojek. Pengguna dapat mengisi saldo terlebih dahulu, lalu membayar layanan secara langsung dari saldo tersebut, terkadang disertai potongan harga.
Secara fikih, skema ini mirip dengan menitipkan uang ke toko untuk dibelanjakan secara berkala. Dalam literatur mazhab Hanafi, Ibnu Abidin memasukkan kasus ini ke dalam bentuk ba’i istijrar. Beliau berkata:
"Bila seseorang menyerahkan sejumlah uang kepada penjual, setiap harinya dia mengambil barang sebanyak 5 item dan pada saat menyerahkan uang dia tidak mengatakan, ‘saya beli darimu 5 item setiap harinya’. Aku berkata; hukumnya boleh jika harga 5 item tersebut telah jelas sebelumnya seperti roti dan daging. Adapun jika harganya tidak diketahui pada saat mengambil barang maka akad jual belinya tidak sah karena harga pada saat transaksi tidak jelas."
Ibnu Abidin menambahkan, jika barang yang telah digunakan oleh pihak penitip uang memang telah diserahkan oleh penjual dengan ridha dan tujuan mendapat uang, maka akad jual beli belum terjadi. Walaupun kedua pihak berniat melakukan jual beli, akad tidak sah hanya dengan niat saja. Dalam kasus ini, yang terjadi hampir serupa dengan akad qardh (pinjaman), di mana penitip uang meminjamkan uang atau barang yang wajib dikembalikan dengan nilai atau barang setara.
Diskon Gopay Mengandung Riba?
Berdasarkan penjelasan ini, skema deposit saldo Gopay dapat disamakan dengan akad qardh. Jika pengguna (muqridh/pemberi pinjaman) mendapatkan potongan harga dari pihak Gojek (muqtaridh/penerima pinjaman) sebagai imbalan, maka hal ini termasuk manfaat dari pinjaman. Dalam kaidah fikih, setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat bagi pemberi pinjaman tergolong riba.
Baca juga: Asik! Ojek Online Bakal Peroleh Status UMKM, Subsidinya Banyak!
Diskon ojek online dapat dibolehkan selama tidak dimaksudkan untuk menghancurkan pesaing dan tetap berada dalam koridor persaingan usaha yang sehat. Namun, jika diskon tersebut terhubung dengan skema deposit seperti Gopay, maka akad yang terjadi perlu diperhatikan secara cermat.
Apabila pola transaksinya menyerupai akad qardh yang memberi manfaat bagi pemberi pinjaman, maka hal itu mengandung unsur riba yang diharamkan. Prinsip utama dalam fikih muamalah adalah menjaga agar setiap transaksi berlangsung adil, tidak merugikan pihak manapun, dan bebas dari unsur yang dilarang syariat.