investasi
21 Januari 2025
Hukum Jual Beli karena Terpaksa, Halal atau Haram?
Dalam transaksi jual beli, pastikan semua pihak yang terlibat mendapatkan keuntungan yang adil tanpa adanya unsur dzalim. Islam mengatur transaksi jual beli dengan prinsip keadilan, yang memastikan setiap transaksi bebas dari penipuan, eksploitasi, atau paksaan yang merugikan salah satu pihak.
Oleh karena itu, dalam Islam, jual beli bukan hanya soal transaksi barang, tetapi juga mencakup prinsip Fikih Muamalah yang mengutamakan kebaikan bagi kedua belah pihak tanpa adanya paksaan. Lantas, bagaimana mengenai jual beli yang adil dan sesuai syariah? Simak penjelasannya di bawah ini.
Hukum Jual Beli karena Terpaksa
Jual beli adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Setiap hari kita melakukan transaksi, baik itu membeli kebutuhan pokok atau menjual barang yang kita miliki. Tujuan utamanya tentu agar kedua belah pihak—penjual dan pembeli—mendapatkan keuntungan yang adil dan sesuai dengan haknya.
Namun, dalam kenyataannya, seringkali kita menemukan situasi di mana transaksi jual beli tidak berjalan adil. Ada yang merasa terpaksa, atau bahkan terjebak dalam kondisi yang tidak menguntungkan. Tentu saja, ini adalah hal yang harus kita hindari, karena masuk dalam kategori kezaliman atau dzalim, yang bisa merugikan salah satu pihak. Allah Ta'ala pun mengingatkan kita dalam surat An-Nisa: 29, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu." (An-Nisa:29)
Sebagai sahabat LBS yang peduli pada prinsip keadilan dan keberkahan dalam bertransaksi, kita perlu menyadari bahwa salah satu syarat sah jual beli adalah adanya rasa saling ridha antara penjual dan pembeli.
Ust. Dr. Erwandi Tarmizi, MA, pakar Fikih Muamalah Kontemporer dan pendiri LBS Urun Dana, menjelaskan dalam bukunya Harta Haram: Muamalat Kontemporer (2021) bahwa jika ada unsur paksaan dalam transaksi, maka jual beli itu tidak sah. Bahkan, status uang dan barang yang terlibat bisa menjadi harta haram. Oleh karena itu, mari kita pastikan bahwa setiap transaksi yang kita lakukan berjalan sesuai dengan prinsip syariah dan saling menguntungkan.
Hukum Jual Beli Karena atas Dasar Iba
Jual beli merupakan aktivitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, namun dalam praktiknya, seringkali kita menemukan berbagai studi kasus yang unik dan menarik. Oleh karena itu, dalam Islam, terutama dalam Fikih Muamalah, terdapat penjelasan rinci mengenai hukum-hukum yang mengatur transaksi jual beli.
Salah satu yang sering terjadi adalah situasi di mana harga barang diturunkan atau dinaikkan karena faktor emosional, seperti rasa malu atau iba. Lantas, bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini?
Kasus 1: Harga Turun karena Rasa Malu
Dalam beberapa kasus, seorang pembeli mungkin meminta penjual untuk menurunkan harga barang dengan cara merayu atau membuat penjual merasa malu di depan orang banyak. Dalam situasi seperti ini, ulama sepakat bahwa jual beli tersebut dianggap haram, karena terjadi unsur keterpaksaan yang tidak memenuhi syarat syariah dalam transaksi jual beli.
Kasus 2: Harga Turun atas Dasar Suka, Iba, atau Hormat
Namun, jika penurunan harga terjadi tanpa ada unsur paksaan, dan lebih karena faktor suka, rasa iba, atau hormat kepada pembeli, maka jual beli ini sah dan diperbolehkan dalam Islam. Contohnya adalah ketika seorang penjual menurunkan harga barang kepada pembeli yang merupakan kerabat, orang miskin, atau tokoh masyarakat. Hal ini diizinkan karena sedekah berupa harga barang (baik sebagian atau keseluruhan) dibolehkan dalam syariat.
Salah satu contoh terbaik dalam hal ini adalah kisah Nabi Muhammad ﷺ dan Jabir radhiyallahu anhu. Dalam hadist riwayat Bukhari nomor 2406 dan Muslim nomor 715 Nabi ﷺ melihat unta milik Jabir yang berjalan lambat dan menawar untuk membelinya. Meskipun Jabir awalnya ingin memberikannya sebagai hadiah, Nabi ﷺ tetap menawarnya hingga akhirnya Jabir menjual unta tersebut dengan harga 1 Uqiyah, setara dengan 119 gram emas.
Nabi ﷺ bahkan membayar lebih dengan tambahan 1 Qirath sebagai bentuk rasa iba dan hormat kepada sahabatnya, Jabir. Dari sini, kita bisa melihat bahwa transaksi jual beli yang didasarkan pada rasa iba dan kasih sayang tetap sah dan sesuai dengan syariat Islam.
Dengan pemahaman ini, kita sebagai pelaku bisnis atau konsumen dapat memastikan bahwa jual beli yang kita lakukan selalu berdasarkan prinsip keadilan, saling ridha, dan menghindari segala bentuk keterpaksaan atau penindasan.
Hukum Jual Beli karena Penjual Butuh Uang
Jual beli dapat terjadi karena berbagai alasan, salah satunya adalah ketika pihak penjual dalam kondisi terdesak dan membutuhkan uang dengan segera. Biasanya, dalam kondisi seperti ini, penjual akan menjual barang dengan harga yang lebih murah atau di bawah harga pasar, dengan harapan barang tersebut cepat terjual dan uang yang didapat bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dana darurat mendesak. Namun, dalam situasi ini, terdapat dua pandangan yang berbeda dari kalangan ulama yang perlu Sahabat LBS pahami.
- Pendapat Pertama: Sebagian ulama dari Mazhab Hanafi dan sebagian dari Mazhab Hanbali berpendapat bahwa jual beli seperti ini tidak sah, yang berarti transaksi tersebut tidak halal. Mereka mengutip sebuah hadits yang melarang penjualan oleh orang yang terdesak. Hadits ini menyebutkan:
"Nabi Muhammad ﷺ melarang penjualan orang yang terdesak." (HR. Abu Daud)
Imam Ahmad juga menjelaskan bahwa dalam hadits ini, jika seseorang terdesak membutuhkan uang dan datang untuk menjual barang dengan harga yang jauh di bawah harga pasar, maka transaksi tersebut tidak sah. Misalnya, jika harga barang di pasar seharusnya 20 dinar, namun dijual hanya 10 dinar karena penjual membutuhkan uang dengan segera. Namun, hadits ini dianggap dhaif (lemah) karena ada perawi yang tidak dikenal dalam sanadnya.
- Pendapat Kedua: Mayoritas ulama berpendapat jual beli adalah dalam kondisi ini tetap sah. Mereka berargumen bahwa pembeli sebenarnya membantu meringankan beban penjual yang sedang terdesak. Jika barang tidak segera terjual, penjual akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan uangnya. Sebagai contoh, dalam hadits berikut:
"Ketika Nabi ﷺ mengusir Yahudi Bani Nadhir dari Madinah, Beliau menganjurkan mereka untuk menjual barang-barang mereka agar tidak merepotkan dalam perjalanan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa jual beli dengan harga yang lebih murah karena penjual terdesak untuk memperoleh uang diperbolehkan. Nabi ﷺ menganjurkan Bani Nadhir untuk menjual barang-barang mereka dengan harga miring agar mereka tidak terhambat dalam perjalanan keluar dari Madinah. Jika transaksi tersebut tidak diperbolehkan, tentu Nabi ﷺ tidak akan menyarankan mereka untuk melakukannya.
Dengan pemahaman ini, kita dapat melihat bahwa jual beli dalam kondisi terdesak bisa sah, asalkan dilakukan dengan niat yang baik dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Jual Beli Terpaksa Diperbolehkan, Asalkan
Jual beli adalah transaksi yang memiliki beragam dimensi hukum dan etika, sehingga memahaminya dengan cermat menjadi hal penting. Sebelumnya, kita telah membahas bahwa jual beli karena unsur keterpaksaan umumnya tidak dibenarkan dalam syariat. Namun, dalam kondisi tertentu, syariat Islam membolehkan transaksi yang terpaksa dilakukan demi kemaslahatan umat. Berikut penjelasannya:
Jual Beli Terpaksa yang Dibenarkan Syariat
- Menjual Sisa Harta Pailit
Hakim dapat menjual harta orang yang jatuh pailit untuk melunasi utangnya. Proses ini termasuk dalam jual beli yang dibolehkan karena bertujuan untuk menyelesaikan tanggungan finansial pihak terkait.
- Menjual Barang Agunan
Penjualan barang agunan untuk menutupi utang yang jatuh tempo juga dianggap sah secara syariat, selama dilakukan sesuai prosedur yang adil.
- Penggusuran untuk Kepentingan Umum
Ketika seseorang dipaksa menjual tanah atau rumahnya untuk proyek kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, masjid, rumah sakit, atau fasilitas umum lainnya, transaksi ini sah, dengan syarat:
- Pemilik tanah atau rumah mendapat ganti rugi yang adil dan layak, sesuai harga pasar, yang ditentukan oleh pihak ketiga yang kompeten.
- Ganti rugi harus dibayarkan secara cepat dan penuh.
Kasus serupa terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ketika beliau menggusur rumah di sekitar Masjidil Haram untuk perluasan. Umar memberikan ganti rugi kepada para pemilik tanah dan rumah. Namun, bagi yang menolak, Umar tetap menggusur dengan meletakkan uang ganti rugi di Ka'bah sebagai bentuk keadilan.
Keputusan Majelis Fikih OKI Tahun 1988
Majelis Fikih OKI melalui Keputusan Nomor 29 4/4 Tahun 1988 menegaskan bahwa jual beli terpaksa untuk kepentingan umum diperbolehkan, dengan syarat:
- Hanya dilakukan oleh pemerintah atau lembaga yang ditunjuk pemerintah.
- Tujuan penggusuran harus demi kebutuhan mendesak orang banyak.
- Tidak boleh digunakan untuk investasi pribadi atau pemerintah.
- Hak pemilik wajib dihormati dengan ganti rugi yang adil.
Jika syarat ini dilanggar, maka penggusuran termasuk kategori kezaliman dan dianggap sebagai perampasan hak, yang dilarang oleh Allah Ta'ala dan Rasulullah ﷺ.
Dengan pemahaman ini, Sahabat LBS mengetahui bahwa jual beli terpaksa dapat tetap sah dalam Islam jika dilakukan dengan prinsip keadilan, maslahat, dan menghindari kezaliman.
Mengenal Akad Iz’an dalam Transaksi Jual Beli
Dalam Islam, tidak semua bentuk transaksi yang terlihat sepihak masuk kategori akad terpaksa. Salah satu bentuk transaksi tersebut dikenal sebagai akad iz’an, yaitu transaksi di mana pihak yang memiliki kekuatan ekonomi menetapkan harga dan syarat-syarat yang menguntungkannya, sementara pihak yang lebih lemah tidak memiliki banyak pilihan selain menerimanya.
Contoh Akad Iz’an
Akad iz’an sering ditemukan dalam transaksi layanan publik, seperti:
- Pemasangan air bersih, listrik, atau telepon.
- Pembelian tiket transportasi umum.
- Layanan lainnya di mana syarat dan harga ditentukan sepenuhnya oleh penyedia layanan.
Dalam akad ini, pelanggan tidak memiliki kesempatan untuk menawar harga atau mengubah syarat-syarat yang telah ditetapkan perusahaan penyedia layanan. Jika tidak setuju, pelanggan tidak akan mendapatkan layanan tersebut.
Mengapa Akad Ini Dibolehkan?
Meski terlihat sepihak, akad iz’an tidak mengandung unsur keterpaksaan dalam pandangan syariat, karena:
- Pelanggan mengajukan permohonan secara sukarela tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun.
- Layanan yang diberikan bersifat opsional; pelanggan bisa memilih untuk tidak menggunakannya.
Keputusan Majelis Fikih OKI tentang Akad Iz’an
Majelis Fikih OKI melalui Keputusan No. 132 (6/4) Tahun 2003 memberikan penjelasan tentang hukum akad iz’an dalam syariat Islam:
1. Sah dan dibolehkan syariat
Jika harga yang ditetapkan adil dan tidak ada syarat-syarat yang merugikan pihak yang lemah, maka akad ini sah dan wajib dipatuhi kedua belah pihak.
2. Tidak sah dan mengandung kezaliman
Jika harga yang ditawarkan terlalu rendah hingga masuk kategori ghaban fahisy (ketidakwajaran harga yang sangat merugikan) atau terdapat syarat yang sangat memberatkan, maka akad ini tidak dibenarkan dalam Islam.
Islam memberikan batasan jelas untuk menjaga keseimbangan antara keadilan dan kebutuhan dalam transaksi publik. Jual beli adalah prinsip dasar yang harus berlandaskan kerelaan kedua belah pihak, termasuk dalam akad iz’an, asalkan tidak ada unsur kezaliman atau penindasan.
Jual beli yang mengikuti Fikih Muamalah tidak hanya menghadirkan keadilan, tetapi juga membawa keberkahan sesuai ajaran Allah Ta'ala dan Rasul-Nya ﷺ. Begitu juga dengan investasi yang mana, kita harus mencari investasi halal yang mengedepankan prinsip investasi syariah.
Jangan sampai harta Anda tercampur dengan yang haram atau melanggar aturan agama. Untuk menjawab kebutuhan ini, LBS Urun Dana hadir sebagai securities crowdfunding yang murni syariah.
Tersedia sukuk dan saham syariah, yang bisa Anda peroleh mulai dari Rp500 ribu saja. Investasi Anda akan digunakan untuk pendanaan syariah perusahaan, startup, atau UMKM yang menjalankan usahanya tanpa riba, gharar, dan hal-hal yang dilarang dalam Islam.
Jangan ragu lagi, pilih investasi yang tidak hanya menguntungkan tetapi juga penuh berkah. Klik di sini untuk bergabung bersama LBS Urun Dana karena #InvestasiHalalItuDisini.