berita
15 September 2025
Weleh-Weleh! Risiko Suntikan Dana Rp200 Triliun, Gak Relevan dan Rentan Inflasi!
Pemerintah kembali menggulirkan kebijakan besar yang memicu perdebatan. Presiden Prabowo Subianto memberi restu kepada Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, untuk menyalurkan dana negara sebesar Rp200 triliun ke bank-bank komersial. Tujuannya jelas: mempercepat perputaran uang dan menggairahkan kembali roda ekonomi.
Namun, para ekonom justru mempertanyakan: apakah sekadar menaruh uang di bank mampu mendongkrak ekonomi nasional?
Alasan Menkeu Salurkan Dana Negara Rp200 Triliun
Pemerintah bukan tanpa alasan menggelontorkan dana jumbo ke perbankan. Menurut Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, skema Rp200 triliun ini bukanlah pinjaman kepada bank, melainkan penempatan dana negara dengan mekanisme mirip deposito. Sebagaimana dikutip dari BBC pada Senin (15/9/2025), tujuannya sederhana: memberi tambahan likuiditas agar bank lebih leluasa menyalurkan kredit ke masyarakat.
Namun ada syarat penting. Dana tersebut dilarang dipakai untuk membeli instrumen aman seperti Surat Berharga Negara (SBN) atau Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SBRI). Pemerintah ingin memastikan uang itu benar-benar masuk ke sektor riil, bukan sekadar parkir untuk memperoleh bunga.
Baca juga: Boom! 5 Arah Ekonomi Pasca Reshuffle Kabinet yang Bikin Investor Kalang Kabut!
Harapannya, bank menyalurkan kredit produktif, terutama kepada UMKM yang ingin memperluas usaha. Jika sebuah rumah makan kecil membuka cabang baru, dampaknya tidak berhenti di sana: tenaga kerja terserap, permintaan bahan meningkat, dan rantai pasok ikut bergerak. Dengan logika ini, Rp200 triliun diharapkan jadi bahan bakar baru untuk menghidupkan perekonomian riil.
Suntikan Dana Rp200 Triliun Dinilai Tidak Relevan
Sayangnya, fakta di lapangan menunjukkan masalah sebenarnya bukan pada ketersediaan dana. Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan masih aman di angka 86,4 persen pada Juli 2025, jauh dari batas kritis 92 persen. Artinya, bank masih punya cukup likuiditas. Persoalan utama justru ada pada minimnya minat masyarakat atau sektor swasta untuk meminjam karena daya beli yang sedang melemah.
Data OJK mencatat, pertumbuhan kredit perbankan melambat menjadi 7,03 persen secara tahunan pada Juli 2025. Angka ini turun dibanding Januari 2025 yang mencapai 10,27 persen. Deflasi tahunan yang muncul untuk pertama kalinya dalam dua dekade juga menegaskan lemahnya permintaan. Para ekonom menilai, menambah dana di bank tanpa memperkuat daya beli ibarat menambahkan bensin ke mobil yang mesinnya tidak menyala.
Sejumlah pengamat khawatir dana segar ini pada akhirnya justru dipakai untuk membiayai proyek-proyek ambisius pemerintah, mulai dari program makan bergizi gratis hingga koperasi merah putih. Jika dana bank diarahkan menutup kebutuhan fiskal alih-alih menggerakkan sektor swasta, maka ujung-ujungnya bisa menjadi beban bagi negara. Bahkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang menjamin simpanan masyarakat di bank pun berpotensi ikut menanggung risiko bila terjadi kredit macet
Suntikan Dana Rp200 Triliun Bisa Picu Inflasi?
Pemerintah menegaskan tambahan dana Rp200 triliun ke bank tidak akan mendorong inflasi. Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa beralasan, dengan pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen, masih ada ruang besar untuk menambah likuiditas tanpa mengganggu kestabilan harga. Ia menekankan, dana ini justru akan menjadi bahan bakar bagi penyaluran kredit produktif.
Meski begitu, peneliti CORE, Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan potensi inflasi tetap terbuka. Jika dana hanya mengendap atau berputar di lingkaran perbankan, likuiditas memang bertambah, tetapi tanpa menciptakan aktivitas ekonomi riil. Kondisi ini bisa berujung pada tekanan harga di kemudian hari.
Pandangan serupa datang dari ekonom UI, Teuku Riefky, yang menilai kebijakan ini rawan salah sasaran. Ia menyoroti belum adanya kajian mendalam maupun penilaian dampak kebijakan sebelum diluncurkan. Sementara itu, Vivi Alatas menekankan pentingnya strategi jangka panjang: memperkuat UMKM, memperluas lapangan kerja, serta membuka sektor baru seperti green jobs dan ekonomi digital.
Baca juga: Ninuninu! 7 Desakan Darurat Ekonomi untuk Prabowo, Jangan Tunggu Indonesia Bubar!
Suntikan Rp200 triliun ke perbankan baru akan memberi dampak jika benar-benar disalurkan ke sektor produktif. Jika hanya berputar di lingkaran perbankan atau terserap proyek pemerintah, kebijakan ini berisiko kehilangan manfaat nyatanya.
Pada akhirnya, penggerak ekonomi bukan sekadar tambahan likuiditas, melainkan kepercayaan masyarakat untuk bekerja, berbelanja, dan berinvestasi. Daya beli yang kuat dan keyakinan pada masa depan adalah kunci agar roda perekonomian benar-benar bergerak.
Di sinilah pentingnya menyalurkan dana ke sektor riil melalui investasi halal. Melalui LBS Urun Dana, Anda bisa ikut memperkuat UKM dan bisnis produktif dengan instrumen syariah yang diawasi OJK. Bukan hanya menjaga keberkahan, tapi juga memastikan setiap rupiah yang Anda investasikan berputar nyata bagi ekonomi Indonesia. Mulai disini!