artikel
7 November 2025
Wasallam! 5 Teori Riba Barat yang Ambyar Kena Kritik Ustadz Erwandi Tarmizi!
Riba adalah salah satu dosa besar paling tegas dilarang dalam Islam. Larangan ini tidak hanya dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an, tetapi juga dipertegas oleh Rasulullah ﷺ dalam berbagai hadits. Dalam konteks ekonomi modern, praktik riba sering disamakan dengan bunga sehingga dianggap wajar oleh sistem kapitalisme, padahal secara syariah riba tetap haram secara mutlak.
Ustadz Erwandi dalam bukunya Harta Haram Fikih Muamalat Kontemporer (2021) membahas dalil lengkap riba dalam Islam, serta bantahan logis terhadap teori ekonomi Barat yang berusaha melegalkannya.
Apa Itu Riba?
Riba secara bahasa berarti “bertambah”. Menurut Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA dalam riba adalah tambahan beban yang dikenakan kepada orang yang berutang atau tambahan takaran dalam tukar-menukar enam komoditas ribawi: emas, perak, gandum, sya’ir, kurma, dan garam. Termasuk juga riba dalam pertukaran emas dengan perak maupun pertukaran bahan makanan secara tidak tunai.
Sejarah Riba
Riba bukan fenomena baru. Ia merupakan penyakit ekonomi masyarakat yang telah dikenal sejak peradaban awal manusia. Para pakar memperkirakan praktik riba sudah muncul sejak manusia mengenal uang berbentuk emas dan perak.
Riba dipraktikkan pada masa peradaban Firaun di Mesir, bangsa Sumeria, Babilonia, dan Asyur di Irak, hingga peradaban Ibrani (Yahudi). Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ menjelaskan bahwa riba adalah praktik yang haram dan dilarang bagi Bani Israil. Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 160–161.
Bangsa Yahudi kemudian memperkenalkan riba kepada bangsa Arab di Semenanjung Arabia, khususnya di Thaif dan Yatsrib (Madinah). Di dua kota inilah riba berkembang pesat hingga menghasilkan keuntungan besar bagi kaum Yahudi, sementara masyarakat Arab jahiliyah menjadi korban.
Baca juga: Jempolan! Aksi Ustadz Erwandi Wujudkan Investasi Halal Lewat LBS Urun Dana!
Begitu kerasnya praktek riba saat itu, sampai-sampai orang Arab jahiliyah menggadaikan anak, istri, bahkan dirinya sendiri sebagai jaminan utang. Bila tidak mampu melunasi, mereka menjadi budak bagi pemberi pinjaman.
Dari Thaif, praktik riba menyebar ke Makkah dan dipraktikkan para bangsawan Quraisy. Riba pun marak terjadi di Makkah hingga datangnya Islam. Rasulullah ﷺ kemudian menegaskan penghapusan total riba dalam khutbah Haji Wada di Arafah:
“Riba jahiliyah telah dihapuskan. Riba pertama yang kuhapuskan adalah riba Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya seluruh riba telah dihapuskan.” (HR. Muslim)
Contoh Bentuk Riba pada Masa Jahiliyah
Berikut beberapa bentuk riba yang dahulu dilakukan masyarakat jahiliyah:
1. Riba Qardh (Utang Berbunga)
Seseorang meminjam 10 keping emas, namun harus mengembalikan 11 keping emas pada jatuh tempo. Jika tidak mampu membayar, ia meminta penundaan dan pemberi utang berkata, “Aku beri tambahan waktu, tetapi utangmu bertambah.”
2. Riba Bunga Bulanan
Seseorang meminjam 100 keping emas sebagai modal usaha. Ia wajib membayar bunga 2 keping emas setiap bulan. Jika jatuh tempo tiba, ia tetap harus mengembalikan modal 100 keping emas. Bila terlambat, ia dikenai denda keterlambatan, yang kadang jumlahnya lebih besar dari bunga bulanan.
3. Riba Jual Beli Tidak Tunai
Seseorang membeli barang secara tidak tunai. Jika terlambat melunasi utang pada jatuh tempo, ia dikenai denda tambahan di atas utang pokok.
Hukum Riba Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Tidak ada seorang muslim pun yang berselisih tentang keharaman riba. Al-Qur’an dan hadis secara tegas menyatakan bahwa riba adalah perbuatan haram dan termasuk dosa besar.
Dalil Al-Qur’an tentang Riba
1. QS Al-Baqarah: 275
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
Ayat ini menjelaskan perbedaan besar antara akad jual beli yang halal dan riba yang haram. Jual beli memberi nilai dan manfaat, sementara riba menambah beban dan menzalimi.
2. QS Al-Baqarah: 278
“Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.”
Perintah ini menunjukkan kewajiban meninggalkan riba secara total, bukan sebagian.
Baca juga: Ngeri! Jerat Riba Mengubah Pengusaha Dermawan Jadi Otak Pembunuhan
3. QS Al-Baqarah: 279
“Maka jika kamu tidak melaksanakannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu…”
Ini adalah ancaman paling keras dalam Al-Qur’an. Tidak ada dosa lain yang didampingi ancaman ‘perang dari Allah ﷻ selain dosa riba.
Hadits tentang Besarnya Dosa Riba
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu?”
Beliau menjawab:
1. Syirik kepada Allah
2. Sihir
3. Membunuh jiwa tanpa alasan yang sah
4. Memakan harta riba
5. Memakan harta anak yatim
6.Lari dari medan perang
7. Menuduh wanita beriman yang suci berbuat zina (Muttafaq ‘Alaih)
Hadis ini menempatkan riba sebagai salah satu dosa besar yang membinasakan, sejajar dengan syirik, pembunuhan, dan sihir.
5 Kritik Ilmiah terhadap Teori Barat tentang Riba
Dalam dunia modern, riba dibungkus dengan istilah bunga, interest, atau yield sehingga dianggap wajar dalam teori ekonomi Barat. Namun, Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, MA menjelaskan bahwa teori-teori tersebut gagal secara logis maupun empiris. Berikut ringkasannya:
1. Teori Agio (Time Preference Theory)
Teori ini menyatakan bahwa:
a. Orang lebih menginginkan uang hari ini daripada di masa depan.
b. Bunga dianggap sebagai kompensasi inflasi bagi kreditur.
Tanggapan:
a. Inflasi justru disebabkan oleh bunga, karena produsen memasukkan biaya bunga ke dalam harga barang. Bunga naik → harga naik.
b. Inflasi terjadi pada semua orang, bukan hanya pada kreditur.
c. Saat terjadi deflasi, mengapa kreditur tidak mau berbagi kerugian kepada debitur? Jika ingin adil, keuntungan dan kerugian harus ditanggung bersama.
2. Teori Heek: Waktu Memiliki Nilai Ekonomi
Teori ini mengatakan waktu memiliki nilai seperti barang, sehingga bunga adalah imbalan atas “nilai waktu”.
Tanggapan:
a. Waktu tidak memiliki nilai intrinsik seperti barang.
b. Orang yang tidak bekerja tetapi memiliki banyak waktu (pengangguran) tidak otomatis mendapat imbalan apa pun.
c. Nilai hanya muncul jika waktu digunakan untuk jasa atau produktivitas, bukan sekadar berlalu.
3. Teori Adam Smith: Bunga sebagai Bagian dari Profit
Teori ini menyatakan bahwa bunga adalah bagian kecil dari profit perusahaan, sehingga “adil” bagi kreditur untuk mendapat sebagian profit.
Tanggapan:
a. Hubungan riba tidak pernah adil.
b. Kreditur ingin mendapat bagian ketika debitur untung, tetapi tidak mau menanggung kerugian jika debitur rugi.
4. Teori Risiko: Bunga sebagai Kompensasi Risiko Kreditur
Teori ini mengatakan risiko tidak dibayar utang adalah alasan bunga wajib ada.
Tanggapan:
a. Dalam Islam, risiko penagihan tidak diatasi dengan bunga, tetapi dengan rahn (gadai).
b. Jika debitur gagal bayar, barang gadai dijual untuk melunasi utang, dan sisanya dikembalikan.
c. Risiko bukan alasan untuk mengambil keuntungan dari utang.
Baca juga: Deal! 7 Cara Kerja Sama Bisnis Anti Riba, Akad Jelas Cuan Ngalir Terus!
5. Teori Marshall: Bunga sebagai Imbalan atas “Waktu Tunggu” Kreditur
Teori ini berargumen bahwa kreditur menunda kebutuhan pribadinya, sehingga pantas mendapat imbalan.
Tanggapan:
a. Dalam Islam, pinjaman adalah bantuan dan bernilai pahala, bukan sarana mencari laba.
b. Kreditur muslim yang menunda kebutuhan demi membantu sesama justru beramal, bukan berbisnis atas hutang.
c. Ekonomi Islam bertumpu pada keadilan dan keberkahan, sedangkan kapitalisme berorientasi pada keuntungan semata.
Riba adalah praktik yang diharamkan secara mutlak oleh Al-Qur’an dan hadis. Larangannya tegas, jelas, dan tidak menyisakan ruang kompromi. Berbagai teori ekonomi Barat yang mencoba melegalkan riba pun tidak memiliki dasar moral maupun logika yang kuat, karena riba pada hakikatnya selalu menciptakan ketidakadilan dan merugikan pihak yang sedang membutuhkan.
Sebaliknya, ekonomi Islam menawarkan solusi yang lebih adil melalui akad-akad halal seperti jual beli, mudharabah, musyarakah, dan rahn, di mana risiko dan manfaat dibagi secara proporsional. Larangan riba merupakan bentuk kasih sayang Allah ﷻ untuk menjaga keadilan, stabilitas, dan martabat manusia. Dengan meninggalkan riba, umat dapat membangun sistem ekonomi yang lebih bersih, berkah, dan bermanfaat bagi banyak pihak.






